TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari menilai, penghapusan pasal 46 dalam UU Cipta Kerja menambah kecacatan pembentukan Undang-Undang itu sendiri.
Sebab, UU Cipta Kerja itu telah disahkan melalui rapat paripurna DPR pada 5 Oktober lalu.
"Hal ini kian menambah jumlah poin kecacatan pembentukan Undang-Undang ini. Secara admitratif ini menunjukkan proses yang berantakan, yang semestinya membuat malu," kata Feri saat dihubungi Tribunnews, Jumat (23/10/2020).
Menurut Feri, tidak bisa begitu saja sebuah pasal dalam Undang-Undang dihapus setelah disahkan melalui keputusan tertinggi DPR.
Menurutnya, pelanggaran telah terjadi dan dipertontonkan kepada khalayak.
"Mana bisa Setneg (Sekretariat Negara) minta ubah-ubah begitu. Semua tahapan dalam pembentukan Undang-Undang iti sudah diatur dalam UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, UU MD3, dan Tatib DPR. Aneh jika pelanggaran seterbuka ini terjadi," ucapnya.
Baca juga: Penghapusan Pasal 46 dalam Draf UU Cipta Kerja Tuai Polemik, Ini Tanggapan Pihak Istana dan DPR
Diketahui, Pasal 46 UU Migas sebelumnya tercantum dalam naskah UU Cipta Kerja setebal 812 halaman yang dikirimkan DPR kepada Presiden Joko Widodo.
Namun, pasal tersebut dihapus dari naskah UU Cipta Kerja setebal 1.187 halaman yang dikirimkan Sekretariat Negara ke sejumlah organisasi masyarakat Islam.