News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

UU Cipta Kerja

UU Cipta Kerja Ditandatangani Presiden Jokowi, Begini Respon Wantimpres Mardiono

Penulis: Vincentius Jyestha Candraditya
Editor: Johnson Simanjuntak
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ribuan Massa buruh yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dan 32 federasi buruh menggelar demonstrasi di sekitar Patung Arjuna Wijaya, Jakarta, Senin (2/11/2020). Demonstrasi yang dilakukan serentak di 24 provinsi itu untuk mendesak pemerintah membatalkan UU Cipta Kerja serta kenaikan upah minimum tahun 2021. TRIBUNNEWS/HERUDIN

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Muhamad Mardiono mengatakan Omnibus Law UU Cipta Kerja yang sudah ditandatangani Presiden Jokowi merupakan bagian dari program nawacita, revolusi mental dan agenda reformasi birokrasi.

UU tersebut juga sebagai upaya pemerintah untuk pemulihan perekonomian nasional di tengah pandemi Covid-19.

"Oleh karenanya, pemeritah harus dapat mengambil terobosan-terobosan yang cepat dan tepat untuk meningkatkan ketahanan kesehatan masyarakat dari ancaman covid 19 dan bagaimana masyarakat tetap dapat memenuhi kebutuhan ekonominya. Kedua hal penting ini mesti dapat dilakukan secara bersama-sama," ujar Mardiono, dalam keterangannya, Selasa (3/11/2020).

Mardiono mencontohkan tentang sulitnya mengurus perizinan usaha sebelum adanya UU Cipta Kerja.

Angkatan kerja dan lapangan kerja juga tak berbanding lurus, belum lagi pengangguran akan terus bertambah jika pemerintah tidak membuat terobosan dengan menciptakan lapangan kerja baru.

Sebab, kata Mardiono, generasi milenial, yang berusia 18-30 akan mencapai 50 persen lebih pada 2024.

Baca juga: UU Cipta Kerja Diteken Jokowi, Situs Setneg Sulit Diakses

Oleh karenanya, Indonesia membutuhkan banyak wirausaha baru untuk turut mendorong penguatan struktur ekonomi, mengingat saat ini rasio wirausaha di dalam negeri masih sekitar 3 persen dari total populasi penduduk.

Dia pun membandingkan dengan Singapura yang saat ini sudah mencapai 7 persen ataupun Malaysia pada 5 persen. Sehingga program pemerintah harus terus dapat memacu pertumbuhan wirausaha yang produktif dan berdaya saing.

Mardiono, yang telah menjalankan dunia usaha selama 39 tahun, mengaku menghadapi kendala dalam mengurus perizinan usaha yang cukup rumit.

Misalnya, pada saat membangun hotel maka diperlukan 23 perizinan yang mesti diurus dan paling tidak memerlukan waktu 1 sampai 1,6 tahun untuk mengurus izinnya. 

Di lain pihak, untuk mengoptimalkan devisa sektor pariwisata yang dibangun, maka diperlukan sarana, prasarana dan infrastruktur yang baik. Akan tetapi untuk membangun sarana, prasarana dan fasilitas pendukung tersebut, tentunya juga akan menambah panjangnya administrasi perizinan. 

Mardiono menjelaskan investor asing dan dalam negeri seringkali menyampaikan keluhan karena rumitnya mengurus perizinan usaha. 

"Dengan adanya UU Omnibus Law ini melalui penyederhanaan perizinan diharapkan dunia usaha tumbuh cepat sehingga pada akhirnya dapat menciptakan lapangan kerja. Selain itu, pariwisata mendatangkan pemasukan yang signifikan, karena wisatawan datang untuk berlibur menghabiskan uang, jika habis duitnya maka mereka akan pulang," kata dia. 

Lebih lanjut, Mardiono juga menyatakan bahwa pada pasal 6 dan pasal 7 Bab III UU Cipta Kerja memberikan kemudahan perizinan usaha berbasis risiko dan skala usaha dengan mempertimbangkan potensi terjadinya bahaya terhadap kesehatan hingga lingkungan dan adanya penyederhanaan persyaratan investasi. 

Bahkan pemerintah memberikan dukungan pada usaha rakyat dengan memberikan kemudahan akses pembiayaan, akses pasar, akses pengembangan usaha, akses perizinan, dan akses rantai pasok bagi UMKM.

Penguatan dan proteksi bagi pelaku UMKM dalam berusaha ini, kata dia, ditujukan untuk dapat menggiatkan usaha masyarakat yang mandiri dan berdaya saing.

Selain itu, UU Cipta Kerja juga tidak menghilangkan hak-hak pekerja termasuk pesangon ketika mengalami PHK, meskipun selama ini banyak perusahaan yang tidak menjalankan UU Ketenagakerjaan dengan membayar pesangon 35 kali gaji. 

Pada umumnya ada dua pertimbangan perusahaan melakukan PHK, pertama perusahaan itu bangkrut dan kedua adalah mereka melakukan alih teknologi.

Setiap pengusaha yang melakukan PHK karena sebab pertama maka akan mengajukan pailit atau memberikan pesangon sesuai kemampuan perusahaan sehingga jarang pengusaha dapat memberikan pesangon sampai 35 kali gaji.

UU Cipta Kerja mewajibkan pembayaran pesangon sampai 25 kali gaji kepada karyawannya yang terkena PHK, dimana UU ini juga menegaskan bahwa pemerintah akan memberikan jaminan kehilangan pekerjaan yang manfaatnya berupa uang tunai, pelatihan kerja, akses informasi pasar kerja dan pasar kerja. 

"Jadi (pesangon itu) kalau dihitung-hitung manfaatnya dapat setara dengan 35 kali gaji," tambah Mardiono yang juga politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ini. 

Hanya saja, sejak penerapan otonomi daerah adanya perbedaan Upah Minimum Regional (UMR) Kabupaten maupun kota dalam satu Provinsi seringkali menimbulkan konflik kepentingan di tengah-tengah masyarakat. Dan hal itulah yang kemudian menyulitkan bagi investor. 

Misalnya ada pabrik di perbatasan wilayah, ada kasus yang pabrik itu sebagian masuk ke kota mana sebagian lainnya masuk ke kabupaten mana. Demikian juga karyawan-karyawannya yang berasal dari tempat yang berbeda. Dalam satu wilayah UMR nya bisa berbeda-beda, makanya ini ditarik ke level Provinsi.

Lantas mengapa UU Cipta kerja ini menuai polemik? Mardiono mengatakan karena sebagian masyarakat mendapatkan informasi yang tidak akurat mengingat luasnya cakupan pembahasan dalam UU ini.

Disinformasi inilah yang kemudian ditunggangi kepentingan tertentu untuk melakukan penolakan terhadap UU tersebut. Pemerintah tentunya tidak akan mengambil kebijakan yang memberatkan rakyatnya sendiri, terlebih kita menganut sistem negara demokrasi. 

"Di sebuah negara demokrasi itu tidak ada keputusan sebuah negara seluruh rakyatnya sami'na wa atho'na. Kecuali di negara otoriter yang mengambil keputusan secara sepihak atas keinginan pemerintah. Jadi dapat dimaklumi bahwa di negara demokrasi maka keputusan apapun pasti ada yang pro dan kontra, yang terpenting bahwa kebijakan dan keputusan yang diambil selalu dilakukan untuk kepentingan rakyat dan kemajuan negara," jelasnya. 

"Saya yakinkan Omnibus Law UU Cipta Kerja itu menjadi sebuah keniscayaan dan ini tujuannya sangat baik bagi pemerintah untuk dapat lebih cepat mensejahterakan rakyat. Kalau ini tidak dilakukan maka kita akan semakin tertinggal, karena ada ribuan pasal dan ratusan UU yang tumpang tindih," tegas Mardiono. 

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini