TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merampungkan pemeriksaan terhadap dua saksi dalam kasus dugaan korupsi penjualan dan pemasaran di PT Dirgantara Indonesia tahun 2007-2017.
Mantan Wakil Menteri BUMN tahun 2011 Mahmuddin Yasin dan eks Kabiro Hukum Kementerian BUMN atau Wakil Direktur PT Pelindo II Hambra diperiksa penyidik untuk melengkapi berkas penyidikan bekas Direktur Utama PT DI Budi Santoso.
Menyelesaikan pemeriksaan sekira pukul 13.52 WIB, keduanya yang keluar dari markas KPK langsung dicecar sejumlah pertanyaan oleh awak media.
Namun Yasin terlihat ogah merespons pertanyaan-pertanyaan tersebut.
"Ke pak Biro Hukum (Hambra)," ucap Yasin di pelataran Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Senin (14/9/2020).
Para wartawan tak patah arang untuk mendapatkan jawaban dari Yasin. Namun ia bersikeras untuk tak menjawabnya.
Yasin kemudian jalan tergesa-gesa menuju halaman depan kantor KPK. Sesekali ia menutupi wajah dengan map merah yang digenggamnya.
Lantas, Hambra bilang, dia tidak tahu-menahu terkait mekanisme pemasaran di PT Dirgantara Indonesia--salah satu perusahaan pelat merah.
"Itu kan internal perusahaan. Jadi prosedurnya kementerian tidak tahu," kata Hambra.
Hambra mengaku dicecar tim penyidik seputar prosedur Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) di PT DI. Ia mengklaim tidak ditanyai soal kickback (penerimaan uang) dari perusahaan rekanan ke para tersangka atau pihak lainnya.
Baca: KPK Usut Kasus Korupsi PT Dirgantara Indonesia Lewat Mantan Wamen BUMN
Karena diketahui, belakangan penyidik tengah gencar menelisik aliran uang korupsi dari mitra penjualan di PT Dirgantara Indonesia terhadap para tersangka dan pihak lain.
"(Ditanya) prosedur RUPS," tutur Hambra.
"Kita hanya menjelaskan mengenai prosedur hukum, karena kita tidak terlihat di situ, jadi kita enggak tahu tentang fakta," imbuhnya.
Hambra kemudian mengklaim tidak mengetahui apakah terdapat sejumlah dana kickbak yang mengalir ke Kementerian BUMN. Kata dia, sewaktu korupsi ini terjadi Hambra belum menjabat sebagai Kabiro Hukum Kementerian BUMN.
"Tidak tahu (dana kickback), tidak ada sama sekali pembicaraan itu dan tidak tahu apa-apa juga. Karena itu semua terjadi sebelum kita jadi kepala biro hukum," katanya.
Dalam perkara ini, KPK menetapkan bekas Direktur Utama PT DI Budi Santoso dan mantan Asisten Direktur Utama PT DI bidang Bisnis Pemerintah Irzal Rizaldi Zailani sebagai tersangka.
KPK menduga Budi dan Irzal bersama sejumlah pihak telah merugikan keuangan negara sekitar Rp205, 3 miliar dan 8,65 juta dolar AS atau sekira Rp300 miliar terkait kasus tersebut.
Nilai kerugian negara itu berasal dari jumlah pembayaran yang dikeluarkan PT Dirgantara Indonesia kepada enam perusahaan mitra atau agen penjualan dan pemasaran dari tahun 2008 hingga 2018.
Padahal, keenam perusahaan tidak pernah melaksanakan kewajibannya sesuai dengan perjanjian.
Kasus korupsi ini bermula pada awal 2008, saat Budi Santoso dan Irzal Rinaldi Zailani bersama-sama dengan Budi Wuraskito selaku Direktur Aircraft Integration, Budiman Saleh selaku Direktur Aerostructure, serta Arie Wibowo selaku Kepala Divisi Pemasaran dan Penjualan menggelar rapat mengenai kebutuhan dana PT Dirgantara Indonesia (Persero) untuk mendapatkan pekerjaan di kementerian lainnya.
Dalam rapat tersebut juga dibahas biaya entertaintment dan uang rapat-rapat yang nilainya tidak dapat dipertanggungjawabkan melalui bagian keuangan.
Setelah sejumlah pertemuan, disepakati kelanjutan program kerja sama mitra atau keagenan dengan mekanisme penunjukkan langsung.
Selain itu, dalam penyusunan anggaran pada rencana kerja dan anggaran perusahaan (RKAP) PT Dirgantara Indonesia (Persero), pembiayaan kerja sama tersebut dititipkan dalam 'sandi-sandi anggaran' pada kegiatan penjualan dan pemasaran.
Budi Santoso selanjutnya memerintahkan Irzal Rinaldi Zailani dan Arie Wibowo untuk menyiapkan administrasi dan koordinasi proses kerja sama mitra/keagenan.
Irzal lantas menghubungi Didi Laksamana untuk menyiapkan perusahaan yang akan dijadikan mitra/agen.
Setelah itu, mulai Juni 2008 hingga 2018, dibuat kontrak kemitraan/agen antara PT Dirgantara Indonesia yang ditandatangani oleh Direktur Aircraft Integration dengan Direktur PT Angkasa Mitra Karya, PT Bumiloka Tegar Perkasa, PT Abadi Sentosa Perkasa, PT Niaga Putra Bangsa, dan PT Selaras Bangun Usaha.
Namun, atas kontrak kerja sama mitra/agen tersebut, seluruh mitra/agen tidak pernah melaksanakan pekerjaan berdasarkan kewajiban yang tertera dalam surat perjanjian kerjasama.
Pembayaran nilai kontrak tersebut baru mulai dibayarkan PT Dirgantara Indonesia kepada perusahaan mitra/agen pada 2011 atau setelah menerima pembayaran dari pihak pemberi pekerjaan.
Selama tahun 2011 hingga 2018, jumlah pembayaran yang telah dilakukan oleh PT Dirgantara Indonesia kepada enam perusahaan mitra/agen tersebut sekira Rp205,3 miliar dan 8,65 juta dolar AS.
Terdapat permintaan sejumlah uang baik melalui transfer maupun tunai sekira Rp96 miliar setelah keenam perusahaan tersebut menerima pembayaran.
Kemudian uang itu diterima oleh sejumlah pejabat di PT Dirgantara Indonesia, termasuk Budi, Irzal Rinaldi, Arie Wibowo, dan Budiman Saleh yang kini menjabat sebagai Direktur Utama PT PAL Indonesia.
Atas tindak pidana yang diduga dilakukannya, Budi Santoso dan Irzal Rinaldi dijerat dengan Pasal 2 atau Pasal 3 UU nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.