TRIBUNNEWS.COM - Ketua Subkom Reformasi Hukum dan Kebijakan Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi, mengatakan kekerasan seksual meningkat saat pandemi Covid-19.
Adapun kekerasan seksual yang dimaksud tersebut yakni dilakukan secara online.
Menurutnya, kekerasan seksual berbasis internet ini sangat merugikan perempuan.
"Khusus di masa pandemi ini, yang meningkat tajam adalah kekerasan berbasis siber," ungkapnya dalam program Panggung Demokrasi di YouTube Tribunnews.com, Selasa (8/9/2020).
"Bentuknya banyak yang merugikan perempuan, karena penyebarannya yang sangat luas."
"Sulit dihapus, dan yang paling utama belum ada aturan hukumnya," jelas Siti.
Baca: DPR RI Ungkap Alasan Belum Rampungnya Pembahasan RUU PKS
Baca: Di DPR, Bintang Puspayoga Dorong RUU PKS Masuk Prolegnas Tahun 2021
Ia pun mengungkapkan jumlah kasus kekerasan seksual siber yang ditangani Komnas Perempuan.
Jumlah kasus kekerasan seksual berbasis siber pada 2020 pun meningkat dari tahun sebelumnya.
"Di Komnas Perempuan, Januari sampai Mei, kita menerima 354 kasus kekerasan seksual siber."
"Padahal tahun lalu itu 251 kasus, ini kan peningkatan yang luar biasa," terangnya.
Sehingga, peningkatan itu membuat pihaknya mendorong lahirnya Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS).
"Misalnya orang mengirimkan video porno ke kita, lalu itu menggunakan pasal apa? Padahal pelecehan seksual non fisik," kata Siti.
Selanjutnya, melalui RUU PKS, Komnas Perempuan juga mencoba pola-pola bentuk pelecehan seksual yang ditemukan seiring perkembangan teknologi.
"Termasuk pelecehan seksual non fisik yang dilakukan secara online," ungkap dia.
Selain itu, Siti juga menyinggung pola pelecehan seksual dengan cara mendekati perempuan secara online.
"Bentuk yang lain juga yang perlu diatur adalah grooming."
"Yaitu pendekatan untuk memperdayai melalui online, situs kencan," lanjutnya.
Baca: Gelaran Malam Puisi Bertajuk Lentera Kata: Kekerasan Seksual Ajak Anak Muda Bangkit Lawan Kekerasan
Baca: Soal Dugaan Pelecehan kepada Rahayu Saraswati, Gerindra Belum Akan Tempuh Jalur Hukum
Ia menegaskan, kasus pelecehan seksual di Indonesia semakin bertambah setiap harinya.
"Komnas Perempuan dari 2010 melakukan penelitian, dari kasus-kasus itu kita menemukan 15 bentuk pelecehan seksual," ungkap dia.
"Tapi sistem hukum kita tidak mampu menjangkau bentuk-bentuk kekerasan seksual yang kita temukan di dalam penanganan kasus," jelas Siti.
Menurutnya, Undang-undang pidana di Indonesia baru mengakui bentuk pelecehan seksual secara fisik.
"Karena dalam kitab UU Pidana kita hanya mengakui dua bentuk pelecehan seksual."
"Yaitu pencabulan, dalam arti pelecehan seksual fisik dan pemerkosaan."
"Yang definisinya itu sangat tidak sesuai dengan pengalaman dan kenyataan yang ada," terangnya.
Siti juga menyinggung soal aparat penegak hukum yang belum ramah terhadap korban pelecehan seksual.
"Sistem peradilan pidana bagaimana polisi, jaksa, maupun hakim, memperlakukan korban belum ramah."
"Karena hukum acara pidana kita belum melindungi kepentingan korban."
"Yang baru dilindungi hak-hak tersangka dan terdakwa," papar perempuan tersebut.
Baca: Tsamara Amany Kritik Keras Cuitan Dugaan Pelecehan, Keponakan Prabowo Geram: Pengecut!
Baca: Ini Cara Sederhana Deteksi Anak Alami Pelecehan Seksual
Ia menyebut, anggota polisi juga belum memberikan rasa aman bagi korban yang melakukan pengaduan.
"Ketika korban melapor ke polisi, bukan korban mendapat rasa aman dan nyaman, tapi korban di salahkan."
"Misalnya korban disuruh membuktikan 'benar enggak sih kamu yang diperkosa, jangan-jangan kamu yang menginginkan'," ucapnya.
Selain itu, masyarakat masih memberikan stigma negatif terhadap korban pelecehan seksual.
Sehingga, korban akan memilih untuk bungkam soal pelecehan yang dialami.
"Masyarakat masih menganut budaya kekerasan, ketika kekerasan seksual terjadi pada perempuan, sistem patriarki kita lebih menyalahkan perempuan daripada laki-laki."
"Karena perempuan dianggap tidak mampu menjaga diri, perempuan menginginkannya."
"Sehingga korban kekerasan seksual akan mengalami stigmatisasi, kemudian memilih bungkam," terangnya.
Baca: Seorang Ibu Rumah Tangga di Ciputat Jadi Korban Pelecehan Pemilik Kontrakan Hingga Payudaranya Memar
Baca: Geram Atas Kasus Pelecehan Seksual di Serua, Saraswati Djojohadikusumo Minta Tidak Ada Pembiaran
Komnas Perempuan ingin mengubah hukum pidana hingga cara bekerja aparat penegak hukum terkait kekerasan seksual melalui RUU PKS.
"Hal ini yang coba kita ubah melalui hukum sebagai alat rekayasa sosial."
"Jadi yang diubah adalah substansinya, baik hukum pidana, hukum acara, cara bekerja aparat penegak hukum."
"Dan bagaimana kita memperlakukan korban, itu latar belakang kenapa kita mendorong lahirnya RUU PKS," pungkasnya.
(Tribunnews.com/Nuryanti)