TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengadilan Tipikor Jakarta kembali menggelar sidang lanjutan perkara dugaan suap gratifikasi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dengan terdakwa Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi, dan menantunya Rezky Herbiyono, Jumat (4/12/2020).
Jaksa KPK menghadirkan dua orang saksi yang merupakan penjual tas tersebut guna menjelaskan transaksi pembelian dua buah tas mewah merk Hermes.
Nilai kedua tas itu mencapai miliaran rupiah. Tas itu dibeli oleh anak Nurhadi, Rizqi Aulia Rahmi.
Saksi pertama bernama Evi Olivia mengungkap Aulia membeli tas Hermes Kelly 32 Himalayan dari dirinya seharga Rp1,3 miliar.
Olivia menuturkan Aulia melakukan pembayaran pembelian tas itu secara bertahap, dimulai dengan uang muka Rp100 juta pada 3 Juli 2015, dilanjutkan Rp1,2 miliar pada 14 Juli 2015 dan disusul di hari yang sama sebesar Rp25 juta. Pembayaran tas dikirimkan langsung ke rekening Olivia.
"Sudah lunas, itu dikirim rekening saya. Kenapa ke rekening saya karena besok itu bank sudah libur, saat itu lebaran H-2 bank sudah libur jadi di transfer ke saya, terus saya tinggal transfer fee penjual tasnya," beber Olivia di persidangan.
Sementara itu saksi kedua bernama Agnes Jenifer yang juga penjual tas online sekaligus seorang selebgram @agnes_jennifer.
Agnes menuturkan Aulia membeli tas Hermes Croco yang dibanderol Rp600 juta. Pembelian dilakukan secara online dengan diawali negosiasi harga. Usai sepakat dengan harganya, Aulia lebih dulu membayar uang muka Rp100 juta.
"Jenis tasnya Hermes Croco kalau nggak salah, Rp 600 juta," kata Agnes.
Setelah pembayaran uang muka, Agnes kemudian mengantarkan tas mewah itu ke rumah Aulia di Hang Lekir, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Baca juga: Jaksa Singgung Suvenir iPod Nikahan Anak Nurhadi dengan Rezky Herbiyono
Pada hari yang sama, Aulia langsung melunasi sisa pembayaran senilai Rp500 juta kepada Agnes dari rekening suaminya, Rezky Herbiyono.
"Saya tinggal barangnya karena kan saya sudah tahu rumahnya, terus katanya nanti ditransfer suaminya," jelas dia.
Nurhadi bersama menantunya Rezky Herbiyono sebelumnya didakwa menerima suap dan gratifikasi senilai total Rp83 miliar terkait dengan pengaturan sejumlah perkara di lingkungan peradilan.
Untuk suap, Nurhadi dan Rezky menerima uang sebesar Rp45.726.955.000 dari Direktur Utama PT Multicon Indrajaya Terminal (MIT) Hiendra Soenjoto. Hiendra sendiri merupakan tersangka KPK dalam kasus yang sama dengan para terdakwa.
Uang Rp45 miliar lebih itu diberikan agar kedua terdakwa mengupayakan pengurusan perkara antara PT MIT melawan PT Kawasan Berikat Nusantara (KBN) terkait dengan gugatan perjanjian sewa-menyewa depo container milik PT KBN seluas 57.330 meter persegi dan 26.800 meter persegi.
Awal mula gugatan, pada 27 Agustus 2010 Hiendra melalui kuasa hukumnya Mahdi Yasin dan rekan mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum ke Pengadilan Negeri Jakarta Utara yang didasarkan pada pemutusan secara sepihak atas perjanjian sewa-menyewa depo container milik PT KBN. Hal itu sebagaimana register perkara nomor: 314/Pdt.G/2010/PN Jkt.Ut.
PN Jakarta Utara mengabulkan gugatan tersebut dan menyatakan bahwa perjanjian sewa-menyewa depo container tetap sah dan mengikat. Serta menghukum PT KBN membayar ganti rugi materiel kepada PT MIT sebesar Rp81.778.334.544.
Tak terima, PT KBN mengajukan banding. Namun lagi-lagi upaya hukum mereka kandas di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.
Namun di tingkat kasasi, MA dalam putusannya nomor 2570 K/Pdt/2012 menyatakan bahwa pemutusan perjanjian sewa-menyewa depo container adalah sah dan menghukum PT MIT membayar ganti rugi sebesar Rp6.805.741.317 secara tunai dan seketika kepada PT KBN.
PT KBN lantas bermohon kepada Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Utara agar dilakukan eksekusi atas putusan yang telah berkekuatan hukum tetap dengan aanmaning/teguran.
Mengetahui akan dieksekusi, Hiendra meminta bantuan kakaknya Hengky Soenjoto untuk dikenalkan dengan advokat Rahmat Santoso yang merupakan adik ipar Nurhadi atau paman Rezky.
Dalam pertemuan di cafe Vin+ Jalan Kemang Raya, Jakarta Selatan, Hiendra meminta Rahmat menjadi kuasanya dalam permohonan PK perkara gugatan dengan PT KBN sekaligus mengurus penangguhan eksekusi.
Satu bulan usai pertemuan, tepatnya tanggal 20 Agustus 2014, Hiendra memberi surat kuasa kepada Rahmat sekaligus memberi uang Rp300 juta dan cek OCBC NISP atas nama PT MIT nomor NNP 218650 sejumlah Rp5 miliar yang bisa dicairkan setelah permohonan PK didaftarkan ke MA. Pada 25 Agustus 2014, Rahmat mendaftarkan permohonan PK dan permohonan penangguhan eksekusi.
Beberapa hari kemudian, tutur Jaksa, Hiendra mencabut kuasa yang telah diberikan dan melarang Rahmat mencairkan cek Rp5 miliar.
"Namun pada kenyataannya Hiendra meminta terdakwa II (Rezky) yang merupakan menantu sekaligus orang kepercayaan terdakwa I (Nurhadi) untuk pengurusan perkara tersebut, padahal diketahui pada saat itu, terdakwa II bukanlah advokat," ucap Jaksa sebagaimana surat dakwaan.
Lebih lanjut, Nurhadi dan Rezky juga didakwa menerima gratifikasi sebesar Rp37.287.000.000. Nurhadi disebut memerintahkan Rezky untuk menerima uang dari para pihak yang memiliki perkara baik di tingkat pertama, banding, kasasi dan peninjauan kembali secara bertahap sejak 2014-2017.
Penerimaan uang di antaranya dari Handoko Sutjitro (Rp2,4 miliar); Renny Susetyo Wardani (Rp2,7 miliar); Donny Gunawan (Rp7 miliar); Freddy Setiawan (Rp23,5 miliar); dan Riadi Waluyo (Rp1.687.000.000).