Laporan Wartawan Tribunnews.com, Igman Ibrahim
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Bareskrim Polri menyebutkan penangkapan deklarator Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) Jumhur Hidayat diduga terkait ujaran kebencian melalui akun sosial media Twitternya.
Kadiv Humas Polri Irjen Pol Argo Yuwono menyampaikan Jumhur Hidayat diduga menyebarkan ujaran kebencian terkait dengan Omnibus Law UU Cipta Kerja.
Salah satu cuitan yang dipersoalkan adalah tudingan regulasi itu titipan Tiongkok.
Baca juga: Istri Jumhur Cerita Detik-detik Penangkapan Suaminya, 30 Polisi Berpakaian Preman Masuk ke Rumah
"Tersangka JH di akun twitternya menulis salah satunya UU memang untuk primitif. Investor dari RRT dan pengusaha rakus. Ada beberapa tweetnya. Ini salah satunya," kata Argo di Bareskrim Polri, Jakarta, Kamis (15/10/2020).
Menurutnya, unggahan tersebut diklaim menjadi pemicu adanya kerusuhan saat aksi demo tolak Omnibus Law UU Cipta Kerja di daerah.
Dia bilang ungkapan itu merupakan hasutan kepada masyarakat.
Baca juga: Sosok serta Kiprah Jumhur Hidayat, Aktivis KAMI yang Ditangkap Bareskrim Selasa Pagi
Ia juga menyampaikan unggahan itu disebutkan memuat berita bohong dan mengandung kebencian berdasarkan SARA.
"Akibatnya anarkis dan vandalisme dengan membuat kerusakan-kerusakan ini sudah kitabtangani. Pola dari hasutan," jelasnya.
Baca juga: Profil Jumhur Hidayat: Dipecat SBY hingga Pejuang TKI, Kini Petinggi KAMI Itu Ditangkap Polisi
Dalam kasus ini, polisi menyita sejumlah barang bukti berupa handphone, KTP, harddisk, hingga akun Twitter milik Jumhur.
Selain itu, polisi juga menyita spanduk, kaos hitam, kemeja, rompi dan topi.
Atas perbuatannya itu, Jumhur Hidayat dijerat dengan pasal dalam Pasal 28 ayat 2 kita juncto Pasal 45A ayat 2 UU No 19 Tahun 2016 tentang ITE, Pasal 14 ayat 1 dan 2, dan pasal 15 UU No 1 Tahun 1946. Ancamannya hukumannya selama 10 tahun.
Istri Jumhur Cerita Detik-detik Penangkapan Suaminya
Istri Jumhur Hidayat menceritakan detik-detik penangkapan suaminya di rumahnya.
Alia Febiyani, istri Jumhur Hidayat, menyuarakan kekesalannya pada polisi saat proses penangkapan berlangsung.
Polisi dianggap tidak taat protokol kesehatan ketika menjemput suaminya atas klaim melanggar UU ITE.
Kepada ABC Indonesia, Alia Febiyani menceritakan ada hampir tiga puluh orang berpakaian hitam dan putih dan bercelana jeans yang masuk ke rumahnya pagi itu.
"Rumah kan tempat keluarga, ada anak-anak, tapi mereka memaksa masuk begitu saja, bahkan nggak mau menunggu, padahal saya bilang saya sedang mau pakai jilbab dulu," tutur Alia.
"Kesel banget mereka nggak taat aturan protokol kesehatan. Sempet saya tegur. Kalian semua masuk-masuk kamar orang begini sudah pada diswab belum? Lagi pandemi begini?" tambah tbu empat orang anak ini.
Baca juga: Sosok serta Kiprah Jumhur Hidayat, Aktivis KAMI yang Ditangkap Bareskrim Selasa Pagi
Alia mengatakan saat dijemput dari rumah, Polisi tidak memperlihatkan atau memberikan Surat Penangkapan.
Surat baru diberikan di Bareskrim sore harinya.
Amnesty Indonesia menganggap penangkapan tersebut sebagai upaya intimidasi.
Sekitar pukul tujuh pagi Selasa (13/10/2020), sejumlah polisi berpakaian preman merangsek masuk ke kediaman Jumhur Hidayat sampai ke kamar tidurnya.
Jumhur Hidayat dikenal sebagai aktivis '98 jebolan Institut Teknologi Bandung (ITB) yang pernah menduduki jabatan sebagai Kepala BNP2TKI di masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.
Ia sempat menjadi salah satu pendukung Joko Widodo pada Pemilu tahun 2014, sebelum menjadi salah satu anggota KAMI (Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia) yang dideklarasikan Agustus lalu.
Jumhur merupakan satu dari sejumlah aktivid KAMI yang ditangkap polisi.
Belum ada penjelasan resmi dari polisi soal penangkapan ini.
Tribunnews.com mencoba mengklarifikasi kepada juru bicara kepolisian RI.
Habis operasi
Anggota Komite Eksekutif KAMI, Amad Yani mengatakan pertemuannya terakhir kali dengan Jumhur 2 minggu lalu.
Namun, kata dia, kabar terakhir yang diterima rekannya itu baru keluar rumah sakit usai menjalani operasi, Minggu (11/10/2020) kemarin.
"Pak Jumhur baru keluar dari RS, habis operasi. Makanya saya sudah 2 minggu tak ketemu Pak Jumhur itu. Kita tidak tahu perbuatan apa yang dipersangkakan," katanya.
Direktur Eksekutif Amnesty International Usman Hamid mengkritik langkah polisi yang melakukan penangkapan terhadap aktivis Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia ( KAMI) terkait aksi unjuk rasa menolak Undang-Undang Cipta Kerja.
Usman menilai langkah polisi tersebut hanya untuk menyebar ketakutan.
"Penangkapan ini dilakukan untuk menyebar ketakutan di antara mereka yang mengkritik pengesahan omnibus law Undang-Undang Cipta Kerja," kata Usman dalam keterangan tertulis, Selasa (13/10/2020).
Di sisi lain, Usman juga menilai penangkapan ini menunjukkan bahwa kebebasan berekspresi di negara ini sedang terancam.
Baca juga: Jumhur Hidayat Dulu Pendukung Jokowi, Pernah Dipenjara Era Orde Baru, Kini Ditangkap Bareskrim Polri
Ia menyebutkan, penangkapan ini bisa dilihat sebagai upaya untuk mengintimidasi oposisi dan mereka yang mengkritik rezim yang sedang berkuasa.
"Negara harus menghentikan segala bentuk intimidasi terhadap mereka yang mengkritik dan memastikan penghormatan penuh terhadap hak asasi manusia bagi siapa saja, termasuk pihak oposisi," kata dia.
Justru dengan langkah ini, Usman menilai Presiden Joko Widodo telah melanggar janjinya sendiri untuk melindungi hak asasi manusia.
"Pihak berwenang harus segera membebaskan ketiganya, yang dijerat hanya karena mempraktekkan kebebasan berbicara, dengan tanpa syarat," kata dia.
Ditetapkan tersangka
Polisi telah menetapkan tiga petinggi Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) sebagai tersangka.
Mereka adalah Anton Permana, Syahganda Nainggolan, dan Jumhur Hidayat.
Mereka ditangkap terkait demonstrasi menolak Undang-Undang Cipta Kerja yang berujung ricuh.
Selain ditetapkan sebagai tersangka, ketiganya juga ditahan.
“Namanya sudah ditahan, sudah jadi tersangka,” kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Divisi Humas Polri Brigjen (Pol) Awi Setiyono di Gedung Bareskrim, Jakarta Selatan, Rabu (14/10/2020).
Adapun Anton ditangkap di daerah Rawamangun pada 12 Oktober 2020. Pada 13 Oktober 2020, polisi menangkap Syahganda di Depok dan Jumhur di Jakarta Selatan.
Syahganda merupakan anggota Komite Eksekutif KAMI. Kemudian, Anton dan Jumhur merupakan petinggi KAMI.
Polri, kata dia, berencana merilis kasus tersebut pada Kamis (14/10/2020).
“Besok (hari ini) rencananya akan dilakukan rilis, silakan tanya sejelas-jelasnya,” ucap dia.
Di sisi lain, polisi telah menetapkan lima orang lainnya sebagai tersangka. Kelimanya juga ditangkap terkait aksi menolak UU Cipta Kerja yang berujung ricuh.
Mereka terdiri dari Ketua KAMI Medan Khairi Amri, JG, NZ, WRP, dan KA. Kelimanya juga ditahan oleh Bareskrim Polri di Jakarta.
Tersangka Khairi, JG, NZ, dan WRP ditangkap di daerah Sumatera Utara dalam kurun waktu 9-12 Oktober 2020. Sementara itu, KA ditangkap di Tangerang Selatan pada 10 Oktober 2020.
Awi sebelumnya mengatakan, rangkaian penangkapan orang-orang tersebut terkait dugaan penghasutan serta menyebarkan ujaran kebencian berdasarkan SARA.
Mereka diduga melanggar Pasal 45A Ayat 2 UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang ITE dan/atau Pasal 160 KUHP tentang penghasutan.
“Penghasutan tentang apa? Ya tadi, penghasutan tentang pelaksanaan demo Omnibus Law yang berakibat anarkis,” ucap Awi di Gedung Bareskrim, Jakarta Selatan, Selasa (13/10/2020).