TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sosiolog dan Ketua Penasehat Public Virtue Institute, Tamrin Amal Tomagola melihat demokrasi Indonesia kini mengarah ke otoritarianisme (oligarki).
Hal itu menurut dia, telah terlihat sejak masa kedua pemerintahan Presiden keenam Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 2009 lalu.
Saat itu masyarakat sipil atau intelektual banyak meninggalkan gelanggang masuk dan mencari jabatan politik.
Menjelang transisi pemerintahan dati SBY ke Joko Widodo (Jokowi) kata dia, terjadi konsolidasi oligarki dalam bidang ekonomi dan politik.
Baca: Sebut Pemerintahan Jokowi Otoriter, Ini Penjelasan Amien Rais
Oligarki kata dia, semakin terlihat merajalela saat pemerintahan Presiden Jokowi.
"Oligarki merajalela saat kita dapat Presiden Jokowi. Presiden Jokowi itu untuk menggambarkan gebrakannya, itu saya pakai metafora lagi itu seperti 'dia ingin jalan tol di mana-mana,'" ujar Tamrin Tomagola, saat jadi pembicara dalam diskusi “Ironi Ruang Publik, Demokrasi di Masa Pandemi’ pada Jumat (4/9/2020) yang disiarkan langsung di Channel Youtube Erasmus Huis.
"Apa itu jalan tol? Sifatnya tanpa hambatan. Jadi yang dia inginkan adalah suatu pembangunan ekonomi yang konkrit yang tidak terhalang oleh berbagai macam hambatan undang-undang hambatan tiba-tiba ditangkap oleh KPK kemudian apa hambatan-hambatan moneter, kemudian hambatan dari Mahkamah Konstitusi," jelasnya.
Dia mencontohkan, ketika Rancangan Undang-Undang omnibus law atau RUU Cipta Kerja dibahas diam-diam di DPR.
"Ini diam-diam, jauh dari sorotan publik, jauh dari kontrol publik. Tidak ada dengar pendapat dengan publik. Ini gebrakan Jokowi," jelasnya.
Dia melihat juga saat Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Ketiga Atas UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.
Revisi UU BI diperkirakan akan menjadikan bank sentral masuk menjadi bagian dari pemerintah sebagaimana peranannya kementerian lembaga (K/L) dalam kabinet.
"Jokowi mengutak-atik Bank Indonesia. Bank Indonesia yang seharusnya independen ingin diletakkan dibahawah dewan moneter untuk memperlancar proses finansial dan sebagainya," paparnya.
Ia juga melihat ada arah akan mengutak-atik Undang-Undang MK.
"Akan dipersulit syarat judicial review untuk menggugat Undang-Undang," jelasnya.
Jadi dia tegaskan, Presiden Jokowi ingin pembangun ekonomi Indonesia tanpa hambatan.
"Bagaimana itu bisa suatu negara bisa diselenggarakan tanpa aturan-aturan. Justru kekuasaan negara itu harus dibatasi, diatur oleh kekuatan publik dan DPR," ujarnya.
"Jadi yang sedang dilakukan Jokowi ini adalah pembangunan jalan tol tanpa hambatan untuk lajunya investasi dan pembangunan ekonomi," ucapnya.
Sejalan dengan itu pula, kemerosotan demokrasi di Indonesia juga, dia melihat, terjadi karena menurunnya mutu ruang publik akibat kepentingan oligarki.
“Ruang percakapan publik sekarang ini tercekik oleh konsolidasi elit oligarki di satu pihak, dan di pihak lain, diperparah kelesuan-darah masyarakat Madani. Itu telah menyebabkan terjadinya baik defisit kuantitas partisipasi maupun kualitas diskursus demokrasi," jelasnya.
Menurut dia, diskusi di ruang publik harus kembali dihidupkan lagi tanpa ada portal-portal identitas untuk membahas kehidupan dan tujuan bersama sebagai warga negara.
"Jadi kita sebagai warga negara harus ketemu dengan warga negara lain dan di situ kita berbicara bagaimana merawat kebersamaan dalam ruang publik. Supaya dia tetap segar dan hidup untuk membicarakan segala macam hal-hal yang termasuk tujuan kehidupan bersama. Itu merupakan sesuatu yang tetap dan bisa ditinjau kembali," jelasnya.
Dalam acara diskusi ini, sekaligus diluncurkan buku dwilogi intelektual-aktivis (alm) AE Priyono.
Hadir sebagai pembicara kunci Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD.
Mahfud MD mengenang rekannya kala aktif di Himpunan Mahasiswa Islam dan Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Muhibbah Universitas Islam Indonesia (UII) pada 1980-an, sebagai rekan berkompetisi dalam kebaikan.
Dalam acara ini juga hadir sejumlah pembicara yakni Ardi Stoios-Braken (Kedutaan Belanda), Gerry Van Klinken (Guru Besar Sejarah Universitas Queensland, Australia), dan Anita Wahid (putri ketiga almarhum Gus Dur, terlibat dalam Jaringan Gusdurian, Anggota Perempuan Anti Korupsi Indonesia, dan menjabat jadi Presidium Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (MAFINDO).(*)