TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD mengingatkan seluruh aparat yang mengamankan aksi unjuk rasa di berbagai tempat pada Selasa (20/10/2020) besok tidak membawa peluru tajam.
Mahfud mengatakan hal itu karena saat ini Kepolisian Republik Indonesia telah menengarai adanya penyusup yang akan mencari korban untuk dijadikan martir dalam aksi tersebut, sehingga apabila jatuh korban maka pemerintah bisa dikambinghitamkan pihak-pihak tertentu.
Hal itu disampaikan Mahfud dalam vidro yang diterima dari Tim Humas Kemenko Polhukam pada Senin (19/10/2020).
"Kepada aparat kepolisian dan semua perangkat keamanan dan ketertiban diharapkan untuk memperlakukan semua pengunjuk rasa dengan humanis, jangan membawa peluru tajam," kata Mahfud.
Selain itu Mahfud juga mengingatkan kepada seluruh aparat yang bertugas mengamankan jalannya demonstrasi besok untuk memperlakukan demonstran secara humanis dan penuh persaudaraan.
Menurut Mahfud hal tersebut harus dilakukan mengingat para pengunjuk rasa merupakan Warga Negara Indonesia juga.
"Tetapi kepada yang akan mengacau dan diketahui akan mengacau dan ada bukti supaya ditindak tegas," ujar Mahfud.
Diketahui sejumlah kelompok akan berunjuk rasa bertepatan dengan momentum 1 tahun masa kepemimpinan Presiden Jokowi Widodo dan Wakil Presiden Maruf Amin pada Selasa (20/10/2020) besok.
Diberitakan sebelumnya Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM-SI) bakal menggelar aksi unjuk rasa penolakan terhadap Undang-Undang Cipta Kerja.
BEM SI bakal kembali menyuarakan mosi tidak percaya terhadap pemerintah pada momentum satu tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Ma'ruf Amin.
"Aliansi BEM Seluruh Indonesia menyatakan akan kembali turun aksi untuk mendesak Presiden RI segera mencabut UU Cipta Kerja, serta kami tetap menyampaikan #MosiTidakPercaya kepada pemerintah dan wakil rakyat yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat," ujar Koordinator Pusat Aliansi BEM SI Remy Hastian melalui keterangan tertulis pada Senin (19/10/2020).
"Aksi akan dilaksanakan pada Selasa, 20 Oktober 2020 pukul 13.00 WIB dengan estimasi massa aksi sebanyak 5000 mahasiswa dari seluruh Indonesia," tambah Remy.
Remy mengatakan aksi ini dilakukan untuk menegaskan penolakan terhadap pengesahan UU Cipta Kerja.
Menurut Remy, UU ini dapat merampas hak hidup seluruh rakyat Indonesia dan justru lebih banyak menguntungkan penguasa dan oligarki.
"Meskipun terjadi penolakan dari berbagai elemen masyarakat di seluruh Indonesia, kami sangat menyayangkan keputusan pemerintah yang justru menantang masyarakat untuk melakukan judicial review terhadap UU Cipta Kerja," ucap Remy.
Baca juga: Hayono Isman: Lebih Baik Pemerintah Cepat Mengundangkan UU Cipta Kerja
Padahal menurutnya, pemerintah bisa untuk mencabut undang-undang tersebut dengan menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perpu).
Dirinya juga menyoroti permintaan dukungan dari Presiden Joko Widodo kepada Mahkamah Konstitusi untuk mendukung UU Cipta Kerja serta revisi terhadap UU MK.
"Hal tersebut memberikan kesan bahwa melakukan judicial review terhadap UU Cipta Kerja bukan merupakan cara yang efektif," ungkap Remy.
Aksi ini juga menurut Remy untuk mengecam berbagai tindakan represif dari aparat kepolisian pada massa aksi yang menolak UU Cipta Kerja.
"Serta berbagai upaya penyadapan terhadap para aktivis dan akademisi yang menolak UU Cipta Kerja," pungkas Remy.