News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Kasus Jiwasraya

Dituntut Penjara Seumur Hidup dan Aset Dirampas, Heru Hidayat Pikirkan Nasib Karyawan Perusahaannya

Editor: Hasanudin Aco
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Direktur Utama PT Asuransi Jiwasraya, Hexana Tri Sasongko memberikan kesaksian bagi terdakwa Direktur Utama PT Hanson International Tbk, Benny Tjokrosaputro, Komisaris Utama PT Trada Alam Minera Tbk, Heru Hidayat, dan Direktur PT Maxima Integra, Joko Hartono pada sidang lanjutan kasus korupsi pengelolaan keuangan dan dana investasi PT Asuransi Jiwasraya di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Rabu (1/7/2020). Sidang beragenda mendengarkan keterangan lima orang saksi yang dihadirkan JPU dari Kejaksaan Agung. Tribunnews/Irwan Rismawan

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Heru Hidayat mengaku jumlah karyawan yang bekerja di perusahaan-perusahaan yang dirintisnya hanya tersisa 1.000 orang dari 10000 orang lantaran adanya perkara PT Asuransi Jiwasraya (Persero).

Hal itu ditegaskan Komisaris Utama PT Trada Alam Minera Tbk. itu dalam pledoionya yang dibacakan dalam lanjutan persidangan Perkara Pidana Tindak Pidana Korupsi Nomor : 33/Pid.Sus-TPK/2020/PN.Jkt.Pst. di PN Jakarta Pusat, Kamis (22/10/2020).

“Seluruh karyawan saya yang saat ini hanya tersisa 1.000 orang dari 10.000 orang akibat adanya perkara ini,” jelasnya dalam pleidoi.

Heru pun mengaku terus memikirkan nasib karyawannya setelah dia dituntut hukuman seumur hidup dan penyitaan seluruh asetnya oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU).

Mendengar tuntutan itu, Heru mengaku tidak memikirkan dirinya, melainkan bagaimana nasib keluarga dan seluruh karyawannya.

Baca juga: Kejagung Periksa 11 Saksi Terkait Kasus Jiwasraya

Dia pun mengaku terus memikirkan nasib 9.000 mantan karyawannya beserta keluarganya yang saat ini tidak memiliki pekerjaan.

“Sebagai pengusaha, saya adalah kepala dan pemimpin bagi 10.000 lebih karyawan ketika itu, 10.000 karyawan yang berpegang dan menggantungkan hidupnya dan keluarganya kepada saya,” sebutnya dalam pleidoi.

Heru Hidayat menilai hukuman seumur hidup dan penyitaan aset yang dituntutkan oleh JPU kepadanya dalam perkara itu bagaikan hukuman mati.

“Saya mendengarkan pembacaan tuntutan pada diri saya, seumur hidup dan seluruh aset saya dirampas, tuntutan yang bagaikan hukuman mati bagi saya, sebab saya dituntut untuk menjalani hidup di penjara sampai mati dan seluruh hasil kerja keras saya selama saya hidup dirampas. Mendengar tuntutan tersebut saya bagaikan penjahat hina yang tidak pantas mendapatkan kesempatan kedua. Apakah saya memang terbukti telah melakukan kejahatan yang pantas dituntut seperti ini ? Apakah saya pantas mendapatkan tuntutan seperti ini ? Apakah Saya layak mendapatkan perlakuan seperti ini?” tegasnya.

Pembacaan tuntutan seumur hidup itu, kata Heru, menjadi lanjutan, mimpi buruk yang dialaminya ketika pertama kali dipanggil Kejaksaan Agung untuk diperiksa pada 14 Januari 2020.

Dia mengaku tak akan melupakan hari itu.

Apalagi, ketika diperiksa, dia mengaku seketika dijadikan tersangka dan ditahan hingga saat ini meringkuk dalam bui.

“Hari yang bagaikan mimpi buruk yang tak usai-usai sampai saat ini. Saya merasa terjatuh dan sangat terpuruk, sebab saya tidak tahu kenapa Saya bisa jadi Tersangka,” terangnya.

Dalam pleidoi itu, Heru bahkan mengaku sampai didakwa dan dituntut pun dia tidak mengerti sama sekali isi dakwaan dan tuntutan, serta alasan dia menjadi terdakwa dalam perkara ini.

Heru membantah tuntuntan JPU yang menyebutkan dirinya menikmati aliran dana hingga Rp 10 triliun dari Jiwasraya.

Dalam tuntutan JPU, Heru Hidayat juga diminta untuk mengganti dana tersebut.

Pasalnya, Heru menegaskan hingga saat ini tidak memiliki harta kekayaan mencapai Rp10 triliun.

“Zaman sudah maju dan terbuka ini, dapat ditelesuri apakah saya memiliki harta sampai sebesar Rp 10 triliun. Lalu darimana dapat dikatakan Saya memperoleh dan menikmati uang Rp. 10 triliun lebih?” jelasnya dalam pembacaan pledoi.

Heru Hidayat menegaskan bahwa BPK sendiri mengatakan hitungan tersebut diperoleh dari selisih uang yang dikeluarkan Jiwasraya dengan nilai dari saham dan reksadana per tanggal 31 Desember 2019.

Heru mempertanyakan, bagaimana ia bisa memperoleh uang triliunan tersebut. Bahkan, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyebut, hitungan kerugian negara berasal dari selisih dana yang dikeluarkan Jiwasraya untuk investasi saham dan reksadana per 31 Desember 2019.

"Saya sering mendengar bahwa bicara hukum itu adalah bicara bukti. Dalam persidangan ini juga saya mendapatkan nasihat dan pembelajaran dari Yang Mulia Majelis Hakim bahwa hukum adalah logika, di mana segala sesuatunya harus berdasarkan dan dapat diterima akal sehat," ungkapnya. 

Dari situ, ia merasa dituduh memiliki uang Rp 10 triliun. Maka itu, ia menyatakan, jaksa harus ada bukti yang menunjukkan bahwa aliran dana tersebut mengalir kepada dirinya. 

Di sisi lain, dia menegaskan bahwa dalam persidangan tak tampak adanya bukti atas tuduhan yang dialamatkan kepadanya terkait penerimaan dana lebih dari Rp 10 triliun.

Sepanjang persidangan, jelas dia, tak satupun saksi baik dari Jiwasraya, para Manajer Investasi (MI), maupun broker, yang mengatakan pernah memberi uang sampai Rp10 Triliun kepadanya.

Sumber: Tribunnews.com/Kontan.co.id

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini