TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Asal usul ajuan pengadaan mobil dinas bagi dewan pengawas, pimpinan, dan pejabat Komisi Pemberantasa Korupsi (KPK) berasal dari lembaga antirasuah itu sendiri.
Plt Juru Bicara Penindakan KPK Ali Fikri menjelaskan, pengadaan mobil dinas masuk dalam anggaran KPK tahun 2021.
"Diusulkan tahun 2020. Jadi anggaran yang disusun dan diusulkan oleh kesekjenan untuk anggaran tahun 2021," kata Ali saat dikonfirmasi, Jumat (16/10/2020).
Tidak hanya itu, KPK pun mengajukan pengadaan bus operasional untuk antar jemput pegawai.
"Untuk anggaran 2021 ada juga usulan untuk bus operasional jemputan pegawai," kata Plt Juru Bicara Penindakan KPK Ali Fikri saat dikonfirmasi, Jumat (16/10/2020).
Berbeda dengan usulan mobil dinas yang sudah disetujui Komisi III DPR, untuk bus operasional pegawai masih dalam tahap pembahasan di Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).
Baca juga: Selain Mobil Dinas Bagi Pimpinan dan Pejabat, KPK Juga Usulkan Bus Untuk Antar Jemput Pegawai
"Namun saat ini masih pembahasan dan telaahan di Ditjen Anggaran Menkeu dan Bappenas," ujar Ali.
Anggota Komisi III DPR Achmad Dimyati Natakusumah menyebut pengadaan mobil dinas pejabat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tahun anggaran 2021, merupakan usulan dari institusi lembaga antirasuah itu sendiri.
"Menurut saya itu usulan KPK, masa tiba-tiba kita acc. Pagu indikatif, pagu anggaran, pagu alokasi itu kan usulan masing-masing, tidak mungkin usulan DPR," ujar Dimyati, Jumat (16/10/2020).
Menurutnya, pengadaan mobil dinas untuk pimpinan maupun dewan pengawas KPK sudah sepatutnya diberikan, dibanding kendaraannya hasil sewa atau dipinjami dari kelompok tertentu.
Baca juga: Pimpinan Jilid V Dapat Mobil Dinas, Eks KPK: Kurang Pantas Minta Fasilitas Disaat Kondisi Covid-19
"Pejabat negara, pejabat institusi perlu dilengkapi sarana prasarana, termasuk mobil dinasnya. Kalau mereka sewa kiri-kanan, nanti mobilnya ada masalah, nanti ujung-ujungnya dimasalahkan publik," ujar politikus PKS itu.
Sementara jika pihak pejabat KPK menolak pengadaan mobil dinas tersebut, kata Dimyati, maka anggarannya menjadi Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran Tahun Berkenaan (Silpa).
"Kalau menolak menjadi Silpa, berarti jadi perubahan. Tidak usah digunakan kalau memang tidak mau, tapi kalau menurut saya belikan itu, yang penting sesuai prosedur," ucapnya.
Dewas KPK menolak
Dewan Pengawas KPK enggan menggunakan mobil dinas.
Ketua Dewas KPK Tumpak Hatorangan Panggabean mengatakan, pihaknya tidak pernah mengusulkan pengadaan mobil dinas.
Mantan ketua KPK jilid I itu pun tidak mengetahui asal-muasal pengusulan mobil dinas tersebut.
"Kalaupun benar (ada pengadaan mobil dinas), kami Dewas punya sikap menolak pemberian mobil dinas tersebut," tegas Tumpak saat dikonfirmasi, Kamis (15/10/2020).
"Kenapa? Karena berdasarkan Perpres tentang penghasilan Dewas sudah ada diberikan tunjangan transportasi, sudah cukuplah itu. Begitu sikap kami," sambungnya.
Baca juga: Dewan Pengawas KPK Tegas Tolak Mobil Dinas, Begini Reaksi DPR
Tumpak bercerita, ketika ia menjadi pimpinan KPK, dirinya sudah pernah menolak terkait pengadaan mobil dinas.
Kemudian para pimpinan KPK setelahnya, imbuh dia, juga sama, yaitu menolak pengadaan mobil dinas.
"Saya lihat pimpinan-pimpinan setelahnya juga sama. Jadi kalau lah itu (pengadaan mobil dinas) benar, baru kali inilah pimpinan diberi mobil dinas," kata Tumpak.
Tak hanya Tumpak, hal senada juga diungkapkan dua anggota Dewan Pengawas KPK yaitu Albertina Ho dan Syamsuddin Haris.
Albertina yang pernah menjabat Ketua Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan itu tidak tahu-menahu soal penganggaran mobil dinas.
"Seperti yang sudah disampaikan oleh ketua dewas, dewas tidak pernah mengikuti pembahasan di internal KPK mengenai hal ini," kata Albertina kepada wartawan, Jumat (16/10/2020).
Baca juga: Korupsi Proyek Jembatan Bangkinang, KPK Perpanjang Masa Penahanan Pejabat PT Wijaya Karya
Demikian pula Syamsuddin Haris. Pria yang pernah menjabat sebagai Kepala Pusat Penelitian Politik (P2P) LIPI menegaskan tidak mengetahui asal-usul pengajuan mobil dinas yang tengah menjadi sorotan publik.
"Ya Dewas sama sekali tidak tahu adanya usulan pembelian mobil dinas untuk pimpinan dan dewas tahun anggaran 2021. Siapa yang mengusulkan kita enggak tahu," katanya.
Namun demikian, Haris menegaskan, Dewan Pengawas KPK akan tegas menolak pengadaan mobil dinas tersebut.
"Intinya, dewas akan menolak mobil dinas tersebut," katanya.
Tak pantas
Eks Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode M Syarif ikut menyoroti pengadaan mobil dinas bagi komisioner lembaga antirasuah jilid V.
Menurut Syarif, meski KPK telah beralih statusnya menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) tetapi harus tetap menjunjung nilai-nilai luhur komisi antikorupsi yang independen dan menerapkan kesederhanaan.
Terlebih, ditegaskannya, saat ini perekonomian Indonesia tengah terguncang akibat pandemi Covid-19.
"Pimpinan KPK dan seluruh jajarannya harus berempati pada kondisi bangsa yang orang miskinnya masih mencapai 20 jutaan dan penambahan kemiskinan baru akibat Covid-19 yang menurut BPS sebanyak 26,42 juta sehingga kurang pantas untuk meminta fasilitas negara disaat masyarakat masih prihatin seperti sekarang," kata Syarif kepada wartawan, Jumat (16/10/2020).
Baca juga: Saut Situmorang: Mobil Dinas Tidak Ada Kaitan Langsung dengan Kinerja Pimpinan KPK
Syarif menyatakan, pada saat pimpinan KPK jilid IV menjabat, tidak pernah ada pembahasan mengenai pengadaan mobil dinas.
"Kami tidak pernah membahas tentang pengadaan mobil dinas buat pimpinan dan pejabat struktural," katanya.
Mantan pimpinan KPK lainnya Saut Situmorang menilai pengadaan fasilitas mobil dinas bagi pimpinan KPK tidak memiliki urgensi.
Lagipula, menurutnya, fasilitas mobil dinas tidak berpengaruh secara langsung dengan kinerja KPK dalam memberantas korupsi.
"Enggak ada kaitan langsung dengan kinerja pimpinan misalnya OTT dan kinerja lain. Saya naik Innova 4 tahun aman-aman saja tuh," ujar Saut kepada wartawan, Kamis (15/10/2020).
Ia menilai, masalah kepemilikan mobil dinas cukup teratasi dengan uang transport yang menjadi fasilitas pimpinan dan staf KPK di luar gaji.
Mekanisme seperti itu pun, kata dia, telah berjalan selama empat periode kepemimpinan KPK.
"Cukup saja uang transportasi, lalu gunakan itu untuk kredit mobil dan pemeliharaan mobil masing-masing pimpinan dan staf, dan itu sudah berjalan 4 periode tetap perform pimpinan KPK dan pegawainya," ungkapnya.
Begitu juga dengan mantan pimpinan KPK lainnya, Bambang Widjojanto.
BW, sapaan Bambang Widjojanto, menyebut pimpinan KPK di bawah komando ketua Firli Bahuri sedang meninggikan keburukannya dalam hal keteladanan.
Baca juga: Dewan Pengawas KPK Tegas Tolak Mobil Dinas, Begini Reaksi DPR
Soalnya, kata BW, sedari awal KPK diprofilkan dan dibangun dengan citra sebagai lembaga yang efisien, efektif, dan menjunjung tinggi integritas serta kesederhanaan.
"Tindakan ini sekaligus sesat paradigmatis. Mobil dengan cc tinggi tidak efisien dan efektif karena tidak berpengaruh langsung pada upaya percepatan dan peningkatan kualitas pemberantasan korupsi," kata BW kepada wartawan, Jumat (16/10/2020).
Dari sisi manajemen, BW menjelaskan, KPK dibangun dengan sistem single salary, karena seluruh fasilitas sudah dijadikan bagian atau disatukan menjadi komponen gaji.
Sehingga berdasarkan hal tersebut, ia menegaskan, seharusnya tidak boleh ada lagi pemberian fasilitas kendaraan karena akan mubazir.
"Dengan menerima pemberian mobil dinas maka pimpinan KPK telah melakukan perbuatan tercela yang melanggar etik dan perilaku, karena menerima double pembiayaan dalam struktur gajinya," jelas BW.
Pudarkan Kesederhanaan KPK
Indonesia Corruption Watch (ICW) menyatakan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada dasarnya dilahirkan dengan semangat pemberantasan korupsi serta menjunjung tinggi nilai-nilai integritas, salah satunya kesederhanaan.
Akan tetapi setelah para pimpinan KPK jilid V, Dewan Pengawas, serta seluruh pejabat struktural lembaga antirasuah mendapat jatah mobil dinas, nilai kesederhanaan itu sirna.
"Namun, seiring berjalannya waktu, nilai itu semakin pudar. Terutama di era kepemimpinan Firli Bahuri," kata Peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam keterangannya, Kamis (15/10/2020).
Kurnia menjabarkan, ICW mencatat setidaknya terdapat dua momen yang menunjukkan keserakahan dari pimpinan KPK jilid V.
Pertama, disaat mereka tetap melanjutkan pembahasan kenaikan gaji pimpinan KPK.
"Kedua, ketika mengusulkan anggaran untuk membeli mobil dinas seharga Rp1 miliar," katanya.
Akan tetapi praktik hedonisme seperti jatah mobil dinas tersebut, menurut Kurnia, tidak lagi mengagetkan.
Soalnya, Ketua KPK Firli Bahuri pada beberapa waktu lalu telah divonis bersalah oleh Dewan Pengawas atas penggunaan helikopter mewah.
Baca juga: Komisi III DPR Akui Setujui Anggaran Mobil Dinas Baru Pimpinan KPK
"Sebab, Ketua KPK-nya saja, Firli Bahuri, telah menunjukkan hal serupa saat menggunakan moda transportasi mewah helikopter beberapa waktu lalu," cetus Kurnia.
Sebagai pimpinan lembaga antikorupsi, menurut Kurnia, semestinya mereka memahami dan peka bahwa Indonesia sedang dilanda wabah Covid-19 yang telah memporak porandakan ekonomi masyarakat.
Sehingga, dikatakannya, tidak etis jika pimpinan jilid V, Dewan Pengawas, dan seluruh pejabat struktural KPK malah meminta anggaran untuk pembelian mobil dinas seharga miliaran tersebut.
"Di luar dari itu, sampai saat ini tidak ada prestasi mencolok yang diperlihatkan oleh KPK, baik pimpinan maupun Dewan Pengawas itu sendiri. Harusnya, penambahan fasilitas dapat diikuti dengan performa kerja yang maksimal," ujar Kurnia. (Tribunnews.com/ Ilham/ seno)