TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengusaha Tommy Sumardi didakwa menjadi perantara suap dari terpidana korupsi hak tagih atau cessie Bank Bali Djoko Tjandra kepada dua jenderal polisi.
Dua jenderal polisi itu yakni Kadivhubinter Polri Irjen Napoleon Bonaparte dan eks Kepala Biro Kordinator Pengawas PPNS Bareskrim Polri Brigjen Prasetijo Utomo.
"Terdakwa Tommy Sumardi turut serta melakukan dengan Joko Soegiarto Tjandra yaitu memberi atau menjanjikan sesuatu berupa uang sejumlah SGD200 ribu dan USD270 ribu kepada Irjen Napoleon Bonaparte selaku Pegawai Negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya selaku Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri. Serta memberi uang sejumlah USD150 ribu kepada Brigjen Prasetijo Utomo selaku Pegawai Negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya selaku Kepala Biro Kordinator Pengawas PPNS Bareskrim Polri," kata jaksa saat membacakan surat dakwaan Tommy di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (2/11/2020).
Apabila dihitung dengan kurs saat ini maka Irjen Napoleon mendaoat 200 ribu Singapura sekitar Rp2,1 miliar lebih, sedangkan 270 ribu dolar AS setara dengan Rp3,9 miliar lebih. Maka total uang suap yang disebut jaksa telah diterima Irjen Napoleon mencapai Rp6 miliar.
Sedangkan Brigjen Prasetijo menerima 150 ribu dolar AS yang dikurskan ke rupiah menjadi sekitar Rp2,1 miliar. Jika ditotal seluruhnya Djoko Tjandra telah memberi uang suap ke dua jenderal polisi itu sekitar Rp8 miliar.
Kasus berawal ketika Djoko Tjandra meminta bantuan Tommy Sumardi agar Djoko Tjandra bisa menghapus namanya dari red notice yang ada di Divhubinter Polri. Sebab, Djoko Tjandra yang kala itu berstatus buron perkara pengalihan hak tagih Bank Bali.
Baca juga: Irjen Napoleon Bonaparte Membantah Kenal Tommy Sumardi
Djoko Tjandra ingin ke Indonesia untuk mengurus upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Tommy Sumardi pun meminta bantuan Brigjen Prasetijo.
Kemudian, Brigjen Prasetijo mengenalkan Tommy Sumardi pada Irjen Napoleon Bonaparte yang kala itu menjabat sebagai Kepala Divisi Hubungan Internasional (Kadivhubinter) Polri. Dalam pertemuan itu, Napoleon mengatakan red notice Djoko Tjandra bisa dibuka asal disiapkan uang Rp3 miliar.
"Dalam pertemuan tersebut terdakwa Irjen Napoleon menyampaikan bahwa 'red notice Joko Soegiarto Tjandra bisa dibuka karena Lyon yang buka, bukan saya. Saya bisa buka, asal ada uangnya'. Kemudian Tommy Sumardi menanyakan berapa nominal uangnya dan oleh Irjen Napoleon dijawab '3 lah ji (Rp3 miliar)," kata jaksa.
Namun, permintaan uang Rp3 miliar itu bukan kesepakatan akhir. Irjen Napoleon meminta tambahan uang yakni sebesar Rp7 miliar dengan alasan akan membagi uang itu dengan 'petinggi'-nya dan Djoko Tjandra pun menyanggupi itu.
Singkat cerita Irjen Napoleon menerima 200 ribu dolar Singapura dan 270 ribu dolar AS. Sementara itu Brigjen Prasetijo mengantongi 150 ribu dolar AS. Uang itu didapat secara bertahap dari Djoko Tjandra melalui Tommy Sumardi.
Adapun rinciannya adalah, pada 28 April 2020, Djoko Tjandra memberikan uang ke Tommy Sumardi 200 ribu dolar Singapura untuk diserahkan ke Napoleon. Keesokan harinya Napoleon menerima lagi 100 ribu dolar AS dari Djoko Tjandra.
Setelah menerima 200 ribu dolar Singapura dan 100 ribu dolar AS, Napoleon memerintahkan Kombes Tommy Aria Dwianto untuk membuat surat ke Direktorat Jenderal (Ditjen) Imigrasi. Isi surat itu mengenai pemberitahuan kalau database DPO di Interpol sedang mengalami pembaharuan dan menyatakan ada data DPO yang diajukan Divhubinter Polri ke Ditjen Imigrasi sudah tidak dibutuhkan lagi.
Pada 4 Mei 2020, Djoko Tjandra kembali memberikan uang lagi ke Irjen Napoleon melalui Tommy Sumardi sebesar 150 ribu dolar AS.
Setelah menerima uang itu Irjen Napoleon kembali menugaskan Kombes Tommy untuk membuat surat Divhubinter Polri perihal pembaharuan data Interpol Notice ke Ditjen Imigrasi, adapun isinya adalah menyampaikan penghapusan Interpol Red Notice.
Pada tanggal 5 Mei 2020 sekira pukul 13.13 WIB Tommy Sumardi dan Brigjen Prasetijo Utomo menemui Irjen Napoleon Bonaparte di ruang Kadivhubinter di gedung TNCC Mabes Polri lantai 11. Kemudian Tommy Sumardi menyerahkan uang 20 ribu dolar AS ke Irjen Napoleon.
Setelah menerima uang itu, Napoleon kembali bersurat ke Ditjen Imigrasi yang isi suratnya menginformasikan bahwa Interpol Red Notice atas nama Joko Soegiarto Tjandra telah terhapus dari sistem basis data Interpol. Surat itu ditandatangani oleh Sekretaris NCB Interpol Indonesia oleh Brigjen Nugroho Slamet Wibowo.
Kemudian rincian penyerahan duit ke Brigjen Prasetijo ialah pada 27 April jaksa mengatkan Brigjen Prasetijo menghadang Tommy Sumardi saat hendak ke ruangan Irjen Napoleon dan menyerahkan uang 100 ribu dolar AS dari Djoko Tjandra. Brigjen Prasetijo meminta jatah karena telah mengenalkan Tommy dengan Irjen Napoleon.
Dari situ, Prasetijo kemudian mendapat uang 50 ribu dolar AS diambil dari 100 ribu dolar AS. Sisanya 50 ribu dolar AS diserahkan ke Irjen Napoleon namun ditolak karena jumlahnya terlalu kecil dan Napoleon meminta jumlah lebih besar. Alhasil, uang itu dibawa oleh Prasetijo.
Mei 2020, Brigjen Prasetijo kembali meminta jatah ke Tommy Sumardi karena nama Djoko Tjandra berhasil dihapus dari DPO Interpol. Kemudian Tommy menyerahkan uang 50 ribu dolar AS.
"Brigjen Prasetijo Utomo menghubungi Tommy Sumardi melalui sarana telepon dengan mengatakan, 'Ji, sudah beres tuh, mana nih jatah gw punya' dan dijawab oleh Tommy Sumardi 'sudah, jangan bicara ditelepon, besok saja saya ke sana'," kata jaksa.
"Dan keesokan harinya Tommy Sumardi bertemu dengan Brigjen Prasetijo Utomo di ruangan kantornya, dan Tommy Sumardi memberikan uang sejumlah USD50 ribu," sambungnya.
Di kasus ini, Tommy Sumardi juga mendapat imbalan dari Djoko Tjandra. Setelah namanya berhasil dihapus di DPO, dia diberi imbalan senilai 150 ribu dolar AS secara bertahap melalui Sekretaris Djoko Tjandra, Nurmawan Fransisca.
"Pada tanggal 12 Mei 2020, Joko Soegiarto Tjandra kembali meminta Nurmawan Fransisca untuk menyerahkan uang sebesar USD100 ribu kepada Terdakwa Tommy Sumardi yang selanjutnya diantar dan diserahkan oleh Nurdin kepada Terdakwa Tommy Sumardi di daerah Tanah Abang, Jakarta Pusat," kata jaksa.
Kemudian penyerahan uang terjadi lagi pada 22 Mei 2020. Jumlahnya kali ini 50 ribu dolar AS.
"Pada tanggal 22 Mei 2020, Joko Soegiarto Tjandra menghubungi Nurmawan Fransisca untuk menyerahkan uang sebesar USD50 ribu kepada Terdakwa Tommy Sumardi yang selanjutnya diantar dan diserahkan oleh Nurdin kepada Terdakwa Tommy Sumardi di rumahnya di daerah Menteng. Jakarta Pusat," ujar jaksa.
Sementara itu data penghapusan red notice lantas digunakan oleh Djoko Tjandra untuk masuk wilayah Indonesia dan mengajukan Peninjauan Kembali pada bulan Juni 2020 di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Setelahnya kehebohan mengenai Djoko Tjandra pun terjadi hingga akhirnya Djoko Tjandra ditangkap berkat kerja sama police to police antara Polri dan Polisi Diraja Malaysia (PDRM). Djoko Tjandra ditangkap pada Kamis (30/7/2020) dan Kabareskrim Komjen Listyo Sigit Prabowo turun langsung membawa Djoko Tjandra dari Malaysia.
Atas perbuatannya, Tommy Sumardi didakwa melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo. Pasal 65 ayat (1) dan (2) KUHP.