TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Bareskrim Polri melimpahkan berkas perkara tahap dua kasus penghapusan red notice Djoko Tjandra yang menyeret dua petinggi Polri, Jumat (16/10/2020).
Dua petinggi Polri yang dimaksud adalah Irjen Napoleon Bonaparte dan Brigjen Prasetijo Utomo.
Keduanya hadir dalam pelimpahan tahap dua di Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Selatan.
Tak seperti penampilan sebelumnya, Napoleon kini mengenakan baju tahanan berwarna oranye. Begitu pun dengan Prasetijo.
Saat menjalani sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Napoleon masih mengenakan seragam dinas Polri.
Meski mengenakan baju tahanan, keduanya tidak dalam kondisi tangan diborgol.
Irjen Napoleon tampak buru-buru masuk ke gedung Kejari Jakarta Selatan dan terkesan menghindari awak media.
Baca juga: Irjen Pol Napoleon Resmi Ditahan, Berikut Rekam Jejak serta Perjalanan Karier sang Jenderal
Sementara Prasetijo yang berada di belakang Napoleon terlihat lebih santai. Ia sempat mengacungkan jempol ke arah awak media.
"Hari ini tahap dua pelimpahan dari penyidik ke penuntut umum Kejaksaan Agung. Memang secara administrasi diserahkan ke Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan," kata Kepala Kejari Jakarta Selatan Anang Supriatna.
Meski dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, Napoleon dan Prasetijo tetap ditahan di Rutan Mabes Polri.
"Penuntut Umum punya waktu 14 hari. Setelah itu diserahkan ke pengadilan," ujar Anang.
Irjen Pol Napoleon
Sebelumnya Direktorat Tindak Pidana Korupsi (Dittipikor) Bareskrim Polri akhirnya menahan dua tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi pencabutan red notice atas nama Joko Soegiarto Tjandra, Irjen Napoleon Bonaparte dan pengusaha Tommy Sumardi.
Keduanya ditahan sebelum penyidik melakukan pelimpahan tahap II untukkasus tersebut.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Divisi Humas Polri, Brigjen (Pol) Awi
Setiyono mengatakan, penyidik memanggil Irjen Napoleon dan Tommy Sumardi pada
Rabu (14/10) kemarin.
Baca juga: Fakta Sidang Surat Jalan Palsu Djoko Tjandra, Pembuatan Hingga Brigjen Prasetijo Lenyapkan Bukti
”Menjelang dilaksanakannya tahap II, penyidik Tipikor Bareskrim Polri hari ini memanggil dua tersangka atas nama NB dan TS,” kata Awi di Gedung Bareskrim, Jakarta Selatan.
Pelimpahan tahap II adalah ketika penyidik melimpahkan tersangka dan barang bukti
kepada jaksa penuntut umum (JPU).
Hal itu dilakukan setelah berkas perkara dinyatakan lengkap atau P21 oleh kejaksaan.
Awi mengatakan, Napoleon tiba pada pukul 11.00 WIB. Satu jam setelahnya, giliran Tommy yang
Sebelum ditahan, kedua tersangka itu menjalani tes swab terkait Covid-19.
”Tersangka NB (Napoleon Bonaparte) langsung dilakukan swab dan selanjutnya dilakukan upaya paksa berupa penahanan," kata Awi.
Irjen Napoleon dan Tommy Sumardi sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh
Bareskrim sejak 14 Agustus 2020. Namun, saat itu keduanya tidak langsung ditahan.
Awi mengatakan, keputusan untuk tidak menahan kedua tersangka sebelumnya karena penyidik tak ingin terikat dengan masa penahanan tersangka.
”Karena memang penyidikan tipikor di Bareskrim itu beda dengan yang dilaksanakan KPK, jadi kita tidak mau terbelenggu dengan kita menahan orang tahu-tahu kasusnya panjang atau bisa lama untuk P21-nya,” ujar Awi.
Dalam kasus ini, ada empat tersangka yang ditetapkan oleh penyidik Bareskrim.
Djoko Tjandra dan Tommy Sumardi berstatus sebagai tersangka dan diduga sebagai pemberi suap.
Sementara Irjen Napoleon dan Brigjen (Pol) Prasetijo Utomo diduga menerima suap.
Djoko Tjandra diduga mengucurkan dana untuk menghapus red notice atas nama dirinya dari basis data interpol.
Pihak yang ditujukan untuk membantu proyek itu adalah Napoleon Bonaparte yang merupakan mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri dan membawahi Sekretaris NCB Interpol yang mengurus red notice.
Tersangka Djoko Tjandra sekaligus merupakan terpidana kasus pengalihan hak tagih
(cessie) Bank Bali.
Ia pun sedang menjalani tahap persidangan untuk kasus surat jalan palsu yang menjeratnya.
Prasetijo juga menjadi tersangka di kasus surat jalan palsu yang sudah masuk tahap persidangan.
Kasus terhapusnya red notice Djoko Tjandra mulanya diketahui setelah buronan 11 tahun itu masuk ke Indonesia tanpa terdeteksi untuk mendaftarkan Peninjauan Kembali kasusnya ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Belakangan diketahui nama Djoko sudah terhapus dari red notice Interpol dan daftar cekal Direktorat Jenderal Imigrasi.
Dalam perkembangan kasus ini, Napoleon sempat mengajukan gugatan praperadilan
atas penetapan dirinya sebagai tersangka. Namun gugatan itu ditolak hakim.
Bahkan, dalam sidang praperadilan terungkap bahwa proyek pencabutan red notice itu telah disepakati memakan upah biaya sebesar Rp10 miliar.
Brigjen Prasetijo
Dalam persidangan beberapa waktu lalu, Jaksa Penuntut Umum (JPU) mendakwa Prasetijo turut
membantu membuat surat jalan palsu untuk Djoko Tjandra masuk dan keluar ke Indonesia.
Surat-surat yang dikeluarkan Prasetio untuk memuluskan langkah Djoko Tjandra itu di antaranya surat jalan dan surat keterangan pemeriksaan Covid-19.
Djoko Tjandara adalah terpidana kasus korupsi hak tagih (cessie) Bank Bali. Ia diketahuimenjadi buron sejak 2009 karena melarikan diri sebelum dieksekusi ke tahanan.
Jaksa mengatakan, Prasetijo yang saat itu menjabat sebagai Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan PPNS Bareskrim Polri mengeluarkan sejumlah surat palsu agar Djoko Tjandra dapat keluar masuk Indonesia tanpa terdeteksi.
JPU lantas membeberkan peran Prasetijo yang dimulai pada 29 April 2020. Saat itu, ia
bertemu Anita Kolopaking di kantornya di lantai 12 Bareskrim Polri.
Anita adalah pengacara Djoko Tjandra yang diminta mengurus kedatangan buronan Kejaksaan Agung itu ke Indonesia.
Anita sendiri dikenalkan kepada Prasetijo melalui perantara Tommy Sumardi.
Dalam pertemuan tersebut, Anita mempresentasikan mengenai status hukum Djoko Tjandra.
Anita menjelaskan bahwa Djoko Tjandra merupakan terpidana buron yang hendak
dieksekusi 2 tahun atas putusan PK kasus cessie Bank Bali 2009.
Selain itu, Djoko Tjandra juga masuk dalam red notice interpol serta DPO dalam sistem pencegahan Direktorat Jenderal Imigrasi. Namun demikian, Prasetijo tetap setuju untuk membantu Djoko Tjandra.
Pada 24 Mei, Djoko Tjandra menghubungi Anita dan mengatakan akan ke Jakarta untuk mengurus gugatan PK. Ia akan datang langsung karena pada gugatan sebelumnya, PK tak diterima PN Jaksel sebab pemohon harus datang langsung di persidangan.
Saat itu, Djoko Tjandra belum merinci kapan tanggal pasti ia akan datang.
Tetapi, Anita langsung berkoordinasi dengan Prasetijo untuk menyiapkan 'pengamanan' Djoko Tjandra di
Indonesia.
Anita menanyakan, apakah Prasetijo punya anak buah di Pontianak untuk menemani Djoko Tjandra mengurus persyaratan penerbangan.
Selain itu, Anita menanyakan informasi rumah sakit yang bisa mengeluarkan surat bebas Covid-19 dan surat sehat agar bisa terbang menggunakan jalur resmi di Indonesia.
Atas pertanyaan-pernyataan itu, Prasetijo menyanggupi menyediakan surat bebas Covid-19 tersebut. Prasetijo mengatakan 'udah... dari ini aja surat covidnya sekalian surat jalan bapak'.
"Yang dimaksud 'bapak', saksi Joko Soegiarto Tjandra," kata jaksa saat membacakan dakwaan.
Menindaklanjuti permintaan Anita, pada 3 Juni di kantornya, Prasetijo memerintahkan
Kaur TU Korwas PPNS Bareskrim Polri, Dodi Jaya, membuat surat jalan ke Pontianak
dengan keperluan bisnis tambang.
Namun, di dalam surat jalan tersebut, ia memerintahkan Dodi mengganti keperluan surat jalan menjadi monitoring pandemi di Pontianak.
Setelah dibaca, Prasetijo meminta Dodi agar mengganti pihak yang menandatangani
surat jalan dari semula Kabareskrim menjadi Kakorwas PPNS Bareskrim yang saat itu
dijabatnya. Begitu juga memerintahkan mencoret kop surat yang bertuliskan Mabes
Polri.
"Setelah Dodi Jaya selesai membuat surat jalan tersebut lalu diserahkan kepada Brigjen Prasetijo Utomo. Kemudian Brigjen Prasetijo Utomo membacanya dan memerintahkan Dodi Jaya untuk merevisi surat jalan tersebut dengan mencoret kop surat bertuliskan Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia Badan Reserse Kriminal menjadi Badan Reserse Kriminal Polri Biro Korwas PPNS," kata jaksa.
"Untuk pejabat yang menandatangani sebelumnya tertulis Kepala Badan Reserse Kriminal Polri dicoret dan diganti menjadi Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan PPNS, termasuk nama Kabareskrim Komjen Pol Listyo Sigit Prabowo dicoret dan diganti menjadi nama Brigjen Pol Prasetijo Utomo. Pada bagian tembusan dicoret atau tidak perlu dicantumkan tembusan," lanjutnya.
Setelah surat tersebut dibuat, Prasetijo kemudian memerintahkan membuat surat yang sama namun atas nama berbeda, yakni untuk Djoko Tjandra dan Anita Kolopaking.
Selain itu, dibuat pula Surat Keterangan Pemeriksaan Covid-19 serta Surat
Rekomendasi Kesehatan atas nama Prasetijo Utomo, Jhony Andrijanto, Anita
Kolopaking, dan Joko Soegiarto. Surat ditandatangani oleh dr. Hambek Tanuhita.
Pada 4 Juni, surat tersebut diberikan kepada Anita. Lalu, surat itu difoto oleh Anita dan
diberikan via WhatsApp kepada Djoko Tjandra untuk keperluan terbang menggunakan
pesawat carter pada 6 Juni 2020.
Namun, persyaratan tersebut masih kurang surat kesehatan, yang menyebutkan kondisi kesehatan penumpang seperti tinggi badan, berat badan, tekanan darah, dan
sebagainya.
Sehingga pada 5 Juni, Anita kembali bertemu Prasetijo untuk meminta
surat tersebut.
Prasetijo lantas meminta anah buahnya, Etty Wachyuni untuk membuat surat kesehatan tersebut dengan mencantumkan jabatan kepada Anita dan Djoko Tjandra sebagai konsultan Biro Korwas.
Surat itu ditandatangani oleh dr. Hambek Tanuhita. Surat itu diberikan kepada Anita, lalu oleh Anita diberikan sebagai kelengkapan dokumen penerbangan.
Pada 6 Juni, Anita Kolopaking dan Prasetijo serta Kompol Jhony Andrijanto bertemu di
Bandara Halim Perdanakusuma.
Mereka berangkat menuju Bandara Supadio Pontianak menggunakan pesawat King Air 350i untuk menjemput Djoko Tjandra.
Sesampainya di Bandara Supadio, rombongan bertemu Djoko Tjandra di pintu
keberangkatan. Rombongan bersama Djoko Tjandra langsung kembali terbang ke
Jakarta.
Setiba di Jakarta, Djoko Tjandra menuju rumahnya di Jalan Simprug Golf I
Kavling 89, Jakarta Selatan.
Pada 8 Juni, Djoko Tjandra dan Anita Kolopaking mengurus pembuatan e-KTP di Kantor
Kelurahan Grogol Selatan. Begitu beres, mereka menuju PN Jakarta Selatan. e-KTP
diperlukan untuk syarat pendaftaran PK.
Setelah pengurusan itu, Djoko Tjandra kembali terbang dari Bandara Halim ke Bandara Supadio untuk kembali ke Malaysia.
Ia kembali diantar Anita Kolopaking, Prasetijo, dan Jhony. Mereka menggunakan surat dan dokumen jalan yang sama seperti penerbangan ke Jakarta.
Selang beberapa hari, Djoko Tjandra menghubungi Anita akan ke Jakarta untuk mengurus paspor.
Anita kemudian menghubungi Prasetijo untuk menyiapkan dokumen
persyaratan perjalanan.
Dokumen kemudian disiapkan, yakni Surat Jalan, Surat Rekomendasi Kesehatan, dan Surat Keterangan Pemeriksaan Covid-19 dari Pusat Kedokteran dan Kesehatan Polri.
Djoko Tjandra menanyakan pada Anita Kolopaking perihal polisi yang akan
membantunya mengurus administrasi di Bandara Supadio. Sebab, ia akan ke Jakarta
menggunakan pesawat komersial. Anita Kolopaking kemudian berkoordinasi dengan
Prasetijo.
Brigjen Prasetijo menjawab lewat Jhony dengan mengirimkan identitas dan kontak polisi bernama Jumardi yang akan membantu Djoko Tjandra, Pada 20 Juni, Djoko Tjandra berangkat ke Jakarta menggunakan Lion Air.
Saat proses check in, dia dibantu Jumardi yang mengantar hingga boarding. Lalu pada 22 Juni 2020 Djoko Tjandra mengurus paspor di Kantor Imigrasi Jakarta Utara. Ia langsung kembali ke Malaysia melalui Pontianak.
Dari paparan dalam dakwaan itu, jaksa menyebut dokumen-dokumen yang digunakan Djoko Tjandra tidak benar isinya. Surat Jalan di Bareskrim seharusnya ditandatangani
Kabareskrim. Sementara yang digunakan Djoko Tjandra diteken Brigjen Prasetijo.
Selain itu, dalam Surat Jalan itu tertulis Joko Soegiarto Tjandra dan Anita Dewi A.
Kolopaking sebagai konsultan.
Demikian pula Surat Keterangan Pemeriksaan Covid-19 dan Surat Rekomendasi Kesehatan. Baik Djoko Tjandra dan Anita tak pernah diperiksa kesehatannya.
"Bahwa penggunaan Surat Jalan, Surat Keterangan Pemeriksaan Covid-
19 dan Surat Rekomendasi Kesehatan yang tidak benar tersebut merugikan Polri secara imateril, karena hal itu mencederai dan/atau mencoreng nama baik Kepolisian Negara Republik Indonesia secara umum dan Biro Korwas PPNS Bareskrim Polri dan Pusdokkes Polri pada khususnya," kata jaksa, di Pengadilan Negeri Jakarta Timur,
Selasa (13/10).
"Hal ini akan menimbulkan kesan negatif pada Polri yang seharusnya
justru membantu Kejaksaan Agung menangkap Joko Soegiarto Tjandra," sambung
jaksa.