TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Apabila ekonomi mau kembali berjalan maka mau tak mau kesehatan juga harus ditangani dengan baik.
Karena itu, Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) memang harus benar-benar dilakukan.
Dengan mendorong untuk menjadikan kesehatan sebagai hal utama maka sebenarnya itu adalah metode untuk mengendalikan kasus, yang akan menjadi modal ekonomi.
Demikian disampaikan Juru Bicara Satgas Penanganan COVID-19, Wiku Adisasmito, saat menjadi narasumber dalam acara Webinar Nasional Kedua Kelompok Studi Demokrasi Indonesia (KSDI) bertemakan "Strategi Menurunkan Covid-19, Menaikkan Ekonomi" yang dihadiri ribuan partisipan, yang terdiri dari 500 orang melalui aplikasi zoom dan 1.300 peserta melalui live streaming Youtube, Minggu (20/9/2020) sore.
Baca: Amerika Serikat Cetak Rekor, Lebih dari 1 Juta Tes Covid-19 dalam Sehari
Webinar ini dipandu langsung Ketua Dewan Pembina KSDI, Maruarar Sirait.
Selain Wiku, hadir sebagai narasumber Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, Epidemiolog Universitas Indonesia (UI) Iwa Ariawan, ekonom UI Faisal Basri dan Direktur Eksekutif Indo Barometer M Qodari.
Dalam kesempatan ini, Wiku setuju dengan ekonom Faisal Basri agar anggaran kesehatan ditingkatkan bukan hanya untuk membangun rumah sakit.
Melainkan, membangun garda preventif promotif, promosi kesehatan yang masif di seluruh indonesia.
Wiku mengatakan bahwa tantangan dan kendala terbesar Indonesia dalam menangani pandemi saat ini adalah mengintegrasikan data penyebaran Covid-19.
Dengan data yang tidak terintegrasi, masing-masing daerah menerapkan metode pengumpulan data Covid-19 yang berbeda-beda dan kerap menjadi kendala pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian Kesehatan (Kemkes) saat memverifikasi data yang diterima dari daerah.
"Beberapa daerah masih saja ada data yang tidak sinkron antara data di daerah dan pusat karena sistem pengumpulan datanya sendiri juga berbeda dan tidak jadi satu sehingga kesulitan juga pempus di Kemkes untuk melakukan verifikasinya mulai dari data laboratorium testing, begitu juga tracing yang dilakukan dinas kesehatan," jelasnya.
Wiku berharap antara pemerintah daerah maupun pemerintah pusat bisa memiliki keselarasan sistem dalam memasukkan data COVID-19 sehingga mempermudah pemerintah setempat dalam mengidentifikasi dan menangani virus Corona di daeranya masing-masing.
Wiku menilai kualitas penangan pandemi Corona ini dapat dilihat melalui data-data kasus COVID-19 itu sendiri. Melalui data, Satgas COVID-19 dapat menganalisa dan menentukan tindakan apa yang harus dilakukan.
Data-data inipun, sebut Wiku, tidak hanya berbicara mengenai akumulatif jumlah kasus positif Corona saja. Tetapi juga meliputi jumlah kasus aktif dari waktu ke waktu.
Dalam kesempatan ini, Wiku juga menyoroti daerah yang merupakan zona merah risiko COVID-19.
Apabila daerah tersebut masih berada di zona merah selama 2 minggu, ia meminta agar pemerintah daerah segera siapkan langkah-langkah antisipatif. Sebab kalau zona tidak berubah, dalam kondisi zona merah terus dalam 2 minggu saja itu harus antisipasi segera.
"Penularannya sudah tinggi disitu itu, harus di rem. Jadi kendali Pemda dengan desentralisasi itu kekuatannya justru ada di daerah jadi kalau pusat saja yang lakukan tidak akan cukup karena Pemda yang punya kendali lebih besar," jelasnya.
Wiku menekankan bahwa testing harus semakin banyak, namun dengan terkonfirmasi positif yang semakin sedikit.
Targetnya adalah positifity rate-nya di bawah 5 persen, bukan malah ditest banyak namun yang positif jugaa banyak. Sebab kalau naik terus, rumah sakit di Indonesia tidak akan siap.
"Jadi gak boleh rumah sakait atau dokter menjadi garda terdepan. Itu adalah garda terbelakang. Karena yang paling depan itu adakah rakyat itu sendiri. Kalau rakyat iu patuh paada protokol keshetana, kasusnya tidak naik. Maka kasusnya juga tidak akan ke rumah sakit. Kita tak akan mampu kalau kasusnya tidak direm dengan perubahan perilaku," jelas Wiku.
Terakit dengan pro-kontra penundaan pemilihan kepala daerah (Pilkada 2020), Wiku menyoroti adanya Pilkada 2020 justru sebagai ajang pencarian pemimpin daerah yang mampu mengendalikan penyebaran virus Corona.
Dan seharusnya bila konsisten, maka itu harus menjadi para kepala daerah untuk menangani Covid-19.
"Kalau justru ini didorong untuk menunjukkan incumbent maupun siapaun yang kontestasi bisa menunjukkan kontestasi dengan baik karena yang dicari kan leader sebenarnya, leader yang bagus di saat sekarang, siapa leader yang mampu mengendalikan Covid, kita bisa mengendalikan Covid," jelasnya.
Dengan memilih calon pemimpin yang dapat mengendalikan Covid-19, Wiku menilai kedepannya Indonesia bisa bergerak memperbaiki dampak ekonomi dari pandemi Corona ini.
Di sisi lain, Wiku pun tidak menyetujui apabila momentum Pilkada 2020 ini dijadikan sebagai ajang berkerumun.
"Kalau kita bisa kendalikan Covid maka baru kita menuju ke ekonomi. Ini adalah momentum bagus untuk bisa dimanfaatkan. Kalau justru sebaliknya menjadi kerumunan-kerumunan yang tidak dikendalikan, kerumunan itu harus dilarang. Kerumunan itu adalah potensi penularan malah alih-alih kita mau pesta demokrasi kita menunjukkan menjadi lebih baik malah justru sebaliknya," jelasnya.
Atas hal ini, Wiku pun menyoroti perlunya pembahasan lebih lanjut bersama penyelenggara Pilkada 2020. Tujuannya untuk memastikan betul pelaksanaan pesta demokrasi ini dapat berjalan di waktu yang tepat sesuai kondisi masing-masing daerah.
"Itulah kita perlu review bersama kalau pelaksanaan pilkada betul-betul dilaksanakan bahwa justru dimanfaatkan untuk mendorong menjadi lebih baik. Masyarakat produktif aman COVID itu nggak bisa kita secara nasional semuanya disamakan setiap daerah beda kondisinya," ungkapnya.
Diketahui, webinar yang ditutup oleh Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian ini berjalan selama lima jam. Banyak partisipan yang mengapresiasi kegiatan ini melalui room-chat atau live-chat, banhwa webinar ini sangat bermanfaat.
Di sela diskusi, moderator Maruarar Sirait menggelar poling yang diikuti partisipan. Dari tiga pertanyaan, salah satu pertanyaan adalah apakah setuju menunda pilkada atau tetap menjalankan Pilkada dengan syarat menjalankan protokol kesehatan dengan ketat.
Hasilnya, 42 persen setuju Pilkada ditunda, sementara 58 persen menjawab Pilkada dilanjutkan dengan syarat menjalankan protokol kesehatan dengan ketat dan disiplin.
Pertanyaan polling kedua seputar PSBB, 80 persen partisipan yang menjawab mau dan setuju melanjutkan PSBB, sementara 20 persen mau PSBB dihentikan.
Sementara terkait dengan pertanyaan ketiga, yaitu ketegasan aparat dalam menegakkan protokol kesehatan, 97 persen setuju, dan hanya 3 persen yang tidak setuju.