TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional (Kadivhubinter) Mabes Polri, Irjen Napoleon Bonaparte, disebut mengirimkan surat palsu mengenai red notice Joko Soegiarto Tjandra alias Djoko Tjandra kepada Direktorat Jenderal Imigrasi.
Menurut Tommy Sumardi, pengusaha yang juga merupakan rekan Djoko Tjandra, bukti surat penghapusan red notice yang diberikan mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri Irjen Napoleon Bonaparte itu palsu.
"Kalau enggak salah saya ada surat, surat pemberitahuan kepada Imigrasi dari Pak Napoleon," ujar Tommy saat bersaksi di ruang sidang Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Jumat (13/11/2020).
Menurut Tommy, hal itu ia ketahui saat Djoko Tjandra menghubunginya dan menyatakan bahwa surat dari Napoleon itu palsu.
"Beliau (Djoko Tjandra) bilang suratnya palsu."
Kendati demikian, Tommy tidak memaparkan lebih lanjut mengenai maksud dari surat palsu tersebut.
Baca juga: Tommy Sumardi Akan Bersaksi di Sidang Perkara Surat Jalan Palsu Djoko Tjandra
Ia hanya dikabarkan langsung oleh Djoko Tjandra bahwa surat itu palsu.
Setelah itu, ia melapor ke mantan Kepala Biro Koordinator Pengawas PPNS Bareskrim Polri Brigjen Prasetijo Utomo--orang yang mengenalkannya kepada Napoleon--bahwa surat dari atasannya itu palsu.
Brigjen Prasetijo Utomo sendiri ikut menjadi terdakwa dalam kasus dugaan pemalsuan sejumlah surat ini bersama Djoko Tjandra dan Anita Kolopaking.
Pada persidangan tersebut, Tommy yang sudah mengenal Djoko Tjandra sejak 1998 mengakui diperintah oleh terpidana korupsi pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali tersebut untuk mengecek statusnya dalam red notice ke Mabes Polri.
Setelah mendapat rekomendasi dari temannya, Tommy lantas menghubungi Prasetijo.
Prasetijo lalu membawa Tommy ke ruangan Irjen Napoleon untuk membicarakan hal itu lebih lanjut.
Kepada Tommy, Napoleon menyatakan bahwa red notice Djoko Tjandra sudah terbuka.
Tommy mengaku saat itu Napoleon mengatakan bahwa red notice atas nama Djoko Tjandra sudah dibuka (oleh Interpol Pusat di Lyon, Prancis).
"Terbuka di situ menurut pemahaman saudara apa?" tanya Hakim Ketua Muhammad Sirad.
"Artinya, itu sudah terhapus dari luar negeri. Namanya (Djoko Tjandra) sudah terhapus," jawab Tommy.
Tommy mengaku tidak melaporkan informasi tersebut kepada Djoko Tjandra.
Hanya saja, beberapa waktu kemudian ia menyerahkan uang yang bersumber dari Djoko Tjandra sekitar Rp 7 miliar kepada Napoleon.
Baca juga: Kejagung, Polri Kompak Belum Serahkan Berkas Skandal Djoko Tjandra ke KPK, ICW dan Komjak Bersuara
Mengetahui itu, hakim lantas mencecar Tommy kembali perihal bukti yang menyatakan bahwa nama Djoko Tjandra sudah terhapus dari Red Notice.
"Apa ada sesuatu yang harus dilanjutkan yang menyatakan bukti kalau Red Notice sudah terbuka?" tanya hakim.
"Kalau enggak salah ada surat. Kalau enggak salah surat pemberitahuan kepada Imigrasi dari Napoleon. Terus beliau (Djoko Tjandra) bilang suratnya palsu," sebut Tommy.
Tommy berkelit ketika kembali ditanya hakim perihal bukti yang menguatkan bahwa surat yang dikirim Napoleon ke pihak Ditjen Imigrasi adalah palsu.
"Saya enggak tahu palsu apanya. Pak Djoko bilang, 'Tom, suratnya palsu'. Ya sudah saya lapor Brigjen Prasetijo," tutur Tommy.
Bantah Beri Suap
Di sisi lain Djoko Tjandra membantah telah menyuap dua jenderal polisi, Irjen Napoleon Bonaparte dan Brigjen Prasetijo Utomo, terkait pengurusan red notice dan penghapusan daftar pencarian orang (DPO) atas nama dirinya.
"Saya tidak pernah memerintah saksi (Tommy Sumardi) membayar Napoleon maupun Prasetijo atau siapa pun karena saya tidak kenal. Ini semua inisiatif saudara saksi (Tommy Sumardi)," ucap Djoko dalam sidang lanjutan kasus pemalsuan sejumlah surat di PN Jakarta Timur, Jumat (13/11/2020).
Djoko juga membantah sering berkomunikasi dengan Tommy guna menanyakan perkembangan pengurusan red notice dan DPO.
Ia berujar hanya sesekali berkomunikasi saja ketika Tommy meminta uang.
Baca juga: ICW: Kejagung dan Polri agar Kooperatif Serahkan Dokumen Perkara Djoko Tjandra ke KPK
"Ada tambahan lagi bahwa selama pengurusan red notice dan DPO, saksi (Tommy) tak pernah berhubungan dengan saya, kecuali minta uang," imbuh Djoko.
Dalam persidangan, Djoko juga menampik telah melakukan negosiasi dengan Napoleon agar membantu dirinya kembali ke Indonesia tanpa ditangkap.
Ia mengungkapkan penyerahan uang kepada pejabat kepolisian merupakan inisiatif Tommy.
"Ini semua inisiatif saudara saksi," tegasnya.
Lebih lanjut, Djoko juga menepis pernyataan Tommy tentang surat pengurusan red notice yang disebut palsu.
Ia mengklaim tidak tahu menahu perihal surat tersebut.
"Itu adalah kebohongan, itu merugikan kami," tandasnya.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) sebelumnya mendakwa Djoko telah menyuap dua jenderal polisi guna membantu menghapus namanya dari DPO di Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM.
Upaya tersebut dimaksudkan agar Djoko nantinya bisa masuk ke wilayah Indonesia secara sah dan tidak ditangkap oleh aparat penegak hukum lantaran berstatus buronan.
Ia berencana mendaftar Peninjauan Kembali (PK) atas putusan Mahkamah Agung (MA) yang menghukumnya dengan pidana 2 tahun penjara dan denda Rp 15 juta subsider 3 bulan kurungan atas korupsi hak tagih (cessie) Bank Bali.
Dalam kasus dugaan pemalsuan sejumlah surat ini, Djoko Tjandra menjadi pengacara bersama pengacaranya Anita Kolopaking dan Brigjen Prasetijo Utomo.(tribun network/dng/dod)