“Pertanyaan mendasarnya, apakah beberapa kasus kelemahan pengawasan di OJK serta merta di jawab dengan pengalihan pengawasan bank ke BI? Saya melihat bukan ini pokok masalahnya,” urainya.
Padahal pokok masalahnya terkait OJK terang Said tidak ada lembaga pengawas yang kuat, layaknya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memiliki Dewas KPK yang kuat.
Hal ini penting mengingat OJK memiliki kewenangan yang luar biasa, akan tetapi anggaran OJK didapatkan dari pungutan terhadap industri keuangan secara langsung oleh OJK.
Hal ini memberi celah konflik kepentingan.
“Jadi, sesungguhnya bukan hanya UU No 23 tahun 1999 yang perlu di revisi, akan tetapi juga UU No 21 tahun 2011 tentang OJK. Pada sisi UU No 21 tahun 2011 ini perlu menambahkan pengaturan tentang Badan Pengawas OJK. Saya kira yang harus kita pikirkan untuk disempurnakan,” tuturnya.
Lebih lanjut Said mengatakan keterlibatan BI dalam pembiayaan yang dibutuhkan oleh pemerintah harus dimasukan dalam draf revisi UU BI pada perubahan ayat 1 sampai 3 pasal 56 .
Karena itu, revisi UU BI ini harus memuat praktik skema burden sharing yang telah dilaksanakan oleh BI dan pemerintah.
“Saya kira, poin ini sangat penting untuk ditambahkan dalam revisi UU BI,” tegasnya.
Ketua DPP PDIP Bidang Perekonomian ini juga mendukung pasal 58A yang merupakan pasal tambahan yang dituangkan dalam Undang Undang 3 tahun 2004 tentang Perubahan UU No 23 tahun 1999 menambahkan Badan Supervisi BI (BSBI).
“Saya lebih sepakat menguatkan kewenangan BSBI bukan sekedar alat bantu DPR. Penguatan kewenangan BSBI ini diperlukan selayaknya lembaga pengawas lembaga tinggi negara lainnya. Kita perlu mencotoh kewenangan Dewan Pengawas KPK,” ujarnya.
Said juga berharap agar revisi UU BI ini memikirkan agar BI berperan bisa lebih dalam pada sektor riil, khususnya UMKM.
Sebab UMKM ini adalah wajah dari ekonomi nasional.
Bahkan kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) lebih dari 60 persen.
“Terlalu besar kalau hanya semata di urus oleh pemerintah melalui sisi fiskal,” jelasnya.