TRIBUNNEWS.COM - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan operasi tangkap tangan (OTT) dan berhasil mengamankan enam orang yakni, Matheus Joko Santoso (MJS) selaku PPK di Kemensos; Wan Guntar (WG) selaku swasta asal Tiga Pilar Agro Utama; Ardian I M (AIM) selaku swasta; Harry Sidabuke (HS) selaku swasta; Shelvy N (SN) selaku Sekretaris di Kemensos; dan Sanjaya (SJY) selaku swasta.
Penangkapan ini dilakukan terkait kasus dugaan suap pengadaan barang program bansos penanganan Covid-19 di Kementerian Sosial (Kemensos), Sabtu (5/12/2020).
Ketua KPK, Firli Bahuri, menjelaskan uang yang berhasil diamankan dalam OTT kali ini terdiri atas pecahan mata uang rupiah, dolar AS, dan dolar Singapura.
"Dari hasil tangkap tangan ini ditemukan uang dengan pecahan mata uang rupiah dan mata uang asing, masing-masing sejumlah sekitar Rp11, 9 miliar, sekitar USD171,085 (setara Rp2,420 miliar) dan sekitar SGD23.000 (setara Rp243 juta)," ujarnya dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Minggu (6/12/2020) dini hari.
Baca juga: Ditetapkan Tersangka KPK, Terkuak Mensos Juliari P Batubara Cuma Punya Satu Mobil
Baca juga: Mensos Juliari P Batubara Jadi Tersangka Suap Dana Bansos Covid-19, Hartanya Tercatat Rp 47 Miliar
Praktik suap itu diendus KPK berdasrkan informasi dari masyarakat akan adanya dugaan terjadinya penerimaan sejumlah uang oleh penyelenggara negara yang diberikan oleh Ardian I M dan Harry Sidabuke (HS) kepada Matheus Joko Santoso (MJS) dan AW selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) di Kemensos, serta Menteri Sosial (Mensos) Juliari P Batubara (JPB).
Berdasarkan hasil gelar perkara pasca-OTT itu, KPK menetapkan lima orang tersangka kasus dugaan suap program bantuan sosial (bansos) penanganan Covid-19.
Kelima tersangka tersebut adalah Menteri Sosial (Mensos), Juliari P Batubara; Matheus Joko Santoso (MJS), dan AW selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) di Kemensos; serta dua pihak swasta Ardian I M (AIM) dan Harry Sidabuke (HS).
Jauh sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam), Mahfud MD, menyatakan jika perangkat hukum untuk hukuman mati bagi koruptor sudah ada.
"Koruptor bisa dijatuhi hukuman mati kalau melakukan pengulangan atau melakukan korupsi disaat ada bencana, nah itu sudah ada. Cuma kriteria bencana itu yang sekarang belum diluruskan. Nanti kalau itu mau diterapkan tidak perlu ada undang-undang baru, karena perangkat hukum yang tersedia sudah ada," ungkap mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) ini.
Baca juga: Mensos Juliari P Batubara Ditangkap KPK, Tak Lama Setelah Ditetapkan Tersangka Dugaan Suap
Menkopolhukam menegaskan jika pemerintah sudah setuju dengan hukuman mati untuk koruptor tapi tetap semua tergantung putusan dari hakim pengadilan.
"Kadangkala hakimnya malah mutus bebas gitu, kadangkala hukumannya ringan. Sudah ringan nanti dipotong lagi, dipotong lagi, ya sudah itu pengadilan diluar urusan pemerintah," kata pria kelahiran Madura ini.
Menurutnya adanya koruptor akan merusak sebuah bangsa.
"Saya sejak dulu sudah setuju hukuman mati untuk koruptor karena itu merusak nadi, aliran darah sebuah bangsa dirusak oleh koruptor itu. Sehingga kalau koruptornya serius dengan jumlah besar saya setuju hukuman mati," ujarnya dilansir melalui YouTube Kompas TV, Selasa (10/12/2019).
Ia mengatakan jika ancaman hukuman mati untuk koruptor sudah ada di undang-undang.
Dalam undang-undang dijelaskan jika koruptor dapat dihukum mati jika melakukan pengulangan korupsi dan melakukan korupsi saat ada bencana.
Diketahui, pada April 2020 lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi), menetapkan Covid-19 sebagai bencana nasional non-alam.
Penetapan ini dilakukan lewat penerbitan Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana non-alam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) sebagai bencana nasional.
(Tribunnews.com/Mohay/Ilham Rian Pratama/Taufik Ismail)