TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA-Bagaimana kemungkinan seorang yang melaksanakan perjalanan transportasi udara kemungkinan tertular. "Yang pertama kita lihat dulu di pesawat, kita tanya dengan teknisi pesawat, mungkin tidak sepanjang mereka menjalankan protokol, tidak buka masker, tidak ngobrol, tidak mengabaikan jarak," ujar Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular (P2P) Kemenkes Achmad Yurianto saat diwawancarai khusus dengan Tribun Network, Juma (11/9/2020).
"Maka, filter yang ada di pesawat itu sebenarnya mampu untuk menahan semaksimalkan mungkin," kata dia.
Akhirnya peluang itu kita beri skor agak rendah.Kemudian kita perhatikan di proses sebelum naik pesawat dan proses dia turun pesawat kalau saya mau pergi dari Bogor saya naik bus dulu, sesama banyak orang, setelah itu ngumpul di sana karena terlalu pagi, ngobrol dulu di kantin, di warung, baru naik pesawat.
Artinya pada ruang untuk proses ke bandara, proses untuk boarding, itu memiliki peluang tertularnya lebih besar lagi dibanding dengan di pesawat skornya.Kemudian kita perhatikan begitu turun dari pesawat, ngambil barang, nunggu, rebutan ambil bagasi, ini juga menjadi sesuatu yang memiliki skor lebih tinggi dibanding di dalam pesawat itu sendiri.
Belum lagi, keluar naik kendaraan umum dan sebagainya. Artinya kita melihat ini harus secara keseluruhan. Tidak bisa kemudian hanya berbicara pada satu segmen yaitu pesawatnya saja.
Artinya mengamankan itu harus dari hulu sampai hilir.
Baca: Achmad Yurianto: Tes Swab Akurat Manakala Prosedurnya Benar
Nah kajian ini masih terus kita lakukan. Berbicara dengan maskapai penerbangan. Artinya tanggungjawab mereka itu tidak hanya di dalam pesawat, bagaimana mulai di luar pesawat, nanti mau check in gimana.
Rapid test terkait perjalanan kita sebenarnya mengatakan lebih baik protokol kesehatannya dijalankan, dibanding rapid-nya. Tetapi untuk tindakan medis di rumah sakit, seharusnya dilakukan dengan barang yang sudah teregisterasi, yang kualitasnya bisa dipertanggungjawabkan.
Rapid test merah putih, sepengetahuan Anda seberapa jauh produksi dan distribusinya?
Sekarang ini nasionalisme kita muncul. Pokoknya buatan Indonesia, merah putih. Rapid test merah putih, reagen merah putih, vaksin merah putih, semuanya merah putih.Silakan, karena kita harus melakukan itu dan kita bangga.
Tetapi kembali lagi, satu harus kualitasnya terjamin. Quality Control itu harus terjamin. Salah satu produk dari Mataram, inovasi yang teman-teman UGM dan UNAIR.
Kualitasnya bagus, yang jadi masalah kuantitasnya tidak banyak. Saya pesan 100 ribu saja, tiga bulan baru selesai. Ini kan jadi repot. Memang ada yang bisa dalam waktu seminggu 1,5 juta ada tapi kualitasnya jelek.Ini salah satu kelemahan kita. Seperti ventilator merah putih itu kan bagus.
Ketika pesan 5 ribu, waduh tidak selesai-selesai kalau 5 ribu, kami bukan pabrik, kami inovator. Ini ruang mempertemukan inovator dengan industri.
Apakah lazim di sebuah riset untuk menghasilkan obat terkait dengan pengobatan penyakit menggunakan sponsor. Misal dalam konteks obat Covid-19 dari UNAIR sponsornya TNI AD-BIN?
Tidaklah, kita tidak pernah berbicara sponsor ya. Masalah kemudian menggunakan resource yang ada diinstitusi lain ya silakan-silakan saja.Kita lihat sinopharm, siapa sih yang digunakan untuk uji awal-awalnya. Ya tentara China, tidak ada masalah. Kemudian mengatakan ini ditemukan oleh tentara China.Jadi sesuatu yang sebetulnya tidak rumit, kemudian kalau kita bikin rumit ya jadi rumit lah.
Jadi vaksin atau obatnya diberikan atau disuntikan ke tentara tidak masalah?
Hanya memang pada fase tertentu kita tidak boleh, sampelnya hanya tentara saja. Karena virusnya tidak milih-milih. Inilah yang dilakukan pada fase ketiga yang dilakukan Sinovac. Baik umur, baik status fisik, dan sebagainya. Karena obat ini tidak mungkin hanya obat untuk orang yang ganteng kan tidak mungkin.
Sedang dilakukan uji klinis tahap ketiga untuk vaksin dari Sinovac. Sebenarnya seperti apa urutan vaksin diaplikasikan kepada masyarakat?
Kalau obat, vaksin, sama saja ya. Setelah dapat izin edar berarti dia boleh digunakan di masyarakat sesuai protokol. Sebelum mendapat izin edar ada serangkaian uji.Pertama, uji keamanan dulu. Itu nomor satu.
Baca: Rumah Pelaku Penikaman Syekh Ali Jaber Hanya Berjarak 500 Meter dari Lokasi Tausiyah
Uji keamanan diawali dengan cara kajian laboratorium, dengan reaksinya yang muncul. Setelah itu oke dilanjutkan dicoba di binatang, ternyata aman, baru masuk uji satu, pada kelompok orang tertentu dengan jumlah yang sedikit.
Dan orang diawasi terus-terusan. Baru masuk uji kedua, orang banyak. Uji ketiga baru berbagai macam daerah. Kan tidak bisa, obat ini hanya dipakai di sub-tropis, harus dipakai di seluruh muka bumi. Itu yang pertama keamanan.
Baca: Gibran Putar Otak Agar Bisnisnya di Jakarta Bisa Bertahan di Tengah Pemberlakuan PSBB
Yang kedua manfaat. Ada tidak respon yang muncul dari obat ini, seperti yang diharapkan. Tujuan memberikan vaksin adalah memunculkan kekebalan, respon anti body.
Kalau itu aman tapi anti body tidak keluar ya untuk apa. Biasanya setelah uji kedua, ini sudah diyakini aman. Ada manfaat. Tinggal dilaksanakan uji ketiga, kalau disuntikan pada orang yang terkait dengan genetik, bukan ras mongoloid misalnya, di ras lain misalnya.
Di daerah tidak hanya sub tropis, apakah manfaatnya aman, apakah manfaatnya juga sama. Kita kan akhirnya menghitung cost effective-nya.
Seperti kalau kita ke Saudi, ada vaksin meningitis, dan itu ternyata hanya memiliki dampak dua tahun. Setelah dua tahun kalau mau pergi ke sana lagi, suntik lagi. Beda dengan hepatitis, kebal seumur hidup misalnya.
Vaksin covid ini, belum ada yang mengatakan (seumur hidup atau berkala), loh covidnya baru kemarin. Baru akhir 2019, mana ada yang bisa mengatakan, bisa dijamin 2 tahun, menghitungnya gimana. Ini pun menjadi bagian.
Kalau hanya memberikan perlindungan sebulan, sebulan, waduh, setiap bulan disuntik berapa duitnya. Ini pun menjadi kajian, memang ada harapkan dari kajian yang kita prediksikan, dari vaksin yang kita coba ini, itu bisa memberikan kekebalan variasi antara 2 tahun sampai kurang dari 2 tahun.
Apakah perlu izin dari WHO?
Ini kan uji fase tiga. Izinnya kedunia, bukan hanya ke Indonesia saja. Karena dilaksanakan juga di Brazil dengan 9 ribu orang, di Pakistan 1 ribuan, India 2 ribuan, itu juga dilakukan Sputnik V, kemudian Astra Zeneca juga sama. Sinopharm di Uni Emirate Arab.
Vaksin bisa diproduksi massal setelah mendapat persetujuan WHO?
Sebenarnya bukan persetujuan. Dari hasil uji klinis tahap ketiga nanti ada board dari WHO yang mengatakan ini recommended. Sehingga kalau recomennded berarti tidak satu vaksin, tapi banyak vaksin.Nanti silakan masing-masing negara untuk memilih.
Seandainya recommended aplikasinya seperti apa?
Maka selanjutnya kita harus mengidentifikasi di Indonesia siapa sih yang harus divaksin. Kami sudah berproses dan masih berproses baik dengan WHO, Asosiasi untuk vaksin di Indonesia, isinya expert semua di Indonesia.
Siapa sih yang harus divaksin, mereka mengatakan yang harus divaksin orang-orang beresiko tinggi. Diklasifikasi resikonya. Manakala kita mengatakan yang beresiko misalnya 160 juta orang. Dan hari ini ada 160 juta vaksin, ya tidak usah mikir suntikan saja ke semua.
Tapi kalau yang beresiko 160 juta, sementara bulan ini hanya ada 25 juta, kan harus memilih siapa yang nomor satu dan nomor dua. Di dalam kelompok resiko harus kita kelompokan lagi.Yang kita kedepankan adalah frontliner, prioritas nomor satu. Yaitu tenaga kesehatan yang merawat pasien covid. Atau petugas laboratorium yang menangani virus covid. Itu urutan nomor satu.
Nomor dua adalah social worker yang terkait dengan covid, kalau seperti ini, sopir ambulance, petugas administrasi rumah sakit. Kemudian kita termasuk identifikasi, pemberi jasa layanan di fasilitas besar.Pegawai bandara, pegawai stasiun.
Baca: Jawaban Via Vallen Diajak Rhoma Irama Gabung Soneta: Sudah Bukan Jamannya Lagi
Tentunya juga pegawai bandara dipilah lagi bandara mana. Tenaga kesehatan pun harus gitu, dokter semua kan tidak, kalau saya kan tidak pernah merawat apa-apa, saya kan cuma merawat datanya covid.
Pejabat publik setingkat Presiden dan Wakil Presiden?
Jadi kita bicara itu dulu ya. Kemudian yang kedua, tentunya kelompok produktif dengan komodif. Bagi para tulang punggung ekonomi keluarga. Mau tidak mau harus kita lindungi.Dan kemudian yang berikutnya yang menjadi urut-urutan berikutnya, orang yang punya uang dan bisa beli sendiri.
Silakan kalau punya uang silakan beli sendiri.Karena tidak mungkin kita menanggung 160 juta dengan dua kali suntik 320 juta.
Setelah vaksin, apakah dengan demikian kita terbebas dari virus?
Satu hal ini diharapkan muncul kekebalan pada diri kita, sehingga ada kekebalan pada diri kita. Apakah kekebalan seumur hidup, ini sedang kita teliti. Kemudian, kekebalannya apakah virus masuk langsung hilang? Kan belum tahu juga.
Biasanya begini cara menghitungnya, virus itu kalau ada jumlahnya 100 baru muncul gejala. Kalau tidak sampai 100 tidak muncul gejala. Nah apakah dengan saya divaksin satu saja langsung hilang atau kalau divaksin tumbuh dari 10. Ini masih dalam proses.Karenanya yang paling penting bagi kita, kalau mau disuntik dan terbebas sama sekali mau normal 100 persen habis disuntik pindah (planet) Mars, gitu saja.
Artinya setelah disuntik protokol kesehatan tetap dijalani?
Ini masalah dunia, apalagi kita menghendaki turis mulai masuk. Kalau turisnya tidak disuntik bagaimana hayo.
Baca: Gugus Tugas Covid-19 Dibubarkan, Achmad Yurianto Kini Fokus Jadi Dirjen P2P
Kesan di publik terjadi pertarungan di elit pemerintah bahwa sekarang lebih mementingkan perekonomian?
Presiden mengatakan kesehatan, kesehatan, kesehatan. Bukan karena saya orang kesehatan ngomongnya kesehatan, kesehatan, nanti orang ekonomi ngomongnya ekonomi, ekonomi.
Makanya bagi saya jalan tengahnya, kesehatan memang bukan segala-galanya, tapi tanpa kesehatan segala-galanya tidak ada gunanya. Monggo dipilih. Memang kalau tidak ekonominya bagus, tidak sehat. Tapi kalau tidak sehat, juga tidak mungkin ekonominya bagus.