2. Sanksi pidana dan tindakan;
3. Hukum acara khusus;
4. Hak-hak korban, saksi, keluarga korban dan ahli;
5. Pencegahan dan
6. Pemantauan.
Komnas Perempuan, karenanya, berpendapat bahwa upaya penghapusan kekerasan seksual adalah sesuai dengan Pancasila sebagai falsafah kehidupan berbangsa, bermasyarakat dan bernegara.
Falsafah yang kemudian menjadi norma tersebut diatur dalam hukum tertinggi di Indonesia yaitu konstitusi.
Konstitusi mengatur jaminan dan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM), dan perlindungan warga yang telah disepakati sebagai konsensus kehidupan berbangsa dan bernegara.
Baca: RUU PKS Dianggap Mengadopsi Ideologi Barat, LBH APIK: Justru Kita Lihat Situasi Korban di Indonesia
Baca: Pemerintah Minta DPR Prioritaskan RUU PKS
Secara konstitusional, upaya penghapusan kekerasan seksual menjadi pelaksanaan kewajiban negara pada pemenuhan hak konstitusional warga negara, terutama : Pasal 20, Pasal 28A,Pasal 28B Ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28H ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28I ayat (1), ayat (2), ayat (4), dan ayat (5) dan Pasal 28J ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Upaya pemenuhan hak konstitusional perempuan ini dilakukan dengan mendorong pembaharuan hukum melalui RUU PKS sejak tahun 2014.
Harapan Indonesia akan RUU ini sempat terhenti saat Komisi VIII menyatakan bahwa RUU Penghapusan Kekerasan Seksual tidak lagi menjadi usulan Komisi VIII dan proses penyusunan dan pembahasan RUU ini dikoordinasikan lebih lanjut oleh Badan Legislasi DPR RI.
Rapat kerja Baleg, DPD dan Menkumham RI tentang Evaluasi Prolegnas pada 2 Juli 2020 kemudian memutuskan secara resmi RUU Penghapusan Kekerasan Seksual keluar dari Prolegnas Prioritas 2020.
Keputusan itu pun menuai polemik di kalangan masyarakat sampai saat ini.
Terbukti bahwa masyarakat membutuhkan payung hukum untuk memenuhi hak atas keadilan dan pemulihan korban kekerasan seksual dan memastikan negara bertanggungjawab dalam menciptakan ruang-ruang yang aman dari kekerasan seksual.