TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan DPP Partai Demokrat, Herzaky Mahendra Putra, menilai ada logika yang keliru dalam perumusan RUU Cipta Kerja ini.
Presiden Joko Widodo menyebutkan tujuan dirumuskannya RUU ini untuk menciptakan lapangan kerja, dan penciptaan lapangan kerja bisa dilakukan jika ada investasi.
Dengan RUU Ciptaker ini, faktor-faktor yang menghalangi investasi, bisa dihilangkan, minimal dikurangi.
Padahal, menurut Global Competitiveness Report 2017-2018 yang dikeluarkan oleh World Economic Forum, tiga faktor utama penghambat investasi di Indonesia adalah korupsi, inefisiensi birokrasi, dan akses ke pembiayaan.
Sedangkan peraturan tenaga kerja di urutan ke-13.
Baca: Meski Menuai Polemik, DPR Sahkan RUU Cipta Kerja Jadi Undang-undang
Selain itu, lanjut politisi asal Kalbar ini, ada catatan sangat keras dari Bank Dunia terkait RUU Ciptaker ini.
"Bank Dunia menganggap RUU ini bisa merugikan buruh dan perlindungan hukum," kata Herzaky dalam Proklamasi Democracy Forum, Minggu, 4 Oktober 2020, mengingatkan ada logika yang keliru dalam perumusan RUU Ciptaker ini.
Partai Demokrat pun menolak Rancangan Undang–Undang tentang Cipta Lapangan Kerja.
Agus H. Yudhoyono, Ketua Umum Partai Demokrat menilai banyak hal yang harus dibahas kembali secara lebih mendalam dan komprehensif.
Ada lima hal yang perlu mendapatkan perhatian.
Pertama, RUU Ciptaker tidak memiliki nilai urgensi dan kegentingan memaksa di tengah krisis pandemi ini.
Di masa awal pandemi, prioritas utama negara harus diorientasikan pada upaya penanganan pandemi, khususnya menyelamatkan jiwa manusia, memutus rantai penyebaran Covid-19, serta memulihkan ekonomi rakyat.
Kedua, RUU Ciptaker ini membahas secara luas beberapa perubahan UU sekaligus (omnibus law).
Karena besarnya implikasi dari perubahan tersebut, maka perlu dicermati satu per satu, hati-hati, dan lebih mendalam, terutama terkait hal-hal fundamental, yang menyangkut kepentingan masyarakat luas.
Apalagi masyarakat sedang sangat membutuhkan keberpihakan dari negara dan pemerintah dalam menghadapi situasi pandemi dewasa ini.
"Tidak bijak jika kita memaksakan proses perumusan aturan perundang-undangan yang sedemikian kompleks ini secara terburu-buru," katanya.
Ketiga, harapannya RUU ini di satu sisi bisa mendorong investasi dan menggerakkan perekonomian nasional.
Namun di sisi lain, hak dan kepentingan kaum pekerja tidak boleh diabaikan apalagi dipinggirkan.
Tetapi, RUU ini justru berpotensi meminggirkan hak-hak dan kepentingan kaum pekerja di negeri kita. Sejumlah pemangkasan aturan perijinan, penanaman modal, ketenagakerjaan dan lain-lain, yang diatasnamakan sebagai bentuk “reformasi birokrasi” dan “peningkatan efektivitas tata kelola pemerintahan”, justru berpotensi menjadi hambatan bagi hadirnya “pertumbuhan ekonomi yang berkeadilan” (growth with equity).
Keempat, Partai Demokrat memandang RUU Ciptaker telah mencerminkan bergesernya semangat Pancasila utamanya sila keadilan sosial (social justice) ke arah ekonomi yang terlalu kapitalistik dan terlalu neo-liberalistik.
"Sehingga kita perlu bertanya, apakah RUU Ciptaker ini masih mengandung prinsip-prinsip keadilan sosial (social justice) tersebut sesuai yang diamanahkan oleh para founding fathers kita?" ucapnya.
Kelima, selain cacat substansi, RUU Ciptaker ini juga cacat prosedur.
Fraksi Partai Demokrat menilai, proses pembahasan hal-hal krusial dalam RUU Ciptaker ini kurang transparan dan akuntabel.
Pembahasan RUU Ciptaker ini tidak banyak melibatkan elemen masyarakat, pekerja dan jaringan civil society yang akan menjaga ekosistem ekonomi dan keseimbangan relasi Tripartit, antara pengusaha, pekerja dan pemerintah.
Selain lima hal yang perlu menjadi pertimbangan, Partai Demokrat juga menyampaikan tiga catatan kritis terkait isi dalam RUU ini.
Pertama, ada sejumlah catatan terkait ketidakadilan di sektor ketenagakerjaan, antara lain mengenai aturan prinsip ”no work no pay” oleh pengusaha karena upah dibayar berdasarkan satuan waktu kerja per jam.
Selanjutnya, RUU Ciptaker ini juga memberikan kemudahan dan kelonggaran yang berlebihan bagi perusahaan untuk mempekerjakan tenaga kerja asing.
Selain itu, RUU Ciptaker ini juga akan berimplikasi terhadap nasib sektor UMKM, konsumen, dan hukum bisnis. Bagi UMKM dan sektor informal, substansi RUU Ciptaker tidak menjawab kebutuhan di lapangan.
"Prinsipnya, perlindungan terhadap hak-hak para pekerja adalah hal yang fundamental untuk kita perjuangkan," katanya.
Kedua, terkait lingkungan hidup dan sektor pertanahan. RUU Ciptaker melegalkan perampasan lahan sebanyak dan semudah mungkin untuk Proyek Prioritas Pemerintah dan Proyek Strategis Nasional, yang pelaksanaannya dapat diserahkan kepada swasta.
Masalah lingkungan hidup juga menjadi catatan tersendiri dimana dalam RUU Ciptaker memberikan kemudahan syarat pembukaan lahan untuk perusahaan di berbagai sektor.
Selain itu, RUU Ciptaker memberikan kemudahan bagi pengadaan lahan di bawah 5 hektar.
Padahal, untuk wilayah perkotaan padat penduduk seperti Jakarta, Surabaya, dan lainnya, luas 5 ha dapat ditinggali oleh ratusan kepala keluarga.
Akibat pengaturan ini, penggusuran paksa dengan skala kecil sangat mudah dilakukan oleh Pemerintah Daerah.
Hilangnya berbagai perizinan menyebabkan masyarakat kehilangan jalur upaya hukum untuk mempertahankan tanahnya.
Ketiga, terkait sentralisasi peraturan dari daerah ke pusat.
RUU Ciptaker dinilai membahayakan kehidupan demokrasi di Indonesia.
Pertama, wibawa konstitusi dilecehkan dengan adanya aturan yang bertentangan dengan Putusan MK, dan dihidupkannya aturan kolonial di sektor perburuhan dan pertanahan.
Kedua, RUU Ciptaker akan memberi legalitas bagi pemerintahan yang sentralistik.
Dengan pemberian kewenangan yang terlalu besar kepada pemerintah pusat, akan menjadikannya superior dibandingkan kekuasaan legislatif, yudikatif, dan pemerintah daerah.
Padahal tujuan RUU ini adalah untuk mengefektifkan birokrasi.
Baca: Fraksi Demokrat Walk Out Saat Rapat Paripurna DPR Sahkan RUU Cipta Kerja
Tetapi, aturan terbaru ini justru akan semakin merumitkan proses birokrasi karena tidak adanya kepastian dan kejelasan hukum dalam hal Perizinan Berusaha.
Jadi, menurut Herzaky, RUU Ciptaker ini bagai obat sakit kepala, padahal Indonesia sebenarnya sedang sakit maag.
Kalau sakit maag kambuh, kadang efeknya sakit kepala juga.
"Pakai RUU Ciptaker ini, hanya menyembuhkan sakit tambahan saja. Bukan sakit utamanya. Malah memberikan sakit-sakit baru di organ tubuh lain," ujarnya.
"Percepatan ekonomi, memang tujuan mulia. Tetapi, tidak seharusnya mengabaikan rasa keadilan sosial. Jangan sampai atas nama percepatan ekonomi, ada rakyat yang dirugikan, apalagi kelompok rentan dan terbatas aksesnya. RUU Ciptaker ini semoga bukan penumpang gelap covid-19," katanya menambahkan.