TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Jazuli Juwaini tak mempermasalahkan uji materi penghapusan ambang batas Pilpres ke Mahkamah Konstitusi (MK) oleh ekonom Rizal Ramli.
"Sebagai warga negara, pak Rizal Ramli punya hak konstitusi untuk mengajukan itu, jadi tak masalah," ujar Jazuli, ketika dihubungi Tribunnews.com, Sabtu (5/9/2020).
Hanya saja, PKS mengusulkan agar presidential threshold (PT) dibuat sama seperti parliamentary threshold yakni 5 persen.
"Dalam pembahasan revisi RUU Pemilu, PKS mengusulkan presidential threshold sama seperti parliamentary threshold yaitu 5 persen," jelas Jazuli.
Jazuli menjelaskan alasan dibalik PKS mengusulkan PT 5 persen, tak lain adalah agar tidak terjadi pembelahan semua potensi dan komponen bangsa.
"Agar semua parpol yag lolos ke parlemen bisa mengajukan capres dan cawapres. Dan lebih besar lagi, untuk membuka ruang anak bangsa bisa berkompetisi dalam capres," tandasnya.
Sebelumnya diberitakan, ekonom Rizal Ramli mengajukan gugatan uji materi terhadap UU No. 7/2017 tentang Pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Poin utama gugatan adalah penghapusan ambang batas syarat mencalonkan presiden atau presidential threshold menjadi 0 persen.
Baca: Rizal Ramli Ajukan Uji Materi Pilpres ke MK, Gerindra: Nol Persen Sekalipun Nggak ada Masalah
Rizal mengajukan gugatan tersebut bersama rekannya saat dipenjara pada 1978 lalu, Abdul Rachim Kresno.
Waktu itu, keduanya berjuang agar sistem di Indonesia berubah dari otoriter menjadi demokratis. Kini, mereka mengajukan gugatan agar Indonesia bisa mempertahankan prinsip demokrasi.
Rizal dan Abdul Rachim mendaftarkan gugatan itu ke MK dengan tanda terima bernomor 2018/PAN.MK/IX/2020. Adapun yang bertindak sebagai kuasa hukum adalah Refly Harun bersama Iwan Satriawan, Maheswara Prabandono, dan Salman Darwis.
Usai mendaftarkan gugatannya, Rizal mengatakan, satu alasannya meminta agar presidential threshold diubah menjadi 0 persen karena demokrasi saat ini dinilai menjadi seperti kriminal.
"Kita berubah dari sistem otoriter ke sistem demokratis. Awalnya bagus. Tapi makin ke sini makin dibikin banyak aturan yang mengubah demokrasi Indonesia menjadi demokrasi kriminal," kata mantan Menko Perekonomian era Presiden Gus Dur itu, di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat, Jumat (4/9).
Menurut dia, dengan menghapus ambang batas alias semua parpol peserta pemilu bisa mengajukan capres-cawapres, pemimpin yang dihasilkan dianggap lebih berkualitas dan terhindar dari money politic karena aturan presidential threshold.
"Kita ingin hapuskan (presidential threshold-Red) jadi nol, sehingga siapa pun putra putri Indonesia terbaik bisa jadi bupati, bisa jadi gubernur, bisa jadi Presiden. Karena kalau enggak, pemimpin yang dihasilkan itu ya istilahnya modal gorong-gorong saja bisa jadi. Main TikTok saja bisa kepilih jadi gubernur. Hancur enggak nih republik?" ucapnya.
Mantan Menko Maritim itu mengungkapkan, threshold 20 persen kursi DPR telah melahirkan praktik 'sewa parpol' untuk menjadi capres-cawapres. Bahkan, untuk maju sebagai calon di pilkada, baik pilbup atau pilwalkot pun harus menyetor sejumlah uang ke parpol. Nilainya pun fantastis, mencapai ratusan miliar.
"Bahasa sederhananya, kalau mau jadi bupati mesti nyewa partai. Sewa partai itu antara Rp 30 miliar sampai Rp 50 miliar," tuturnya.
Rizal menyatakan, praktik itu juga terjadi di ajang pilpres. Ia bahkan mengaku pernah ditawarkan maju pilpres pada 2009 asalkan membayar sejumlah uang ke partai. Tarif untuk pilpres pun disebut lebih gila-gilaan.
"Saya 2009 pernah ditawarin: ’Mas Rizal dari kriteria apa pun lebih unggul dibandingkan yang lain. Kita partai mau dukung, tapi kita partai butuh uang untuk macam-macam.’ Satu partai mintanya Rp 300 miliar. Tiga partai itu Rp 900 miliar. Nyaris Rp 1 triliun. Itu 2009. 2020 lebih tinggi lagi. Jadi yang terjadi ini demokrasi kriminal," tukasnya.
Rizal menilai, praktik itu yang merusak Indonesia, dan harusnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) fokus pada praktik money politics. Ia juga menyebut, MK melegalkan praktik politik uang karena threshold dibiarkan di UU Pemilu.
"Saya harap kali ini, saya akan bujuk teman-teman MK, marilah kita berpikir untuk Indonesia yang lebih hebat, yang lebih makmur. Kita hapus threshold ini supaya kalau tidak, threshold ini jadi sekrup pemerasan," tandasnya.