News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Omnibus Law Cipta Kerja

Politikus PKS Sebut Pasal Karet yang Resahkan Pesantren Juga Ikut Dicabut dari RUU Ciptaker

Penulis: Vincentius Jyestha Candraditya
Editor: Hasanudin Aco
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Wakil Ketua MPR RI Dr. H. M. Hidayat Nur Wahid MA,.

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua MPR RI, Hidayat Nur Wahid mendukung keputusan Pemerintah dan DPR RI yang mengakomodasi tuntutan para ormas Islam hingga PGRI dengan mencabut klaster pendidikan dari RUU Cipta Kerja.

Apalagi, kata HNW, salah satu pasalnya memuat ketentuan 'pasal karet' yang dapat mengkriminalisasi penyelenggara madrasah atau pesantren.

"Dari luar parlemen ada sejumlah ormas Islam seperti Muhammadiyah dan NU, sedangkan dari dalam parlemen ada Anggota Badan Legislasi FPKS Dr Mulyanto dan Wakil Ketua Komisi X dari FPKS Dr Abdul Fikri Faqih yang sangat keras menyuarakan agar klaster pendidikan didrop dari RUU Ciptaker,” ujar HNW dalam keterangannya, Senin (28/9/2020).

"Dan itu semuanya juga membuktikan bahwa penyusunan dan materi Omnibus Law RUU Ciptaker banyak mengandung masalah, karenanya mengundang begitu banyak kritik dan penolakan, baik dari internal DPR maupun dari luar DPR," imbuhnya.

Baca: HNW: Pencabutan Klaster Pendidikan Bukti RUU Ciptaker Bermasalah

Politikus PKS ini menilai sejumlah ketentuan dalam Klaster Pendidikan RUU Ciptaker yang mengubah beberapa pasal dalam UU Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) menjadi masalah.

Antara lain seperti berbagai ketentuan yang kentara sekali bernuansa liberalisasi, privatisasi, dan komersialisasi pendidikan.

"Itu semua jelas tidak sesuai dengan cita-cita Indonesia Merdeka, dan amanat UUD NRI 1945," katanya.

Anggota Komisi VIII DPR RI ini mengungkapkan penarikan klaster pendidikan dalam RUU Ciptaker itu memang seharusnya dilakukan oleh Pemerintah dan DPR.

Apalagi RUU itu telah menghadirkan kekhawatiran yang meluas. Bahkan hingga kalangan pendidikan keagamaan (Islam) banyak yang resah, karena ada spirit sekulerisasi, liberalisasi dan materialisme dalam RUU tersebut, yang tidak sesuai dengan tujuan pendidikan Nasional sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (3) dan ayat (5) UUD NRI 1945.

Dia mencontohkan klaster pendidikan dalam RUU Ciptaker itu menghapus keberadaan dan peran lembaga 'Raudhatul Athfal', lembaga pendidikan keagamaan untuk anak-anak. Pencabutan itu diatur dalam Pasal 28 ayat (3) Klaster Pendidikan Omnibus Law RUU Ciptaker.

Selain itu, beberapa ketentuannya juga berbau pasal karet yang bisa 'melar' hingga membahayakan lembaga pendidikan keagamaan seperti madrasah dan pesantren dan para pengelolanya.

Menurut HNW sesuai ketentuan UU, baik UU Sisdiknas maupun UU Pesantren, maka madrasah maupun pesantren termasuk dalam kategori lembaga pendidikan formal maupun non formal yang dikelola masyarakat.

Ketika hal tersebut diatur dalam aturan RUU Ciptaker dengan konsep omnibus law yang menjadi UU induk yang mencakup seluruh yang terkait dengan pendidikan, baik yang berada di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan maupun di bawah Kementerian Agama, tentu akan menimbulkan masalah.

Dia juga mengungkap Pasal 71 dan Pasal 62 ayat (1) RUU Ciptaker bermuatan karet, yang dapat mengancam sanksi hukum pidana selama-lamanya 10 tahun, atau denda sebanyak-banyaknya Rp 1 M, bagi penyelenggara lembaga pendidikan formal dan non formal yang belum memiliki izin.

HNW mengkhawatirkan apabila diatur dalam Omnibus Law, maka ketentuan itu akan berlaku umum sehingga bisa menyasar lembaga pendidikan formal maupun non formal yang berada di bawah Kementerian Agama, yaitu pesantren atau madrasah, serta para penyelenggaranya (Kiai dan Ustadz), yang sebenarnya sudah memiliki UU secara khusus, yakni UU Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren.

"Padahal pesantren dan madrasah sebagai lembaga pendidikan formal atau non formal, sudah punya aturan tersendiri, dalam UU yang bersifat lex specialis, yaitu UU Pesantren, yang sama sekali tidak mencantumkan sanksi hukuman pidana atau denda. Jadi wajar bila banyak pihak dikalangan Pesantren dan Madrasah yang resah akibat adanya pasal karet seperti itu, yang potensial jadi ancaman terhadap Pesantren, Madrasah dan para pengelolanya," jelasnya.

Pada Rapat Kerja terakhir Komisi VIII DPR RI dengan Menteri Agama Fachrul Razi, HNW juga sudah menyampaikan secara langsung kepada Fachrul Razi agar ikut aktif menyuarakan keresahan Pesantren dan Umat dan ikut mengkoreksi, baik dengan mengusulkan pencabutan klaster Pendidikan dari Omnibus Law RUU Ciptaker, atau agar menghadirkan ketentuan baru yang definitif dalam RUU Omnibuslaw klaster Pendidikan.

Bahwa, lanjutnya, Lembaga Pendidikan Keagamaan formal maupun non formal hanya merujuk kepada UU Pesantren, dan agar karenanya Pesantren tidak diatur dalam pasal karet seperti dalam klaster Pendidikan RUU Ciptakerja yang bisa multi tafair dan dipakai untuk mendhalimi/mengkriminalisasi Pesantren/Madrasah dan Para Pengelolanya.

Oleh karena itu, HNW bersyukur karena akhirnya klaster Pendidikan dalam RUU Ciptaker disepakati untuk dicabut oleh Pemerintah dan Baleg DPR.

Dengan begitu, pasal karet yang bisa menyasar Pesantren dan para Pengelolanya itu juga otomatis ikut dicabut.

Selain itu aturan soal pendidikan umum dan pendidikan agama kembali kepada UU lex specialis-nya masing-masing, seperti UU Sisdiknas dan UU Pesantren, yang terbukti lebih baik, dan lebih sesuai dengan semangat reformasi dan konstitusi.

"Dengan demikian, akan amanlah lembaga pendidikan Agama dan penyelenggaranya (yakni para Kiai dan Ustadz) dari kemungkinan tersasar intervensi dan ancaman sanksi, akibat adanya 'pasal karet' dalam Klaster Pendidikan RUU Ciptaker. Alhamdulillah," tandasnya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini