Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Imparsial menolak dan menyayangkan pengesahan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja di DPR, salah satunya karena pembahasan dilakukan secara tertutup di saat pandemi covid-19.
Direktur Eksekutif Imparsial Al Araf menilai Pengesahan RUU Cipta Kerja (Omnibus Law) menjadi undang-undang oleh DPR pada Senin (5/10/2020) sangat disayangkan, mengingat Undang-Undang Cipta Kerja memiliki banyak permasalahan mulai dari proses penyusunan hingga substansi di dalamnya.
Baca: Polri Bakal Gelar Patroli Halau Ribuan Buruh yang Hendak Berunjuk Rasa Tolak Omnibus Law Cipta Kerja
Permasalahan tersebut di antaranya karena proses penyusunan UU Cipta Kerja dinilai cacat prosedur, karena dilakukan secara tertutup, tidak transparan, serta tidak memberikan ruang bagi partisipasi masyarakat sipil.
Baca: Tolak UU Cipta Kerja: 2 Juta Buruh Ancam Mogok Kerja Nasional Mulai Hari Ini, Berikut Tuntutannya
"Terlebih lagi, pembahasan tersebut dilakukan di tengah konsentrasi seluruh elemen bangsa berfokus menangani pandemi Covid-19," kata Al Araf ketika dikonfirmasi pada Selasa (6/10/2020).
Draf Undang-Undang Cipta Kerja pun, kata Al Araf tidak disosialisasikan secara baik kepada publik, bahkan tidak dapat diakses oleh masyarakat sehingga masukan dari publik menjadi terbatas.
Baca: Kadin Ungkap 2 Serikat Pekerja Ini Jadi Penggerak Buruh Mogok Kerja 3 Hari
"Hal ini merupakan pelanggaran terhadap Pasal 89 jo. 96 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang mewajibkan pemerintah untuk membuka akses terhadap RUU kepada masyarakat," kata Al Araf.
Lebih jauh, kata Al Araf, Satgas Omnibus Law Cipta Kerja bentukan pemerintah yang sebagian besar berasal dari kalangan pemerintah dan pengusaha juga dinilai eksklusif serta tidak mengakomodasi aspirasi masyarakat yang terdampak Undang-Undang.
Baca: Tolak RUU Cipta Kerja, KSPI: Mogok Kerja Dilakukan di Lingkungan Perusahaan
Kedua, Al Araf mengatakan substansi pengaturan dalam Undang-Undang Cipta Kerja memiliki banyak pasal-pasal yang bermasalah.
Salah satunya, kata dia, terdapat pasal-pasal yang menghidupkan kembali aturan yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Berdasarkan catatannya sejumlah Pasal dalam RUU Cipta Kerja menyebutkan bahwa Perpres bisa membatalkan Perda.
Padahal, kata Al Araf, hal tersebut bertentangan dengan Putusan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XIV/2016 terkait pengujian beberapa pasal dalam UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yaitu Pasal 251 ayat (2), (3), (4), dan (8).
Berdasarkan putusan MK tersebut, maka pengujian dan pembatalan Perda adalah kewenangan Mahkamah Agung.
Contoh lainnya, kata Al Araf, adalah terdapat pasal yang mengatur tentang Peraturan Pemerntah (PP) yang dapat digunakan untuk mengubah Undang-Undang.
"Hal ini tentunya menabrak ketentuan konstitusi dan aturan perundang-undangan lainnya, khususnya Pasal 7 ayat (1) dan (2) UU No. 12 Tahun 2011 yang menyebutkan bahwa PP memiliki kedudukan lebih rendah dibandingkan UU, sehingga PP tidak bisa membatalkan atau merubah Undang-Undang," kata Al Araf.
Berdasarkan catatannya terdapat hampir 400-an pasal dalam RUU Cipta Kerja yang menarik kewenangan kepada Presiden melalui pembentukan peraturan presiden.
Pasal-pasal tersebut, kata dia, mengatur bahwa Peraturan Pemerintah (PP) dapat digunakan untuk mengubah undang-undang (UU).
Menurutnya hal tersebut bertentangan dengan konstitusi, Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 dengan seolah-olah “menggeser” kewenangan membuat UU dari DPR kepada Presiden, dan bertentangan dengan aturan perundang-undangan lainnya, khususnya Pasal 7 ayat (1) dan (2) UU Nomor 12 Tahun 2011 yang menyebutkan bahwa PP memiliki kedudukan lebih rendah dibandingkan Undang-Undang.
Selain itu, kata Al Araf, Imparsial menilai bahwa masih banyak masalah-masalah lain di dalam UU Cipta Kerja, seperti dalam aspek ketenagakerjaan yang menghapus hak cuti dan hak upah atas cuti tentu sangat merugikan para pekerja buruh di Indonesia.
"Belum lagi soal pemangkasan uang pesangon dari 32 bulan menjadi 25 bulan, hal ini tentunya sangat merugikan para pekerja atau buruh," kata Al Araf.
Selain itu dalam aspek pengadaan tanah bagi kepentingan investasi, kata Al Araf, juga sangat berpotensi merugikan petani di Indonesia, dan pada aspek lingkungan hidup yang menghapus Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) sebagai syarat wajib izin usaha dan mengganti hanya menjadi sebagai bahan pertimbangan.
Secara sederhana, kata dia, dapat disimpulkan bahwa Undang-Undang (Omnibus Law) Cipta kerja berpotensi melanggar hak-hak konstitusional warga negara, merugikan para pekerja atau buruh, merugikan petani, merugikan hak-hak masyarakat adat, serta berdampak buruk bagi kelestarian lingkungan hidup di Indonesia.
"Atas dasar tersebut, Imparsial menolak dan menyayangkan pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja Omnibus Law di DPR, apalagi pembahasan tersebut dilakukan secara tidak lazim, yakni dilakukan secara tertutup dan di tengah masa reses anggota DPR RI serta di tengah konsentrasi segenap elemen nasional mengatasi pandemi Covid-19," kata Al Araf.