Laporan Wartawan Tribunnews.com, Chaerul Umam
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - UU Cipta Kerja yang disahkan DPR RI mengundang polemik.
Bukan hanya soal klaster ketenagakerjaan saja yang menuai protes, klaster pendidikan pun turut menjadi sorotan.
Sebelumnya, DPR dan pemerintah sepakat menghapus klaster pendidikan dari UU Cipta Kerja.
Namun, nyatanya klaster pendidikan masih ada dalam UU Cipta Kerja.
Merespons hal itu, Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Achmad Baidowi mengatakan memang ketentuan klaster pendidikan itu dicabut dari UU Cipta Kerja.
Baca: UU Cipta Kerja Disahkan, Bisakah Jadi Karpet Merah untuk Investor? Begini Kata Analis Indef
Namun, yang dicantumkan pada pasal 65 itu adalah ketentuan perizinan berusaha.
"Ini maksudnya ada kata dapat disitu kata dapat itu boleh menggunakan izin berusaha, boleh tidak mnggunakan izin berusaha," kata Baidowi saat dihubungi Tribunnews, Rabu (7/10/2020).
Politikus PPP itu menjelaskan, pasal pendidikan bertujuan menjadi penghubung untuk perizinan lembaga pendidikan di kawasan ekonomi khusus.
Baca: Azis Syamsuddin Sebut 18 Anggota DPR Positif Covid-19 Saat Sidang Paripurna RUU Cipta Kerja
"Jadi kalau di kawasan ekonomi khusus itu kan orang kaya semua, tapi di kawasan ekonomi khusus yang boleh mendirikan adalah pemerintah dan BUMN," ucapnya.
Sebelumnya, Anggota Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa Ki Priyo Dwiyarso menegaskan penolakannya terhadap masuknya pasal soal pendidikan pada Undang-undang Cipta Kerja.
Menurut Priyo, pasal tersebut bertentangan dengan Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) dan Azas Tamansiswa karena menjurus pada komersialisasi pendidikan.
"Ada usaha komersialisasi pendidikan dan kebudayaan, bertentangan dengan kewajiban pemerintah harus memberi hak tiap warga negara dalam memperoleh pendidikan," kata Priyo kepada Tribunnews.com, Selasa (6/10/2020).
Baca: Amesty International Indonesia dan TURC Sebut Pengesahan UU Cipta Kerja Dipaksakan dan Abaikan HAM
Priyo mengatakan awalnya DPR setuju untuk mengeluarkan klaster pendidikan dalam UU Cipta Kerja.
Namun, pasal soal pendidikan kembali muncul dalam undang-undang tersebut.
Dirinya menilai pasal 65 UU Cipta Kerja mengenai perizinan usaha pendidikan sebagai usaha yang berbasis keuntungan.
Padahal dalam UUD 1945, pendidikan dikategorikan sebagai usaha nonprofit.
Rencananya, Tamansiswa bakal mengajukan uji materi atau judicial review terkait pasal tersebut ke Mahkamah Konstitusi (MK).
"Upaya ajukan judicial review kepada MK akan diupayakan oleh PKBTS bersama komunitas pendidikan utamanya dari kalangan NU dan Muhammadiyah," kata Priyo.
Merasa dipermainkan
Ketua Lembaga Pendidikan (LP) Maarif Nahdatul Ulama (NU) Arifin Junaidi mengaku kecewaa atas masuknya klaster pendidikan dalam UU Cipta Kerja.
Arifin mengatakan pihaknya sempat dijanjikan Ketua Komisi X DPR RI Syaiful Huda bila klaster pendidikan bakal dihapus dari draft RUU Cipta Kerja.
Namun, nyatanya setelah disahkan klaster pendidikan masih ada di dalam UU Cipta Kerja.
"Sebelumnya Ketua Komisi X DPR sudah menyampaikan kepada kami, melalui masyarakat bahwa soal pendidikan ini di-drop dari UU Cipta Kerja. Tapi ternyata masih tetap ada, karena itu kami tentu sangat kecewa. Kami merasa dipermainkan," ucap Arifin saat dikonfirmasi, Selasa (6/10/2020).
Baca: Demokrat Tolak RUU Cipta Kerja, AHY: Banyak Pasal yang Merugikan Kaum Buruh dan Pekerja
"Jadi saya tidak tahu ini, rezim apa ini, menganggap pendidikan sebagai komoditas yang diperdagangkan begitu," tambah Arifin.
Arifin mengatakan tidak selayaknya kegiatan pendidikan ditujukan untuk memperoleh keuntungan.
Menurutnya, pasal 65 UU Cipta Kerja mengarahkan kegiatan pendidikan menjadi upaya mencari laba karena terdapat aturan perizinan usaha.
"Masa bunyinya pasal 65 itu pelaksanaan pendidikan dapat dilakukan melalui perizinan berusaha.
Baca: Ditolak Pekerja, Ini Perjalanan UU Cipta Kerja, Mulai Usulan Pemerintah, Dikebut DPR Lalu Disahkan
Di dalam undang-undang itu izin usaha sama dengan izin usaha. Jadi ada upaya mencari laba," kata Arifin.
Padahal selama ini, Arifin mengatakan LP Maarif NU tidak pernah mengejar keuntungan dalam menjalankan pendidikan.
Menurut Maarif, aturan pada UU Cipta Kerja mensyaratkan izin usaha untuk pembukaan sekolah yang mengarah pada pencarian laba.
Dirinya menilai aturan ini akan mengancam pendidikan di daerah dan masyarakat menengah ke bawah.
"Kami ini kan banyak di desa di pelosok. Kami segmennya masyarakat menengah ke bawah. Jadi bisa mati ilmu sekolah madrasah kami, apa negara sanggup mengisi kekosongan itu kalau nanti kami gulung tikar," tegas Arifin.
Baca: Viral Insiden Mikrofon Mati Saat Demokrat Suarakan Tolak UU Cipta Kerja, Ini Pengakuan Pimpinan DPR
Rencananya, LP Maarif dengan lembaga pendidikan lain bakal mengajukan uji materi atau judicial review UU Cipta Kerja ke Mahkamah Konstitusi.
"Iya kita akan bersama-sama dengan aliansi yang kemarin yang menolak UU Cipta Kerja dari unsur pendidikan, kita akan bergerak bersama lagi. LP Marif tentu akan ikut di dalamnya, dan Maarif juga akan mengambil langkah sendiri guna di-dropnya pasal pendidikan," pungkas Arifin.
Seperti diketahui, DPR mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja menjadi undang-undang.
Hal tersebut diputuskan dalam rapat paripurna masa persidangan I Tahun Sidang 2020-2021 di gedung Nusantara DPR, Komplek Parlemen, Jakarta, Senin (5/10/2020).
"Berdasarkan yang telah kita simak bersama, saya mohon persetujuan. Bisa disepakati?," tanya Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin selaku pimpinan rapat paripurna.
"Setuju," jawab para anggota dewan.
Sebelum disahkan menjadi undang-undang, Azis mempersilahkan Ketua Panja Baleg DPR Supratman Andi Agtas dan perwakilan sembilan fraksi untuk menyampaikan pandangan akhir terkait RUU Cipta Kerja.
Setelah itu, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto mewakili pemerintah menyampaikan pandangan akhir terkait RUU tersebut.