"Yang tidak boleh diubah itu substansi. Dalam hal ini penghapusan sifatnya administratif/typo justru membuat substansi sesuai dengan yang sudah disetujui dalam rapat panja baleg DPR," jelasnya.
Ia menilai, penghapusan Pasal 46 UU Migas justru membuat substansi menjadi sejalan dengan yang disepakati dalam rapat di DPR.
Selain itu, kata dia, Kementerian Sekretariat Negara juga telah menjalankan tugasnya dengan memeriksa kembali seluruh isi UU tersebut sebelum diserahkan kepada presiden.
Apabila ada yang tidak sesuai, kata dia, maka boleh diperbaiki.
Perbaikan itu pun diklaim sudah disampaikan kepada DPR dan disetujui dengan bukti paraf dari DPR.
"Dalam proses cleansing final sebelum naskah dibawa ke presiden, Setneg menangkap apa yang seharusnya tidak ada dalam UU Cipta Kerja dan mengkomunikasikan hal tersebut dengan DPR," katanya.
Hal serupa juga diungkapkan Ketua Badan Legislasi DPR RI Supratman Andi Agtas.
Dia mengatakan bahwa Pasal 46 UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi memang sudah disepakati untuk dihapus oleh DPR dan pemerintah sejak pembahasan di Panitia Kerja RUU Ciptaker.
Dari kesepakatan Panja tersebut, idealnya, pasal itu sudah harus dihapus oleh DPR sebelum naskah diberikan kepada pemerintah.
Namun, kekeliruan itu justru baru ditemukan oleh pihak pemerintah, dalam hal ini Kemensetneg, sehingga pasal tersebut baru dihapus.
"Terkait Pasal 46 yang koreksi, itu benar. Jadi kebetulan Setneg [Sekretariat Negara] yang temukan. Jadi, itu seharusnya memang dihapus, karena itu terkait dengan tugas BPH Migas," kata Supratman kepada wartawan saat dikonfirmasi.
Andi menerangkan, Pasal 46 itu terkait dengan tugas Badan Pengatur Hilir (BPH) Migas.
Awalnya, kata dia, pemerintah mengusulkan pengalihan kewenangan penetapan toll fee dari BPH Migas ke Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Namun, menurutnya, DPR tidak menyetujui usulan tersebut dalam pembahasan di Panja RUU Ciptaker.