TRIBUNNEWS.COM - Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) kembali mendesak agar Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) segera disahkan oleh DPR.
Hingga saat ini, RUU PKS belum disahkan karena pada Juni lalu pembahasan RUU tersebut dikeluarkan dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Tahun 2020.
Menurut Staf Ahli Menteri Bidang Komunikasi Pembangunan Kementerian PPPA, Ratna Susianawati mengatakan, pengesahan RUU PKS tidak dapat ditunda.
Baca juga: Kemen PPPA : Urgensi Pengesahan RUU PKS Sudah Tak Dapat Ditunda Lagi
Baca juga: NasDem Kembali Usulkan RUU PKS Masuk Prolegnas Prioritas 2021
Dikutip dari laman Kompas, menurut Ratna, berbagai kajian dan diskusi menghasilkan fakta bahwa pengesahan RUU PKS tidak bisa lagi ditunda.
“RUU PKS harus segera disahkan bukan hanya asumsi belaka, alasannya, secara dasar penyusunan RUU PKS telah memenuhi syarat."
"Selain itu dibutuhkan sistem pencegahan kekerasan seksual yang komprehensif, dan perlu adanya pengaturan yang berperspektif korban,” ujar Ratna.
Oleh karena itu, dikeluarkannya RUU PKS dari prolegnas pun membuat para aktivis, intelektual, tokoh agama, dan berbagai elemen masyarakat lebih masif menyuarakan pentingnya RUU tersebut.
Menurut Ratna, hal tersebut juga membuat masyarakat semakin paham bahwa kekerasan seksual merupakan kejahatan paling serius yang harus segera dihapuskan.
Baca juga: DPR Didesak Tetapkan RUU PKS Sebagai Prolegnas Prioritas 2021
Baca juga: Komnas Perempuan Desak DPR Tetapkan RUU PKS sebagai Prolegnas Prioritas 2021: Wujudkan Hak Korban
"RUU PKS diharapkan dapat menjadi terobosan hukum yang mengakomodasi kebutuhan dan kepentingan perempuan korban kekerasan."
"Karena RUU PKS didasarkan pada kajian dari pengalaman-pengalaman korban kekerasan dan bagaimana mereka menghadapi proses hukum," ucap Ratna.
Sementara itu, Anggota Komisi X DPR Desy Ratnasari mengatakan, RUU PKS tidak hanya untuk mengakomodasi hak-hak korban tetapi juga mengandung upaya rehabilitasi bagi pelaku.
Hal tersebut dinilainya selama ini belum pernah dilakukan dalam putusan hukuman bagi pelaku.
“Waktu itu saya menyampaikan, rehabilitasi dan perlindungan tidak hanya untuk korban tapi juga bagi pelaku yang melakukan kekerasan seksual," kata Desy.
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mendesak DPR memasukkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) dalam Prolegna Prioritas Nasional 2021.
Baca juga: DPR RI Didesak Jaringan Masyarakat Sipil Indonesia Timur untuk Prioritaskan RUU PKS
Baca juga: Jaringan Masyarakat Sipil Indonesia Timur Desak DPR RI Prioritaskan RUU PKS
Desakan itu diberikan Komnas Perempuan dengan harapan adanya tindak lanjut berupa harmonisasi di Badan Legislasi (Baleg) hingga pengesahan di rapat paripurna DPR RI.
Pembahasan dan pengesahan RUU PKS ini diperjuangkan tak lain demi mewujudkan hak-hak para korban kekerasan seksual.
Bukan tanpa alasan, desakan ini dilakukan atas dasar banyaknya kasus kekerasan seksual di Indonesia.
Catatan Tahunan Komnas Perempuan menunjukkan terdapat pelaporan 46.698 kasus kekerasan seksual di ranah personal dan ranah publik sepanjang tahun 2011-2019.
Tingginya kasus kekerasan terhadap perempuan juga tampak dari hasil Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) 2016.
Baca juga: POPULER NASIONAL Salat Berjamaah di Masjid Ditiadakan | PDIP Harap Fraksi di DPR Sahkan RUU PKS
Baca juga: PDIP Harap Seluruh Fraksi Pendukung di DPR Komitmen Segera Loloskan dan Sahkan RUU PKS
Surveri tersebut diadakan oleh Biro Pusat Statistik (BPS) yang bekerjasama dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA).
Hasil survei menunjukkan 1 dari 3 perempuan usia 15–64 tahun mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual oleh pasangan dan selain pasangan selama hidupnya.
Kemudian, sekitar 1 dari 10 perempuan usia 15–64 tahun mengalaminya dalam 12 bulan terakhir.
Jumlah tersebut dihitung dari kasus-kasus yang berhasil dilaporkan.
Data itu merupakan fenomena gunung es dari situasi yang sebenarnya.
Peningkatan kekerasan terhadap perempuan setiap tahunnya menunjukkan minimnya perlindungan dan keamanan terhadap perempuan.
Baca: Fraksi PKB Buka Komunikasi dengan Fraks Lain untuk Tuntaskan Pembahasan RUU PKS
Baca: Ratusan Masyarakat Sipil Kecewa RUU PKS Ditarik dari Prolegnas 2020: Hanya Janji yang Terus Gagal
Tanpa adanya penindakan yang tegas terhadap para pelaku, kekerasan seksual terjadi secara berulang dan terus-menerus.
Fakta menunjukkan bahwa dampak kekerasan seksual terhadap korban sangat serius dan traumatik yang mungkin berlangsung seumur hidup.
Bahkan di beberapa kasus, dapat mendorong korban melakukan bunuh diri.
Mayoritas, korban kekerasan seksual yang merupakan perempuan dan anak-anak, mengalami dampak langsung di antaranya terhadap:
- Kesehatan fisik atau psikis;
- Pemenuhan Hak Asasi Perempuan dan relasi sosial, dan
- Ekonomi, terutama dalam hal pemiskinan korban/keluarga.
Dengan demikian, kekerasan seksual juga tidak hanya berdampak terhadap individu, tetapi juga terhadap keluarga, masyarakat dan negara, khususnya pada penurunan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) suatu negara.
Hasil pantauan Komnas Perempuan mencatat bahwa hingga saat ini, korban kekerasan seksual belum sepenuhnya mendapatkan keadilan, perlindungan dan pemulihan dari negara.
Baca: Komnas Perempuan Sebut RUU PKS Beri Solusi kepada Korban Kekerasan Seksual Cari Keadilan
Baca: Ratusan Masyarakat Sipil Kecewa RUU PKS Ditarik dari Prolegnas 2020: Hanya Janji yang Terus Gagal
Pantauan tersebut berdasar pada pengalaman penanganan kasus-kasus kekerasan seksual, terdapat beberapa isu krusial di antaranya:
1. Bentuk-bentuk kekerasan seksual yang semakin beragam,dan kompleks yang belum diatur oleh undang-undang;
2. Jumlah Aparatur Penegak Hukum (APH) masih terbatas dan belum berperspektif perempuan dan korban, termasuk korban dari penyandang disabilitas;
3. Penanganan hukum yang tidak terintegrasi dengan sistem pemulihan korban; dan
4. Budaya kekerasan yang menempatkan korban dipersalahkan atas kekerasan seksual yang menimpanya.
Persoalan-persoalan tersebut tidak dapat ditanggulangi karena ketiadaan payung hukum yang komprehensif yang seharusnya memuat enam elemen kunci yaitu:
1. Pengakuan pada tindak pidana kekerasan seksual secara lebih komprehensif;
2. Sanksi pidana dan tindakan;
3. Hukum acara khusus;
4. Hak-hak korban, saksi, keluarga korban dan ahli;
5. Pencegahan dan
6. Pemantauan.
Komnas Perempuan, karenanya, berpendapat bahwa upaya penghapusan kekerasan seksual adalah sesuai dengan Pancasila sebagai falsafah kehidupan berbangsa, bermasyarakat dan bernegara.
Falsafah yang kemudian menjadi norma tersebut diatur dalam hukum tertinggi di Indonesia yaitu konstitusi.
Konstitusi mengatur jaminan dan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM), dan perlindungan warga yang telah disepakati sebagai konsensus kehidupan berbangsa dan bernegara.
Baca: RUU PKS Dianggap Mengadopsi Ideologi Barat, LBH APIK: Justru Kita Lihat Situasi Korban di Indonesia
Baca: Pemerintah Minta DPR Prioritaskan RUU PKS
Secara konstitusional, upaya penghapusan kekerasan seksual menjadi pelaksanaan kewajiban negara pada pemenuhan hak konstitusional warga negara, terutama : Pasal 20, Pasal 28A,Pasal 28B Ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28H ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28I ayat (1), ayat (2), ayat (4), dan ayat (5) dan Pasal 28J ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Upaya pemenuhan hak konstitusional perempuan ini dilakukan dengan mendorong pembaharuan hukum melalui RUU PKS sejak tahun 2014.
Harapan Indonesia akan RUU ini sempat terhenti saat Komisi VIII menyatakan bahwa RUU Penghapusan Kekerasan Seksual tidak lagi menjadi usulan Komisi VIII dan proses penyusunan dan pembahasan RUU ini dikoordinasikan lebih lanjut oleh Badan Legislasi DPR RI.
Rapat kerja Baleg, DPD dan Menkumham RI tentang Evaluasi Prolegnas pada 2 Juli 2020 kemudian memutuskan secara resmi RUU Penghapusan Kekerasan Seksual keluar dari Prolegnas Prioritas 2020.
Keputusan itu pun menuai polemik di kalangan masyarakat sampai saat ini.
Terbukti bahwa masyarakat membutuhkan payung hukum untuk memenuhi hak atas keadilan dan pemulihan korban kekerasan seksual dan memastikan negara bertanggungjawab dalam menciptakan ruang-ruang yang aman dari kekerasan seksual.
Komnas Perempuan bersama Jaringan Masyarakat Sipil telah mengusulkan Naskah Akademik (NA) dan RUU PKS kepada sejumlah Anggota Legislatif untuk diusulkan kembali menjadi usul inisiatif DPR RI.
Menjelang sidang paripurna DPR RI untuk menentukan prioritas Prolegnas 2021, Komnas Perempuan menyampaikan beberapa tuntutan di antaranya:
1. Mendukung penuh dan memberikan apresiasi yang tinggi kepada para anggota DPR RI dan Fraksi yang telah menjadi unsur pengusul RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
2. Mendorong dan mendukung DPR RI untuk menetapkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sebagai RUU Prolegnas Prioritas 2021di Rapat Paripurna DPR RI Oktober 2020.
3. Merekomendasikan DPR RI untuk mengintegrasikan 6 (enam) elemen kunci yaitu: (1) tindak pidana kekerasan seksual; (2) sanksi pidana dan tindakan; (3) hukum acara khusus; (4) hak-hak korban, saksi, keluarga korban dan Ahli; (5) pencegahan dan (6) pemantauan, dalam NA dan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual usul inisiatif DPR RI.
4. Mengajak seluruh penyintas, keluarga penyintas, pendamping, media massa dan masyarakat sipil, dan juga pemerintah untuk terus mengawal pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
(Tribunnews.com/Fitriana/Gigih) (Kompas.com/Deti Mega Purnamasari)