Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron mengungkapkan hasil kajian KPK yang menyatakan sekitar 82 persen calon kepala daerah mengikuti Pilkada dengan dana dari sponsor.
Hal itu disampaikan Ghufron ketika menyampaikan hasil rekomendasi dari Webinar Internasional bertajuk An Election in the Time of Pandemic: “Protecting the Quality of Democracy and Potential Corruption,” yang diselenggarakan atas kerjasama KPK, Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Universitas Andalas, Kedeputian l Kemenko Polhukam, Bawaslu dan sebuah lembaga dari Jerman GIZ pada Kamis (25/6/2020).
Baca: Penjelasan KPK Soal Gelar Kasus Djoko Tjandra Secara Terpisah dengan Bareskrim Polri dan Kejagung
"Karena faktanya dalam kajian KPK sebelumnya, ada sekitar 82 persen calon-calon Kepala Daerah itu didanai oleh sponsor, tidak didanai oleh pribadinya," kata Ghufron saat konferensi pers secara virtual pada Jumat (11/9/2020).
Oleh karena itu, kata Ghufron, berdasarkan hasil webinar internasional tersebut KPK merekomendasikan agar proses Pilkada juga turut melibatkan dan berkoordinasi dengan Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK).
Pelibatan dan koordinasi dengan PPATK dibutuhkan, kata Ghufron, untuk mencegah korupsi dan kecurangan dalam praktik Pilkada mendatang.
Baca: Menteri Tito Tolak 4.156 Usulan Mutasi Jelang Pilkada Serentak
PPATK, kata Ghufron, memiliki kemampuan untuk melacak transaksi keuangan yang berpotensi digunakan sebagai money politik.
"Dalam upaya mencegah korupsi dan kecurangan dalam praktik Pilkada, KPK memberikan rekomendasi dari hasil seminar itu yaitu kerja sama dan koordinasi dengan PPATK. Karena PPATK sebagai analis transaksi keuangan tentu memiliki kemampuan untuk mentrace transaksi keuangan yang memungkinkan digunakan sebagai money politik," kata Ghufron.
Menanggapi rekomendasi Ghufron, Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD mengatakan calon kepala daerah yang mengikuti Pilkada dengan dana dari sponsor akan melahirkan korupsi kebijakan.
Baca: Sri Sultan Tidak Yakin Peserta Pilkada Taati Protokol Kesehatan
Korupsi kebijakan, kata Mahfud, lebih berbahaya dari korupsi uang.
Menurutnya korupsi uang dapar dihitung, namun korupsi kebijakan biasanya berentuk perizinan diantaranya lisensi penguasaan hutan dan tambang.
Bahkan ia mengungkapkan pengalamannya memeriksa perkara tumpang tindih perizinan saat menjabat sebagai Ketua MK dulu.
"Karena ada Undang-Undang yang menyatakan, misalnya, seorang Bupati itu boleh memberi lisensi eksplorasi tambang untuk sekian persen dari luasnya daerah. Ternyata ada yang melebihi luas daerahnya. Karena apa? Karena setiap bupati baru membuat lisensi baru, izin baru, sehingga tumpang tindih. Berperkara di MK waktu itu," kata Mahfud.