TRIBUNNEWS.COM - Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan turut buka suara terkait polemik pengesahan Undang-Undang (UU) Cipta Kerja.
Undang-Undang yang juga dikenal Omnibus Law ini sempat menjadi polemik lantaran berbagai alasan.
Satu di antaranya, dianggap terburu-buru karena pengesahan dilakukan di masa pandemi Covid-19.
Kendati demikian, Luhut memastikan UU Cipta Kerja tidak dikerjakan buru-buru.
Sebab, inisiasinya bahkan telah dilakukan sejak ia menjabat sebagai Menko Polhukam pada 2015.
Baca juga: Kapolres Metro Bekasi Jelaskan Kondisi Anggotanya yang Positif Corona, Usai Jaga Demo UU Cipta Kerja
Baca juga: Kapolsek Muara Gembong dan 7 Anggota Polres Bekasi Positif Covid-19 Usai Amankan Demo UU Cipta Kerja
"Jangan dibilang buru-buru. Saya ingin mundur sedikit ya. Sejak saya Menko Polhukam, Presiden sudah perintahkan itu."
"Dia melihat, kenapa itu semrawut. Akhirnya kita cari bentuknya."
"Dan ketemulah apa yang disebut Omnibus ini," kata Luhut dilansir dari Kompas.com, Sabtu (17/10/2020).
Luhut menuturkan, kala itu pemerintah mengumpulkan pakar-pakar hukum dalam inisiasi Omnibus Law Cipta Kerja.
Namun, pembahasan baru benar-benar dikerjakan lebih lanjut setelah Pilpres 2019.
"Jadi tidak ada yang tersembunyi. Semua terbuka, semua diajak omong."
"Tapi kan tidak semua juga bisa diajak omong. Ada keterbatasan," kata Luhut.
Baca juga: Pengamat Transportasi: UU Cipta Kerja Tekan Pungli dan Beban APBN Bidang Transportasi
Baca juga: Klaim UU Cipta Kerja jadi Solusi Hadapi Kompetisi Global, Moeldoko: Presiden Malu Lihat Kondisi Ini
Luhut mengatakan dalam pembahasannya, tidak semua pihak sepakat mengenai Omnibus Law ini.
Ia pun mengakui itulah ciri demokrasi yang tidak pernah bulat.
Sehingga ia memahami, Omnibus Law Cipta kerja memang tidak sempurna.
Namun, ia memastikan kekurangan-kekurangan yang ada akan diatur dalam aturan turunan.
Berupa Peraturan Presiden (Perpres), Peraturan Pemerintah (PP) hingga Peraturan Menteri (Permen).
"Kalau itu diperlukan untuk mengakomodasi kekurangan sana sini," kata Luhut.
Moeldoko yakin UU Cipta Kerja jadi solusi kerumitan birokrasi
Diberitakan, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko juga angkat suara mengenai polemik pengesahan UU Cipta Kerja.
Moeldoko meyakini UU Cipta Kerja merupakan solusi terhadap rumitnya birokrasi dan regulasi yang selama ini menghambat investasi di Indonesia.
Terlebih, ia mengatakan peringkat kompetitif (competitiveness index) Indonesia ada di bawah Malaysia dan Thailand.
Sehingga, menurut Moeldoko, kondisi tersebut memungkinkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) malu dan ingin membuat Indonesia bersaing dalam kompetisi global.
Baca juga: Pasca-Amankan Demo UU Cipta Kerja, Seorang Kapolsek dan 7 Anggota Polres Bekasi Positif Covid-19
Baca juga: FPI: UU Cipta Kerja Menarik Seluruh Kewenangan ke Lembaga Eksekutif
"Ini membuat tidak adanya kepastian bagi siapapun, termasuk investor."
"Peringkat kompetitif (competitiveness index) Indonesia ada di bawah Malaysia dan Thailand."
"Saya tangkap mungkin Presiden malu melihat kondisi ini. Presiden ingin Indonesia bisa maju dalam kompetisi global," kata Moeldoko dalam keterangan persnya, dikutip dari Kompas.com.
Moeldoko pun mengakui UU Cipta Kerja telah menimbulkan perdebatan di tengah masyarakat.
Namun, menurutnya, perdebatan itu disebabkan karena publik tidak mengerti tujuan pemerintah sesungguhnya dalam menggagas UU tersebut.
Baca juga: Menteri Siti Nurbaya: UU Cipta Kerja Penting untuk Sederhanakan Prosedur Perizinan
Baca juga: Pemerintah Siapkan 35 PP dan 5 Perpres Sebagai Tindak Lanjut UU Cipta Kerja
Ia pun menyebut Presiden Jokowi tidak takut mengambil risiko agar Indonesia mampu menghadapi kompetisi global.
"Presiden Jokowi memilih untuk tidak takut mengambil risiko."
"Mengambil jalan terjal dan menanjak," katanya pada Sabtu (17/10/2020).
Melalui UU Cipta Kerja, Moeldoko mengaku pemerintah berupaya menciptakan lapangan kerja baru seluas-luasnya.
Untuk itu, ia menyakini UU Cipta Kerja adalah sebuah undang-undang yang berorientasi pada kebutuhan masa depan.
Terlebih, Indonesia akan mendapatkan bonus demografi dalam beberapa tahun ke depan.
(Tribunnews.com/Maliana, Kompas.com/Tsarina Maharani)