TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Jenazah Tokoh Pers Nasional Jakob Oetama dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata, Jakarta Selatan.
Pendiri Kompas Gramedia sekaligus Pemimpin Umum Harian Kompas itu tutup usia pada Rabu, 9 September 2020.
Almarhum meninggal dunia dengan tenang di Rumah Sakit Mitra Keluarga Kelapa Gading pada pukul 13:05 WIB dalam usia 88 tahun.
Wartawan Senior Egy Massadiah menyebut sosok Jakob Oetama adalah jurnalis senior level “empu”.
Dalam pencapaian luar biasanya, Jakob tetaplah pribadi yang humanis, humble, dan inspiratif.
Egy beberapa kali bertemu Jakob Oetama saat mendampingi Jusuf Kalla berkunjung ke Kantor Kompas. Dalam pertemuan-pertemuan itu, Egy turut andil saat perbincangan antara JK dan Jakob Oetama berlangsung.
"Berbicara dengan Jakob Oetama selalu saja ada tekanan berat yang membuat siapa pun harus membuka mata batin, mata hati, dan mata nalar," kata Egy kepada Tribunnews, Kamis (10/9/2020).
Baca: Sosok Jakob Oetama Diungkap Pastor Ini, Kekayaan Bukan Target, Gelisah Jika Karyawan Belum Sejahtera
Tanpa melakukan itu, siapapun yang berbicara dengan Jakob Oetama akan melewatkan sebuah wejangan maha penting dari seorang “suhu".
Berbincang dengan seorang Jakob Oetama harus menyamakan "frekuensi" agar bisa menangkap semua mutiara hikmah yang mengalir dari hati yang bening.
Egy mengatakan, sekalipun mengaku “mulai pikun”, faktanya, memori pria kelahiran Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, 27 September 1931 itu masih bagus.
"Terakhir bertemu beliau itu masih lancar bertutur tentang hakikat jurnalis sebagai sebuah profesi. Ia masih runtut bertutur tentang keasyikan menjadi wartawan, karena setiap hari melakukan perang," kenang Egy.
Egy menjelaskan, perang batin seorang wartawan bisa saja terjadi setiap hari. Akan tetapi, melalui peperangan batin setiap hari itulah, profesi wartawan menjadi begitu menantang.
"Dalam urusan perang yang dimaksud, Jakob Oetama adalah seorang ksatria wijaya yang kini bahkan sudah menjelma menjadi pertapa sakti," tutur Egy.
*Nama "Kompas" yang Berarti Penunjuk Arah Adalah Pemberian Bung Karno*
Bayang-bayang kelahiran Kompas sebagai surat kabar paling bersinar di Indonesia saat ini ternyata memiliki keterkaitan erat dengan sang Proklamator Kemerdekaan Indonesia, Ir. Soekarno.
Adalah dua nama Jakob Oetama dan Petrus Kanisius (PK) Ojong, dua dedengkot pendiri Harian Kompas yang dikenal masyarakat. Di antara dua nama itu, Bung Karno konon lebih suka kepada Jakob Oetama.
"Karenanya, saat Harian Kompas terbit, Jakob-lah yang memegang kemudi redaksi. Sementara PK Ojong berkutat di bagian tata usaha," ucap Egy.
Sambung kisah antara Kompas dan Bung Karno sejatinya memang cukup erat. Nama “Kompas” itu sendiri adalah nama pemberian Bung Karno. Kisah kehadiran nama Kompas yang kini mewarnai hari-hari masyarakat sebagai surat kabar terpercaya di Indonesia tidak sesederhana itu.
"Bermula pada tahun 1964, ketika Bung Karno meminta agar Partai Katolik membuat surat kabar. Perintah Bung Karno langsung ditanggapi positif," kata Egy bercerita.
Sejumlah tokoh Katolik seperti Frans Xaverius Seda, PK Ojong, Jakob Oetama, R.G. Doeriat, Policarpus Swantoro, dan R. Soekarsono mengadakan pertemuan dengan Majelis Agung Wali Gereja Indonesia (MAWI), Partai Katolik, Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), Pemuda Katolik dan Perempuan Katolik. Pertemuan ini menyepakati pembentukan Yayasan Bentara Rakyat.
Yayasan itu diketuai Ignatius Joseph Kasimo yang saat itu menjabat Ketua Partai Katolik, Wakil Ketua Frans Seda yang juga Menteri Perkebunan Kabinet Sukarno, penulis I F.C. Palaunsuka, penulis II Jakob Oetama, dan bendahara PK Ojong.
"Dari yayasan inilah kemudian lahir Harian Kompas," ujar Egy singkat.
Dalam sebuah keterangan, Frans Seda pernah mengatakan ihwal pesan Jenderal Ahmad Yani agar harian Kompas dapat menandingi wacana yang dikembangkan PKI.
Menurut Frans Seda, PKI tahu ihwal Kompas yang berpotensi menandingi PKI, maka dilakukanlah usaha penghadangan dan penggagalan penerbitan koran ini.
"Namun karena Bung Karno sudah memberi izin, maka praktis upaya PKI sia-sia," jelas Egy.
Setelah ada izin Bung Karno, yayasan Bentara Rakyat tidak segera bisa menerbitkan koran yang dimaksud. Sebab, harus pula mengantongi izin dari Panglima Militer Jakarta yang waktu itu dijabat Letnan Kolonel Dachja.
"Sang Letnan Kolonel memberi syarat, izin keluar kalau Yayasan Bentara Rakyat mampu mendapat sedikitnya 5.000 tanda tangan warga sebagai pelanggan," ungkap Egy.
Egy mengatakan, Frans Seda mengutus para wartawan pergi ke NTT, sehingga syarat itu dengan mudah bisa dipenuhi. Setelah semua siap, kembali Frans Seda melapor kepada Bung Karno.
"Kedudukannya (Frans Seda) sebagai menteri ketika itu, memang memungkinkan setiap saat bisa menjumpai Bung Karno," kata Egy.
Saat bertemu, Frans Seda melaporkan kesiapan Yayasan Bentara Rakyat menerbitkan koran Katolik, seperti diminta Bung Karno.
Nama koran yang disodorkan kepada Bung Karno ketika itu bukan Kompas, melainkan koran Bentara Rakyat.
Setelah mengernyitkan dahi sejenak, Bung Karno lantas mengusulkan agar nama itu diganti menjadi “Kompas” yang berarti penunjuk arah.
“Sabda pandita ratu”, pepatah Jawa. Bahwa titah raja adalah perintah. Bagaikan sebuah titah, maka sabda Bung Karno pun langsung diiyakan Frans Seda," tutur Egy.
Usul nama dari Bung Karno kemudian dirapatkan di Yayasan Bentara Rakyat. Tanpa perdebatan sengit, usul Bung Karno tadi langsung diterima, sehingga nama koran Bentara Rakyat dikubur dan muncullah nama “Kompas” dengan tambahan tagline “Amanat Hati Nurani Rakyat”.
Koran ini terbit pertama kali pada 28 Juni 1965. Itu artinya, tiga bulan menjelang terjadinya ontran-ontran G-30-S. Pasca tragedi yang merenggut tujuh perwira terbaik TNI-Angkatan Darat, pamor Bung Karno redup atau diredupkan.
"Namun salah satu “warisan” nama Harian Kompas justru makin bersinar. Sinarnya menerangi jagat media Nusantara hingga hari ini," pungkas Egy.
*Jenazah Jakob Oetama Dikebumikan di TMP*
Jenazah Jakob Oetama tiba di TMP Kalibata sekira pukul 11:11 WIB didampingi keluarga utama, Kamis (10/9/2020). Kedatangan Jenazah Jakob Oetama disambut Wakil Presiden RI Jusuf Kalla (JK) bersama istri, Mufidah Jusuf Kalla.
JK menjadi inspektur upacara pemakaman Jakob Oetama. Prosesi pemakaman sang wartawan teladan yang dikenal sangat mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan dilakukan secara militer.
Jenazah Jakob Oetama diantar sejumlah personel TNI Angkatan Darat Satuan Garnisun Regu Salvo ke liang lahat. Alasan pemakaman Jakob Oetama di TMP tak lain karena menerima Bintang Mahaputra Kelas III (Bintang Utama) dari Pemerintah Republik Indonesia pada 21 Mei 1973.