Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar Hukum Pidana Universitas Al Azhar Indonesia Suparji Ahmad menilai proses penegakan hukum terhadap perkara perbankan harus dilakukan hati-hati.
Menurut Suparji bila tidak dilakukan hati-hati akan berdampak sistemik.
Suparji menegaskan hukum memang harus ditegakkan, tetapi tidak boleh mengabaikan asas kemanfaatan.
Hal tersebut disampaikan Suparji dalam Webinar Hukum bertajuk Urgensi Penegakan Hukum Kasus Perbankan VS Menjaga Stabilitas Perekonomian Nasional pada Jumat (6/11/2020).
Baca juga: 5 Fakta Kasus Hilangnya Uang Rp20 Miliar Milik Gamer Winda Earl: Kata OJK hingga Pihak Maybank
"Prinsip dasarnya adalah hukum memang harus ditegakkan tapi tidak boleh mengabaikan kemanfaatan. Dalam dunia perbankan harus dilakukan hati-hati dan cermat. Karena perbankan adalah urusannya dengan trust dan dampaknya sangat sistemik. Oleh karenanya tidak boleh dilakukan dengan 'sembarangan'," kata Suparji.
Prinsip dasar proses penegakan hukum dalam konteks menjaga stabilitas ekonomi, kata Suparji, perlu mempertimbangkan kepentingan yang lebih luas.
Bukan berarti, lanjut dia, mencegah imparsial hukum, independensi hukum, namun tetap memperhatikan kepentingan yang lebih luas.
Baca juga: Diadukan Nasabah ke Polisi karena Rp 20 M Tabungannya Raib, Begini Tanggapan Maybank
Menurutnya pendekatan hukum tidak hanya semata-mata pendekatan normatif saja melainkan ada pendekatan teoritis atau filosofis antara lain keadilan, kemanfaatan, dan juga tentang bagaimna menjaga supaya semuanya berjalan secara berkesinambungan.
Berdasarkan teori analisa ekonomi untuk hukum, kata Suparji, pendekatan tersebut menekankan pada aspek efisiensi.
Artinya, kata Suparji, perlu dicari langkah mana yang lebih efisien dalam menerapkan langkah hukum.
Dalam pendekatan tersebut, kata Suparji, proses pemidanaan tidak harus dilakukan jika memang tidak ada unsur pidananya.
Baca juga: Kepala Cabang Maybank Cipulir Jadi Tersangka dalam Kasus Hilangnya Uang Rp 20 Miliar Milik Winda
"Tapi juga yang harus dijaga itu tentang bagaimana peluang untuk melakukan mediasi penal itu tidak melakukan penyimpangan dalam arti terjadi sebuah kompromi, negosiasi, yang akhirnya dikapitalisasi. Kalau itu yang terjadi juga itu bertentangan dengan penegakan hukum," kata Suparji.
Ia mencontohkan sebuah kasus gratifikasi tahun 2014 yang membelit mantan direktur utama sebuah bank plat merah di Indonesia yang baru ditetapkan status tersangkanya pasca mantan direktur utama tersebut pensiun dari bank tersebut.
Menurutnya kasus tersebut menarik karena jika dilihat dari pertimbangan untuk penetapan tersangka atas mantan direktur utama tersebut.
Logikanya, kata Suparji, proses gratifikasinya terjadi beberapa tahun lalu, namun baru ditetapkan tersangka setelah pensiun.
Menurutnya hal itu juga sesuatu yang menunjukkan bahwa penegakan hukum tidak berada di dalam ruang hampa dan ada muatan atau pesan ekonomi, politik yang kemudian dijadikan suatu pertimbangan secara faktual.
"Mestinya itu juga dilakukan dalam proses penegakan hukum yang lain supaya kemudian tidak menimbulkan persoalan," kata Suparji.
Suparji menilai pada penegakan hukum dalam aspek ekonomi perlu dikedepankan konsep penyelesaian sengketa di luar pengadilan.
Namun, ia mengakui hal tersebut menjadi dilematis karena merupakan tindak pidana perbankan.
"Sehingga ini menyebabkan susah dicari mekanisme di luar pidana atau melalui mediasi atau arbitrase. Tapi dalam perspektif ekonomi, upaya-upaya penyelesaian di luar pengadilan itu harus dikedepankan," kata Suparji.