TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Rancangan Undang-Undang /RUU Omnibus Law Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU) lewat Rapat Paripurna DPRD Senin (5/10/2020) kemarin. Begini perjalanannya.
Berawal dari usulan Presiden Joko Widodo ( Jokowi), RUU Cipta Kerja merupakan RUU merupakan bagian dari RUU Prioritas Tahun 2020 dalam Program Legislasi Nasional Tahun 2020.
Pembahasan RUU Cipta Kerja oleh pemerintah dan DPR ini terbilang kilat dibandingkan dengan pembahasan RUU lain.
Bahkan, awalnya RUU Cipta Kerja bisa selesai sebelum 17 Agustus meskipun di tengah pandemi Covid-19.
Bandingkan dengan RUU lain yang belum juga diselesaikan oleh DPR seperti RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) dan RUU Pekerja Rumah Tangga (PRT).
Padahal jika dilihat dari jumlah Daftar Inventarisasi Masalah atau DIM, pasal-pasal di RUU Cipta Kerja yang dibahas jumlahnya jauh lebih banyak.
Dikebutnya pembahasan RUU ini diklaim demi kemudahan investasi di Indonesia.
Sidang-sidang pembahasannya dilakukan siang malam bahkan hingga larut malam, meskipun dibahas di tengah masa reses dan pandemi.
Pemerintah dan Baleg DPR RI memang sempat menunda pembahasan Klaster Ketenagakerjaan ini setelah mendapat perintah resmi dari Presiden Joko Widodo pada 24 April lalu.
Hal ini untuk merespons tuntutan buruh yang keberatan dengan sejumlah pasal dalam klaster tersebut.
Gerak cepat pemerintah
Jauh sebelum disahkan, pemerintah bergerak cepat meloloskan RUU Cipta Kerja. Pada Februari 2020, pemerintah mengklaim telah melakukan roadshow omnibus law RUU Cipta Kerja di 18 kota di Indonesia untuk menyerap aspirasi masyarakat.
“Untuk menyerap aspirasi dari teman-teman maka seluruh stakeholder ekonomi akan dilibatkan, justru Bapak Presiden memerintahkan untuk menyerap aspirasi semuanya," kata Sekretaris Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono kala itu.
Segera setelah draft RUU Omnibus Law Cipta Kerja rampung ada awal tahun 2020, pemerintah langsung mengirimkan draf RUU ke DPR. Sehingga draf RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja bisa masuk ke Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020.
Presiden Jokowi mengirimkan draf RUU Cipta Kerja kepada DPR pada 7 Februari 2020. Sebagai informasi, pemerintah menyusun 11 klaster pembahasan dalam draf RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja.
Klaster tersebut terdiri dari, penyederhanaan perizinan berusaha, persyaratan investasi, ketenagakerjaan, kemudahan pemberdayaan UMKM, kemudahan berusaha, dukungan riset inovasi, administrasi pemerintahan, pengenaan sanksi, pengadaan lahan, investasi dan proyek pemerintah, dan yang terakhir kawasan ekonomi.
Sampai 64 rapat
RUU ini baru mulai dibahas DPR pada 2 April 2020 dalam Rapat Paripurna ke-13. Selama di parlemen, proses pembahasannya relatif berjalan mulus.
Untuk meloloskan RUU Cipta Kerja menjadi UU Cipta Kerja, anggota dewan sampai rela melakukan rapat maraton.
Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Supratman Andi Agtas pun mengatakan, pada bab-bab terakhir pembahasan RUU tersebut bahkan dilakukan di akhir pekan. Secara keseluruhan, Baleg DPR RI dan pemerintah telah melakukan 64 kali rapat.
"Rapat 64 kali, 65 kali panja dan 6 kali timus timsin, mulai Senin-Minggu, dari pagi sampai malam dini hari, bahkan reses melakukan rapat di dalam atau di luar gedung atas persetujuan pimpinan DPR," kata dia dalam Rapat Paripurna DPR RI, Senin (5/10/2020).
Ditolak kelompok buruh/pekerja
setidaknya ada tujuh item krusial dalam UU Cipta Kerja yang amat merugikan buruh seperti dinyatakan Presiden KSPI Said Iqbal.
1. UMK bersyarat dan Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota (UMSK) dihapus
Said Iqbal menyatakan buruh menolak keras kesepakatan ini, lantaran UMK tidak perlu bersyarat dan UMSK harus tetap ada, di mana UMK tiap kabupaten/kota berbeda nilainya.
Said Iqbal menjelaskan bahwa tidak benar jika UMK di Indonesia lebih mahal dari negara ASEAN lainnya.
Hal itu lantaran jika diambil rata-rata nilai UMK secara nasional, justru UMK di Indonesia disebutnya jauh lebih kecil dibanding upah minimum di Vietnam.
UMSK ditegaskan harus tetap ada, di mana jalan tengahnya ialah penetapan nilai kenaikan dan jenis industri yang mendapatkan UMSK dilakukan di tingkat nasional untuk beberapa daerah dan jenis industri tertentu saja.
Jadi UMSK tidak lagi diputuskan di tingkat daerah dan tidak semua industri mendapatkan UMSK, agar ada fairness.
Sedangkan perundingan nilai UMSK dilakukan oleh asosiasi jenis industri dengan serikat pekerja sektoral industri di tingkat nasional.
Di mana keputusan penetapan tersebut hanya berlaku di beberapa daerah saja dan jenis sektor industri tertentu saja sesuai kemampuan sektor industri tersebut.
"Jadi tidak harus sama rata sama rasa, karena faktanya setiap industri berbeda kemampuannya. Karena itu masih dibutuhkan UMSK," ujar Said Iqbal.
2. Pengurangan Pesangon Jadi 25 Kali Upah Bulanan
Buruh menolak pengurangan nilai pesangon dari 32 bulan upah menjadi 25 bulan.
Di mana 19 bulan dibayar pengusaha dan 6 bulan dibayar BPJS Ketenagakerjaan.
3. Perjanjian PKWT
Mengenai Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) disebut Said Iqbal kontrak seumur hidup yang tidak ada batas waktu kontrak.
Buruh disebut Said menolak PKWT seumur hidup.
4. Sistem Outsourcing
Said Iqbal menilai, tanpa adanya batas jenis pekerjaan yang boleh di outsourcing.
Padahal sebelumnya, outsourcing dibatasi hanya untuk 5 jenis pekerjaan.
Menurut Said Iqbal, karyawan kontrak dan outsourcing seumur hidup menjadi masalah serius bagi buruh.
"Sekarang saja jumlah karyawan kontrak dan outsourcing berkisar 70 % sampai 80 % dari total buruh yang bekerja di sektor formal."
"Dengan disahkannya omnibus law, apakah mau dibikin 5% hingga 15% saja jumlah karyawan tetap? No job security untuk buruh Indonesia, apa ini tujuan investasi?," tegas Said Iqbal.
Said Iqbal mempertanyakan, siapa nantinya yang akan membayar Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) untuk karyawan kontrak dan outsourcing.
5. Cuti Haid dan Melahirkan Hilang
Buruh menolak hak cuti hilang dan hak upah atas cuti hilang.
Dia menjelaskan, cuti haid dan melahirkan bagi pekerja perempuan hilang, karena hak upahnya atas cuti tersebut hilang.
6. Hak Cuti Panjang Dihilangkan
Kemudian cuti panjang dan hak cuti panjang juga disampaikan hilang.
"Yang hilang saat cuti haid dan hamil, upah buruhnya tidak dibayar, no work no pay."
"Akibatnya buruh perempuan tidak akan mengambil hak cuti haid dan hamilnya karena takut dipotong upahnya pada saat mengambil cuti tersebut."
"Dengan kata lain, otomatis peraturan baru di Omnibus law tentang cuti haid dan hamil hilang," imbuhnya.
Aturan tersebut dinilai bertentangan dengan konvensi International Labour Organization (ILO) yang mengatur bahwa buruh yang mengambil hak cuti maka harus dibayarkan upahnya.
"Dalam peraturan yang lama di UU No 13/2003 dikatakan buruh yang menggunakan cuti haid, hamil, dan cuti lainnya dibayar upahnya," kata Said Iqbal.
7. Status Outsourcing Seumur Hidup
Alasan buruh menolak RUU Cipta Kerja ialah Karena karyawan kontrak dan outsourcing seumur hidup, maka jaminan pensiun dan kesehatan bagi mereka hilang.
"Dari tujuh isu hasil kesepakatan tersebut, buruh menolak keras. Karena itulah, sebanyak 2 juta buruh sudah terkonfirmasi akan melakukan mogok nasional yang berlokasi di lingkungan perusahaan masing-masing," tegas Said Iqbal.
Nah, bagi Anda ingin mengetahui isi lengkap RUU Omnibus Law Cipta Kerja yang kini telah disahkan menjadi UU Cipta Kerja bisa unduh melalui link yang dilansir Kompas.com berikut:
- Download RUU Cipta Kerja PDF (Google Drive) >>>
- Download RUU Cipta Kerja PDF (Baleg DPR) >>>http://www.dpr.go.id/dokakd/dokumen/BALEG-RJ-20200605-100224-2372.pdf
- Download Surat Presiden Jokowi untuk pengajuan RUU Cipta Kerja (PDF) >>>
- Download Daftar Inventarisasi Masalah atau DIM (PDF I) >>>
- Download Daftar Inventarisasi Masalah atau DIM (PDF II) >>>
- Download Kronologi dan seluruh pembahasan DIM yang dibahas DPR sejak 2 April 2020 hingga disahkan di Paripurna 6 Oktober 2020 >>>>
Sebagian artikel tayang di Kompas.com: Diusulkan Jokowi, Ini Perjalanan Panjang Keluarnya UU Cipta Kerja