Berdasarkan data kepolisian per 13 Oktober 2020 tercatat 5.198 peserta aksi yang ditangkap polisi. Selain penangkapan terhadap massa aksi, polisi juga melakukan kekerasan terhadap wartawan yang meliput demonstrasi di berbagai kota.
"Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mencatat ada 28 wartawan di 38 kota yang mengalami kekerasan saat meliput aksi tolak Omnibus Law," sebut Asfinawati.
Pada periode sebelumnya LBH-YLBHI mencatat 6.128 orang mengalami pelanggaran HAM saat menyampaikan pendapat di muka umum, ditambah penangkapan 21 orang buruh yang berdemonstrasi pada 16 Agustus 2019. Selama Januari-September 2020, YLBHI-LBH juga mencatat 24 kasus penyiksaan di 9 provinsi di Indonesia.
Asfinawati menyatakan, tanda-tanda pemerintahan yang otoriter beriringan dengan kebijakan pemerintah yang mengembalikan dwi fungsi aparat pertahanan-keamanan. Ini akan bertentangan dengan TAP MPR VI/2000 yang sudah mencabut dwi fungsi ABRI.
"Pemerintah Jokowi justru melibatkan TNI dan Polri dalam struktur pemerintahan. TNI dan Polri menempati berbagai posisi di Kementerian/ Lembaga Negara mulai dari Kementerian, Lembaga Negara, Badan Usaha Milik Negara hingga Duta Besar. Dwi fungsi Polri semakin terlihat ketika terlibat dalam membuat kontra narasi penolakan Omnibus Law Cipta Kerja pada 8 Oktober lalu," katanya.
7. Mengabaikan penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu
Menurut catatan LBH-YLBHI tentang 100 hari pemerintahan Jokowi-Ma’ruf, Jokowi-Ma’ruf tidak menjadikan HAM hal penting yang harus mewarnai seluruh kebijakannya.
"Hal ini terlihat dari tidak adanya kemauan politik pemerintah untuk menyelesaikan pelanggaran HAM yang berat masa lalu," sebut Asfinawati.
Dalam catatan Komnas HAM, masih ada 12 kasus pelanggaran HAM yang berat yang sampai sekarang belum memiliki kepastian hukum.
Dalam catatan yang sama, Komnas HAM menyebutkan hanya tiga kasus yang ditindak lanjuti oleh Jaksa Agung sampai tingkat pengadilan HAM. Tiga kasus tersebut adalah peristiwa Timor-Timor, Tanjung Priok, dan Abepura.
"Alih-alih menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat tersebut, Pemerintah kini masih tetap mengirim militer ke Papua," tegasnya.
Dugaan pelanggaran HAM di Papua, menurut dia, justru ditutupi oleh Indonesia dengan tidak adanya keterbukaan informasi kepada publik.
Kasus terbaru adalah ditembaknya Pendeta Yeremia Zanambani, Ketua Klasis Gereja Kemah Injil Indonesia (GKII) Hitadipa di Intan Jaya, 19 September 2020.
Pihak TNI menuding OPM sebagai pelaku penembakan, sementara pihak OPM menganggap bahwa penembakan dilakukan oleh TNI.
"Tidak terbukanya akses untuk mencari fakta tentang apa yang sebenarnya terjadi di Papua, membuat informasi yang tersebar di publik menjadi simpang siur," kata Asfinawati.