Seperti kasus sengketa lahan Masyarakat Adat Pubabu, Desa Linamnutu, Kecamatan Amanuban Selatan, Kabupaten Timor Tengah Selatan, NTT, yang sampai sekarang masih berlangsung.
"Kriminalisasi juga terjadi pada ketua masyarakat adat Kinipan di Kalimantan Tengah, Effendi Buhing karena perlawanannya terhadap perampasan tanah adat Kinipan," kata dia.
Baca juga: Jokowi Gelar Pertemuan Empat Mata dengan PM Jepang Yoshihide Suga di Ruang Kerja Istana Bogor
Tak hanya itu, ia melanjutkan, kriminalisasi juga terjadi pada tiga petani Soppeng, Sulawesi Selatan yang ditahan karena menebang pohon di kebunnya yang diklaim oleh pemerintah sebagai kawasan hutan.
"Sementara itu ancaman terhadap aktivis lingkungan terjadi pada aktivis WALHI Zenzi Suhadi yang digeledah rumahnya dengan tuduhan menyimpan narkoba dan tiga aktivis WALHI Kaltim yang dituduh positif Covid-19," kata Asfinawati.
6. Membungkam kebebasan berpendapat
Dalam laporan tanda-tanda otoritarianisme pemerintah tahun 2019, YLBHI mencatat ada 28 indikator yang menguatkan hal itu dengan tiga pola yang mengindikasikan bangkitnya otoritarianisme di Indonesia.
Pola pertama, adanya upaya penghambatan kebebasan sipil berpikir, berkumpul, berpendapat, berekspresi dan berkeyakinan.
Kedua, mengabaikan hukum yang berlaku baik konstitusi, TAP MPR maupun peraturan perundang-undangan.
Ketiga, memiliki watak yang represif, yang mengedepankan pendekatan keamanan dan melihat kritik sebagai ancaman.
Asfinawati menegaskan, tanda-tanda otoritarianisme itu dapat dilihat dari Surat Telegram Kapolri Nomor: STR/645/X/PAM.3.2./2020 bertanggal 2 Oktober 2020, yang mengatakan bahwa Polri juga harus mengalihkan isu unjuk rasa anti-Omnibus Law untuk mencegah penularan masif Covid-19.
Kata Asfinawati, hal ini bertentangan hak menyampaikan pendapat dan Perkapolri Nomor 9 tahun 2008 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Pelayanan Pengamanan dan Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat di Muka Umum.
Dalam Surat Telegram tersebut, Kapolri memerintahkan pula adanya polisi siber untuk menyisir pernyataan-pernyataan yang mencoba membangun narasi menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja.
"Terlihat polisi sudah menjadi alat kekuasaan/pemerintah padahal Konstitusi menyatakan polisi adalah alat negara," cetus Asfinawati.
Asfinawati mengatakan, pihak-pihak yang bertentangan dengan narasi yang dibangun oleh pemerintah justru dikriminalisasi menggunakan UU ITE, pemblokiran akun media sosial, peretasan akun mereka yang kritis kepada pemerintah, hingga pemadaman internet. Kekerasan terhadap massa aksi juga terus terjadi.