TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat mayoritas terdakwa kasus
korupsi sepanjang Semester I 2020 adalah laki-laki. Dari 906 terdakwa jenis kelamin terdakwa korupsi yang teridentifikasi sebanyak 896 terdakwa berjenis kelamin laki-laki.
"Berdasarkan jenis kelamin, laki-laki mendominasi klaster terdakwa kasus korupsi. Pantauan ICW menunjukkan jenis kelamin laki-laki sebanyak 814 orang dan perempuan hanya 82 orang," kata Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, saat pemaparan Hasil Pemantauan Tren Vonis Persidangan Perkara Korupsi Semester I Tahun 2020 via online, Minggu (11/10/2020).
Perangkat desa menempati peringkat atas dari sisi latar belakang terdakwa kasus korupsi.
Dari keseluruhan terdakwa yang dipantau oleh ICW, perangkat desa menjadi sektor yang paling banyak, yakni sejumlah 263 orang.
"Sepanjang satu semester tahun 2020 ICW mencatat setidaknya 1.043 terdakwa telah disidangkan di berbagai tingkatan pengadilan. Dari data tersebut, ditemukan 883 terdakwa yang berhasil diidentifikasi latar belakang pekerjaannya."
"Tiga peringkat teratas masing-masing: perangkat desa (263 orang), aparatur sipil negara (222 orang),
dan swasta (198 orang)," kata Kurnia.
Berdasarkan usia, orang yang berusia di atas 30 tahun ditemukan paling banyak menjadi terdakwa kasus korupsi.
Selengkapnya, usia di bawah 30 tahun hanya sebanyak 14 orang, sedangkan di atas 30 tahun sebanyak 379 orang.
Baca: KPK Periksa 7 Saksi dan Sita Barang Bukti Terkait Kasus Korupsi Proyek PUPR Kota Banjar
"Data di atas menunjukkan bahwa mayoritas terdakwa kasus korupsi berusia di atas 30 tahun. Sedangkan Pemuda (definisi berdasarkan Undang-Undang Kepemudaan) terbilang minim terlibat praktik korupsi," ujarnya.
Baca: ICW Desak Pemerintah dan DPR Revisi UU Tindak Pidana Korupsi
"Jika dikaitkan dengan isu kontekstual, yang mana beberapa regulasi, seperti Undang-Undang KPK dan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, menaikkan syarat usia untuk menjadi Pimpinan lembaga tidak
sepenuhnya tepat," beber kata Kurnia.
ICW juga menemukan fakta bahwa Mahkamah Agung (MA) mengurangi hukuman terhadap delapan terpidana kasus korupsi yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tingkat peninjauan kembali (PK) sepanjang tahun 2020.
Terbaru, MA mengabulkan PK mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum dan mengurangi hukuman Anas dari 14 tahun pada tingkat kasasi menjadi delapan tahun penjara.
Nama-nama terpidana lainnya seperti mantan Bupati Bengkulu Selatan Dirwan Mahmud, mantan panitera PN Jakarta Utara Rohadi, mantan Bupati Kepulauan Talaud Sri Wahyuni Maria.
Kemudian, mantan wali kota Cilegon Tubagus Iman Ariyadi, mantan anggota DPR Musa Zainudin, mantan direktur di Ditjen Dukcapil Kemendagri Irman, dan mantan pejabat Kemendagri Sugiharto.
Kurnia menilai pemotongan hukuman tersebut tak lepas dari pensiunnya Artidjo Alkostar sebagai hakim agung di tahun 2018. Diketahui, Artidjo dikenal sebagai sosok yang tidak segan menjatuhkan hukuman berat bagi para koruptor.
Menurutnya, para terpidana koruptor memanfaatkan pensiunnya Artidjo untuk mendapatkan pemotongan hukuman.
“Gelombang terpidana ini tidak bisa kita lepaskan dari faktor pensiunnya Hakim Agung Artidjo Alkostar yang sekarang sudah menjadi Dewan Pengawas KPK,” kata dia.
“Tidak ada lagi sosok seperti Artidjo Alkostar yang mempunyai perspektif yang baik ketika menyidangkan perkara korupsi,” sambung Kurnia.
Untuk itu, ICW mendorong KPK untuk mengamati lebih jauh sidang PK di MA demi mencegah praktik
korupsi ketika koruptor dijatuhi hukuman ringan.
Kurnia menjelaskan tren hukuman terhadap terdakwa perkara korupsi dalam periode semester I tahun 2020 masih rendah.
Berdasarkan pemantauan yang dilakukan ICW sepanjang Januari 2020 hingga Juni 2020, pelaku korupsi rata-rata dihukum 3 tahun pidana penjara.
"Rata-rata vonis untuk semester I 2020 ternyata hanya tiga tahun penjara. Tentu ini ironis sekali karena masuk dalam kategori hukuman ringan berdasarkan penilaian ICW," kata Kurnia.
ICW mengkategorikan hukuman ringan berkisar pada 0 tahun pidana penjara hingga 4 tahun pidana penjara, hukuman sedang berkisar antara 4 tahun hingga 10 tahun dan hukuman berat di atas 10 tahun penjara.
Dari pemantauan yang dilakukan ICW sepanjang semester I 2020, terdapat 1.008 perkara korupsi dengan 1.043 terdakwa yang disidangkan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Pengadilan Tinggi dan
Mahkamah Agung.
Dari jumlah itu, pengadilan Tipikor atau pengadilan tingkat pertama menyidangkan 838 perkara korupsi dengan rata-rata hukuman yang dijatuhkan terhadap terdakwa korupsi 2 tahun 11 bulan.
Sementara Pengadilan Tinggi atau pengadilan tingkat banding mengadili 162 perkara dengan rata-rata hukuman 3 tahun 6 bulan.
Sedangkan Mahkamah Agung yang menangani kasasi dan Peninjauan Kembali mengadili delapan
perkara dengan rata-rata hukuman 4 tahun 8 bulan.
Kurnia mengakui rata-rata hukuman terdakwa korupsi pada semester I 2020 mengalami peningkatan dibanding rata-rata hukuman koruptor pada 2019 berdasarkan pemantauan ICW yakni 2 tahun 7
bulan.
Namun, dengan rata-rata hukuman terdakwa korupsi pada semester I 2020 yang masih tergolong ringan tersebut, ICW pesimis dapat menimbulkan efek jera terhadap pelaku korupsi.
"Cita-cita untuk menciptakan Indonesia yang bebas dari korupsi pemberian efek jera yang maksimal rasanya masih sangat jauh akan bisa terealisasi kalau kita melihat data seperti ini," kata Kurnia.(Tribun Network/ham/kps/wly)