Laporan Wartawan Tribunnews, Fitri Wulandari
TRIBUNNEWS.COM, TANGERANG SELATAN - Pemerintah saat ini terus mendorong agar industri dalam negeri mampu mandiri dan mengurangi ketergantungan terhadap produk impor.
Kementerian dan Lembaga (K/L) pun memperoleh penugasan untuk mensukseskan hal tersebut.
Satu diantaranya adalah Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) yang berada di bawah koordinasi Kementerian Riset dan Teknologi/Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Lembaga yang berfokus pada penelitian, pengembangan dan pendayagunaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek) Nuklir itu ditunjuk sebagai koordinator untuk 3 Prioritas Riset Nasional (PRN) periode 2020 hingga 2024.
Satu diantaranya yakni untuk mengembangkan produksi radioisotop dan radiofarmaka pada bidang kesehatan.
BATAN melalui Pusat Teknologi Radioisotop dan Radiofarmaka (PTRR) mengembangkan produksi radioisotop dan radiofarmaka untuk penanganan terhadap penyakit kanker, baik untuk diagnosis maupun terapi yang memang banyak dibutuhkan di dalam negeri.
Kepala PTRR Rohadi Awaludin pun menjelaskan bahwa teknologi radioisotop ini kini sangat dibutuhkan dunia kedokteran.
Baca juga: Bareskrim Belum Temukan Pelaku Pembuang Cesium 137 di Lahan Kosong Perum Batan Indah
Perlu diketahui, radioisotop merupakan suatu unsur radioaktif, sedangkan radiofarmaka adalah obat atau farmaka yang diberi tanda unsur radioaktif.
"Radiosotop itu isotop yang senantiasa memancarkan radiasi, kemudian radiofarmaka adalah farmaka atau obat yang mengandung radioisotop," ujar Rohadi, dalam konferensi pers di Puspiptek Serpong, Tangerang Selatan, Selasa (20/10/2020).
Namun seperti apa kelebihan radioisotop untuk penderita kanker ?
Rohadi menyampaikan bahwa kelebihan radioisotop yakni memiliki daya tembus yang tinggi, sehingga meskipun sudah berada di dalam tubuh, namun unsur radioaktif ini tetap bisa dideteksi dari luar tubuh.
Beberapa jenis radiasi, kata Rohadi, memiliki efek ionisasi yang tinggi, efek ionisasinya itu meliputi daya tembus dan radiasi peng-ion.
"Nah karena menghasilkan ion ini, energi tinggi, ia (radioisotop) dapat merusak molekul, struktur atau ikatan. Sehingga digunakan untuk mematikan sel kanker, biasanya seperti itu," jelas Rohadi.
Hal itu karena dalam proses pengobatan melalui penggunaan radiofarmaka atau obat yang mengandung radioisotop ini, dapat membuat sel tersebut akhirnya mati.
"Karena dna-nya rusak, beberapa bagiannya rusak, maka sel tersebut kemudian dapat mengalami kematian," kata Rohadi.
Baca juga: Selain Dijerat Pidana, Pegawai Batan yang Simpan Zat Radioaktif Ilegal Juga Kena Sanksi Disiplin
Terkait sifat radiosotop yang memiliki daya tembus tinggi, biasanya digunakan pula oleh kedokteran nuklir untuk menentukan diagnosis pasien.
"Sementara (radioisotop) yang daya tembus tinggi untuk diagnosis, ini dipilih tentunya yang efek ionisasinya kecil, sehingga efeknya memang paling kecil bagi tubuh namun tetap masih bisa dideteksi dari luar tubuh," papar Rohadi.
Di dunia kedokteran nuklir, radioisotop diagnosis dipilih untuk menentukan diagnosa pasien.
Sedangkan radioisotop terapi dipilih untuk pengobatan terhadap pasien kanker.
"Kalau digunakan untuk diagnosis maka dipilih radioisotop diagnosis. Nah lalau untuk terapi maka dipilih radioisotop terapi. Meskipun ada beberapa (radioisotop) yang bisa diagnosis dan untuk terapi," tutur Rohadi.
Pada banyak negara, pemanfaatan farmaka yang mengandung radioisotop ini digunakan untuk pengobatan terhadap penyakit kanker, jantung dan ginjal.
Nilai ekonominya pun secara internasional sudah mencapai 3,6 milyar dolar Amerika Serikat (AS).
"(Kira-kira) 50-an triliun (rupiah) nilai ekonomi secara internasional," pungkas Rohadi.
Dalam mengembangkan produksi radioisotop dan radiofarmaka ini, BATAN bekerja sama dengan PT Kimia Farma, LIPI, BPPT, Badan POM, Bapeten serta Universitas Padjadjaran.
Baca juga: Kotanya Jadi Calon Tempat Pembuangan Limbah Nuklir, Rumah Wali Kota di Jepang Dilempari Bom Molotov
Upaya pemerintah dalam mendorong kemandirian untuk memproduksi radioisotop dan radiofarmaka ini sebelumnya dipicu masih tingginya persentase produk yang diimpor, yakni mencapai di atas 90 persen.
Oleh karena itu, PRN ini terus didorong realisasinya untuk mengurangi ketergantungan pasokan dari luar negeri.
Terkait PRN khusus bidang kesehatan, terdapat 5 produk radioisotop dan radiofarmaka yang ditargetkan dikembangkan produksinya selama periode 2020-2024.
Mulai dari Generator Mo-99/Tc-99m yang menggunakan Mo-99 non fisi, lalu radiofarmaka berbasis Prostate Specific Membrane Antigen (PSMA).
Kemudian Kit radiofarmaka Nanokoloid HAS, selanjutnya Kit radiofarmaka EDTMP, serta Contrast agent berbasis gadolinium untuk MRI contrast agent.