Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Berkurangnya hukuman dua terpidana kasus korupsi proyek e-KTP, Irman dan Sugiharto, menambah panjang daftar terpidana korupsi yang hukumannya disunat Mahkamah Agung (MA) melalui putusan Peninjauan Kembali (PK).
Sebelum Irman dan Sugiharto, berdasarkan catatan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sepanjang 2019 hingga saat ini, terdapat 20 perkara korupsi yang ditangani lembaga antikorupsi yang hukumannya dikurangi melalui putusan PK MA.
Menanggapi fenomena memprihatinkan tersebut, Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango menegaskan menghargai dan menghormati independensi kekuasaan kehakiman.
Baca: KPK Rampungkan Penyidikan Mantan Sekretaris MA Nurhadi
Namun, Nawawi yang juga berlatar hakim, khawatir maraknya sunatan masal hukuman koruptor memunculkan kecurigaan publik akan tergerusnya rasa keadilan dalam pemberantasan korupsi.
Untuk itu, ia meminta MA menyampaikan argumentasi dan jawaban dalam putusan-putusannya, terutama dalam putusan PK yang mengurangi hukuman koruptor.
"Dengan tetap menghargai independensi kekuasaan kehakiman, seharusnya Mahkamah Agung dapat memberi argumen sekaligus jawaban di dalam putusan-putusannya, khususnya putusan Peninjauan Kembali (PK), yaitu legal reasoning 'pengurangan' hukuman-hukuman dalam perkara-perkara a quo, agar tidak menimbulkan kecurigaan publik tergerusnya rasa keadilan dalam pemberantasan korupsi," kata Nawawi dalam keterangannya, Selasa (29/9/2020).
Baca: KPK Harap MA Berikan Argumen Jelas soal Penyunatan Masa Hukuman Koruptor
Argumentasi MA dalam putusannya penting disampaikan kepada publik lantaran fenomena sunatan masal hukuman koruptor melalui putusan PK marak terjadi setelah MA ditinggal oleh sosok Hakim Agung Artidjo Alkotsar yang kini bertugas sebagai Dewan Pengawas KPK.
Nawawi khawatir, pengurangan hukuman koruptor ini memunculkan anekdot 'bukan soal hukumnya tapi siapa hakimnya'.
"Terlebih putusan-putusan PK yang mengurangi hukuman ini, marak setelah gedung MA ditinggal sosok Artidjo Alkostar. Jangan sampai memunculkan anekdot hukum 'bukan soal hukumnya, tapi siapa hakimnya'," ujarnya.
Sebelumnya diberitakan, MA menyunat hukuman dua mantan pejabat Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yang menjadi terpidana korupsi proyek e-KTP, Irman dan Sugiharto, melalui putusan PK.
Baca: Tok Tok Tok, Mahkamah Agung Sunat Hukuman Dua Koruptor Proyek Pengadaan e-KTP
"Permohonan PK Pemohon/Terpidana Sugiharto dikabulkan oleh MA dalam tingkat pemeriksaan Peninjauan Kembali," kata Juru Bicara MA Andi Samsan Nganro saat dikonfirmasi, Selasa (29/9/2020).
Dalam amar putusannya, Majelis PK MA menjatuhkan hukuman 10 tahun pidana penjara terhadap Sugiharto yang merupakan mantan Direktur Pengelolaan Informasi dan Administrasi Ditjen Dukcapil Kemdagri sekaligus Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) proyek e-KTP.
Hukuman tersebut berkurang lima tahun dari putusan Kasasi yang menjatuhkan hukuman 15 tahun pidana penjara terhadap Sugiharto.
Sementara hukuman Irman yang merupakan mantan Direktur Jenderal Dukcapil Kemdagri sekaligus Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) hukumannya berkurang dari semula 15 tahun penjara di tingkat kasasi menjadi 12 tahun penjara.
Meski masa hukuman pidana penjara dikurangi, Majelis PK MA tetap menjatuhkan hukuman denda terhadap Irman dan Sugiharto yakni sebesar Rp500 juta subsider 8 bulan kurungan.
Selain itu, Irman dan Sugiharto juga tetap dijatuhi hukuman tambahan berupa kewajiban membayar uang pengganti sebagaimana putusan Kasasi.
Untuk Irman, Majelis PK menjatuhkan kewajiban membayar uang pengganti sebesar 500 ribu dolar AS dan Rp1 miliar dikurangi uang yang telah diserahkan Irman kepada KPK sebesar 300 ribu dolar AS subsider 5 tahun pidana.
Sementara Sugiharto diwajibkan membayar uang pengganti sebesar 450 ribu dolar AS dan Rp460 juta dikurangi uang yang telah disetorkan kepada KPK subsider 2 tahun penjara.
Andi Samsan membeberkan pertimbangan Majelis PK mengabulkan permohonan PK yang diajukan Irman dan Sugiharto serta mengurangi masa hukuman keduanya.
Salah satunya lantaran Irman dan Sugiharto telah ditetapkan KPK sebagai juctice collborator (JC) dalam tindak pidana korupsi sesuai keputusan Pimpinan KPK No. 670/01-55/06-2017 tanggal 12 Juni 2017.
Selain itu, keduanya juga bukan pelaku utama dan telah memberikan keterangan dan bukti-bukti yang signifikan terkait perkara korupsi proyek e-KTP.
"Sehingga Penyidik dan Penuntut Umum dapat mengungkap peran pelaku utama dan pelaku lainnya dalam perkara a quo," katanya.
Andi menegaskan, putusan PK Irman dan Sugiharto tersebut merupakan hasil musyawarah Majelis PK yang terdiri dari Hakim Agung Suhadi selaku Ketua Majelis PK serta Hakim Agung Krisna Harahap dan Sri Murwahyuni selaku Anggota Majelis.
Putusan Majelis PK tidak bulat lantaran Hakim Agung Suhadi menyatakan dissenting opinion atau mempunyai pendapat berbeda.
Suhadi menilai Irman dan Sugiharto memiliki peran penting dalam korupsi proyek e-KTP yang merugikan keuangan negara sekitar Rp2,3 triliun karena keduanya merupakan kuasa pengguna anggaran dalam proyek e-KTP.
"Namun demikian putusan PK kedua perkara tersebut hasil musyawarah majelis hakim PK tidak bulat karena Ketua Majelis, Suhadi menyatakan dissenting opinion (DO).
Suhadi menyatakan dissenting opinion karena Terpidana a quo memiliki peran yang menentukan yaitu sebagai kuasa pengguna anggaran," katanya.