TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Istilah penyandang cacat yang digunakan dalam Undang-Undang Cipta Kerja mendapat sorotan.
Ketua Indonesia Australia-Indonesia Disability Research and Advocacy Network (AIDRAN) Slamet Thohari mengatakan, penggunaan istilah penyandang cacat menyakiti perasaan para penyandang disabilitas.
“Padahal sejak tahun 2011 pemerintah secara resmi telah menggunakan istilah penyandang disabilitas sebagai hasil konvensi hak asasi penyandang disabilitas PBB yang dikuatkan penggunaan istilahnya dalam UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.” ujar Thohari saat dihubungi Kompas.com, Rabu (7/10/2020).
Baca: Pemerintah Sebut Prosesnya Terbuka, UU Cipta Kerja Tetap Tuai Kritik, KSP: Wajar Dalam Demokrasi
Istilah "penyandang cacat" tercantum dalam bagian penjelasan Pasal 55 UU Cipta Kerja.
Pasal 55 mengubah beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan. Bagian penjelasan Pasal 55 angka 3 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 38 ayat (2) UU Lalu Lintas Angkutan Jalan menyatakan, yang dimaksud dengan “fasilitas penunjang” antara lain adalah fasilitas untuk penyandang cacat, fasilitas kesehatan, fasilitas umum, fasilitas peribadatan, pos kesehatan, pos polisi, dan alat pemadam kebakaran.
“Penyandang cacat itu istilah yang jahat banget, itu adalah kejahatan paradigma,” kata Thohari.
Baca: Terjadi Gelombang Aksi Penolakan, KSP: UU Cipta Kerja Tak Bisa Puaskan Semua Pihak
Selain itu, Thohari mengatakan, UU Cipta Kerja mereduksi fasilitas publik atau aksesibilitas terhadap penyandang disabilitas hanya menjadi infrastruktur.
Padahal, aksesibilitas terhadap disabilitas tidak hanya infratruktur, tapi juga berupa sistem dalam kerja serta penggunaan bahasa isyarat.
“Aksesibilitas itu hanya menjadi infrastruktur saja dan itu pun hanya di rumah sakit, selain rumah sakit enggak,” tutur dia.
Baca: Posisikan Diri sebagai Pengusaha, Ini Pandangan Ruben Onsu Soal UU Cipta Kerja
Kemudian, Thohari menyoroti Pasal 81 UU Cipta Kerja yang mengubah sejumlah ketentuan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Pasal 81 angka 42 UU Cipta Kerja yang menyisipkan pasal 154A mengatur ketentuan bahwa pemutusan hubungan kerja dapat terjadi dengan alasan pekerja atau buruh mengalami sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 bulan.
“Ketika diputusnya pemutusan kerja karena dia menjadi disabilitas menurut saya itu enggak fair. Kenapa? Kalau dia tabrakan atau tangannya patah itu bisa dialihkan ke pekerjaan lain, bukan berarti kemudian diputus (PHK),” ujar Thohari.
“Itu bisa di-training dan dipindahkan ke divisi yang bisa, bukan kemudian dipecat, apalagi keputusan dia memecat dan tidak dipecat itu berdasarkan surat keterangan dokter,” ucap dia.
Terakhir, ia menyoroti hilangnya ketentuan soal kuota satu per 100 persen bagi perusahaan untuk menerima difabel.
Thohari mengatakan, dalam UU Cipta Kerja tidak ada kewajiban perusahaan untuk merekrut seorang penyandang disabilitas.
“Misalnya saya membuat perusahaan, karyawan saya 200 maka saya wajib meng-hired 2 dari difabel. Nah pasal kuota itu hilang di undang-undang cipta kerja, jadi enggak harus merekrut difabel,” tutur Thohari.
Penulis : Irfan Kamil
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul Istilah Penyandang Cacat dalam UU Cipta Kerja Menyakiti Perasaan