TRIBUNNEWS.COM, YOGYA – Zulkarnaen, tokoh penting yang diduga terlibat operasi bom Bali I 12 Oktober 2002, ditangkap Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri, Kamis (10/12/2020).
Ia diciduk dari tempat pelariannya selama 18 tahun terakhir di Gang Kolibri, Toto Harjo, Purbolinggo, Kabupaten Lampung Timur, Provinsi Lampung.
Nama aslinya Aris Sumarsono, asal Sragen, lama tinggal di tepatnya sekitar Ngruki, Sukoharjo. Ia berstatus buron 18 tahun sejak peristiwa bom Bali I terjadi.
Jejaknya tak ditemukan begitu tokoh-tokoh utama kasus bom Bali I ditangkap. Zulkarnaen atau Dzulkarnaen alias Aris Sumarsono seolah lenyap tanpa jejak dari Ngruki dan area Solo Raya.
Mabes Polri menyebutkan, Zulkarnaen ditemukan berawal dari tertangkapnya Taufik Bulaga alias Upik Lawanga beberapa pekan lalu di Seputih Banyak, Lampung Tengah.
Baca juga: Buronan Teroris Bom Bali I Ditangkap Densus 88, Diduga Ikut Sembunyikan Penerus Dokter Azhari
Baca juga: Densus 88 Tangkap Terduga Teroris di Lampung
Baca juga: Buronan Bom Bali I Diringkus Densus 88 Polri
Siapakah Zulkarnaen alias Aris Sumarsono ini? Tribunnews.com, Minggu (13/12/2020) pagi menghubungi Nasir Abas, mantan tokoh penting Al Jamaah Al Islamiyah (JI).
Zulkarnaen Pemimpin Sayap Militer Jamaah Islamiyah
Nasir Abas ini adik ipar almarhum Ali Ghufron alias Muklas, pemimpin operasi bom Bali I. Ia warga negara Malaysia, dan kini tinggal di Indonesia.
Nasir Abas ini pernah malang melintang sebagai kader dan pengurus JI Asia Tenggara. Saat ditangkap Polri beberapa tahun lalu di Bekasi, Nasir Abas merupakan Ketua Mantiqi III JI berpusat di Palu, Sulteng.
Menurut Nasir Abas, saat bom Bali I terjadi, Zulkarnaen menduduki jabatan Ketua Dewan Askari Markaziyah Jamaah Islamiyah.
Ia membawahi kelompok bersenjata JI. Tugasnya bukan jadi eksekutor lapangan, melainkan penanggungjawab operasi bersenjata yang dilakukan JI.
Secara umur dan pengalaman, Zulkarnaen lebih senior ketimbang Nasir Abas. Saat puluhan, mungkin ratusan kader JI dikirim ke medan perang Afghanistan, Zulkarnaen sudah senior.
“Zulkarnain itu guru saya di Akademi Militer Mujahidin Afghanistan,” kata Nasir Abas. Ia menulis kesaksian panjang tentang Zulkarnaen. Tribunnews.com diizinkan mengutip kesaksiannya.
“Orangnya lembut, tidak suka becanda dan tidak banyak bicara. Saya ketemu beliau lima hari setelah peristiwa bom Bali 12 Okt 2002,” lanjut penulis buku “Membongkar Jamaah Islamiyah (2005) ini.
Rapat Markaziyah di Tawangmangu Karanganyar
Mereka bertemu saat elite JI menggelar pertemuan rutin, atau istilahnya rapat markaziyah, di Tawangmangu, Karanganyar. Peserta yang hadir sekitar 20 orang, termasuk Zulkarnaen.
Para pemimpin Mantiqi (wilayah) JI hadir, termasuk Mukhlas sebagai Ketua Mantiqi 1 yang membawahi wilayah kerja Malaysia barat, Singapura, dan selatan Thailand0.
Saat itu penyelidikan kasu sbom Bali I baru dimulai, dan kehebohan sudah tersebar ke dunia. Semua orang mengikuti perkembangan kasus bom yang merenggut ratusan nyawa itu.
Menurut Nasir Abas, saat rapat, sama sekali tidak ada yang menyinggung atau membahas hal ihwal bom Bali 12 Oktober 2002.
Saat jeda rapat, semua memang memperhatikan perkembangan informasi, termasuk breaking news di televisi maupun media lain.
Nasir Abas menduga, soal bom Bali tidak disinggung karena peserta rapat memang tidak ada yang tahu siapa pelaku dan apa motifnya.
Tapi Nasir Abas punya kecurigaan sejak awal, pelakunya anggota JI. Dasar kecurigaannya, saat itu praktis hanya kader JI saja yang menguasai keterampilan membuat bom sebesar yang di Bali.
“Saya curiga kepada Hambali (mantan Ketua Mantiqi 1), dan sebagian anggota JI Mantiqi 1, karena mereka yang punya ambisi serta telah melakukan aksi bom gereja 2000 dan 2001,” kata Nasir Abas.
Karena penasaran, di sela rapat Nasir Abas mendekati Zulkarnain. Ia memilik orang itu karena senior dan menduduki jabatan Bidang Askari Markaziyah.
"Pak, siapa yg bikin bom Bali?" tanya Nasir Abas langsung ke pokok isu. Nasir Abas mengaku tidak suka basa basi.
"Buat apa antum tahu, dan apa untungnya kalau antum tahu?" jawab Zulkarnain ketika itu. Nasir Abas tidak melanjutkan bertanya mendengar jawaban lugas itu.
“Saya mundur, tidak melanjutkan pertanyaan lagi,” imbuhnya.
“Memang begitu tipe beliau, yang selalu serius, yang sangat jarang terlihat senyum, yang tidak suka bercanda, dan akan marah jika lihat kita-kita yang ngobrol sambil ketawa,”kata tokoh yang kini aktif membantu kampanye deradikalisasi di Indonesia.
Nasir Abas Diberitahu Langsung Mukhlas, Kakak Iparnya
Nasir mengatakan, ia langsung membatin, Zulkarnaen tahu, tapi tidak mau memberitahu. “Bagi saya sudah cukup dengan respon itu, yang artinya memang anggota JI terlibat, lalu siapa yg terlibat?” tanyanya retoris.
Kecurigaan menguat ke sosok Mukhlas. Selain jabatannya sebagai Ketua Mantiqi 1, Mukhlas saat itu terlihat berbeda dari biasanya.
Earphone terus menempel di telinganya sepanjang kegiatan. Nasir Abas membatin, apakah seniornya itu sudah berubah pikiran menghalalkan musik, padahal Mukhlas mengharamkan nonton televise.
Karena merasa itu mustahil, Nasir Abas yakin Mukhlas tidak sedang mendengarkan musik sepanjang hari.
“Saya yakin pasti mendengarkan berita, dan berita yang didengarkan pasti tentang bom Bali,” kata Nasir Abas, yang mengaku leluhurnya berasal dari Sumbar dan Jawa Tengah.
Saat istirahat makan siang, Nasir Abas memberanikan mendekati Mukhlas, pria asal Tenggulun, Lamongan, yang merantau ke Malaysia lalu bertemu Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Baasyir.
Karena lebih tua umurnya, Nasir Abas menyapa tokoh itu ustaz, walau telah menikahi adik kandungnya. Nasir menempatkan Mukhlas tetap sebagai senior.
"Antum kah yg bikin bom Bali?” tanya Nasir Abas blak-blakan karena merasa punya kedekatan secara emosional.
"Ah.......firasat antum," jawab Mukhlas sembari tangannya menepuk jidat Nasir Abas.
“Bagi saya sudah cukup jawaban itu menjadi asumsi pertama saya, Mukhlas terlibat. Firasat itu bukan dzhon, karena firasat lebih mendekati benar,” imbuhnya.
Tanda tanya Nasir Abas tentang bom Bali terpecahkan tiga (3) hari setelah rapat markaziyah di Tawangmangu.
Kala itu Nasir Abas berkunjung ke rumah kontrakan Mukhlas di Gresik, Jawa Timur. Niatnya ingin menemui adik kandungnya, yang juga istri Mukhlas.
Ia menginap semalam di Gresik, sebelum pamit hendak pulang ke Palu, Sulawesi Tengah, tempat ia menjalankan kegiatan JI di Indonesia timur.
Mukhlas memberitahunya tentang peristiwa bom Bali. "Ya akhi, bom Bali itu ana dan adik-adik yang bikin,” kata Nasir Abas menirukan kata-kata Mukhlas alias Ali Ghufron.
Adik-adik yang dimaksud Mukhlas kelak diketahui terdiri Amrozi, Ali Imron, Ali Fauzi, dan beberapa teman serta kerabat lain yang berasal dari Tenggulun, Lamongan, Jatim.
Nasir Abas mengaku masih syok juga mendengar pengakuan kakak iparnya. “Saya syok memikirkan istri dan anak-anaknya setelah mendengar pengakuannya itu,” katanya.
Minta Istri dan Anak Mukhlas Dikirim ke Palu
Ia lalu memperingatkan bahaya yang akan dihadapi Mukhlas. "Antum dalam bahaya ustaz, pasti antum dicari polisi. Antum carilah tempat sembunyi, tapi biarlah istri antum dan anak-anak bersama saya di Palu,” pinta Nasir Abas ke kakaknya.
Saat itu Nasir Abas tak lagi membahas hokum (syariatnya) bom Bali, karena Mukhlas tahu dirinya sejak awal tidak pernah setuju ajakan Hambali alias Encep Nurjaman, tokoh JI asal Cianjur, Jabar.
Hambali saat ini masih ditahan di Kamp Guantanamo, Kuba, di bawah pengawasan militer Amerika Serikat. Hambali ditangkap di Thailand atas perannya di berbagai aksi teror di Asia Tenggara.
“Mukhlas sudah tau saya tidak pernah setuju ajakan Hambali ke saya untuk melakukan bom gereja 2000,” aku Nasir Abas.
Setelah tidak ada respon dari Mukhlas soal tawaran menampung anak istri Mukhlas, Nasir Abas lantas menitipkan alamat rumah di Palu. Ia kemudian pulang ke Sulawesi.
Beberapa pekan kemudian, siapa pelaku bom Bali I mulai terkuak. Mula-mula Amrozi sebagai pemilik mobil yang dipakai untuk bom mobil.
Berderet berikutnya penangkapan dilakukan bergelombang di berbagai daerah. Mukhlas digerebek di rumah kontrakannya di Klaten.
Imam Samudra ditangkap di Merak, saat hendak menyeberang ke Sumatera. Ali Imron diciduk di tempat persembunyiannya nun jauh di sebuah pulau Kalimantan Timur.
Sedangkan Zulkarnaen alias Aris Sumarsono, lolos dari jangkauan petugas. Baru 18 tahun kemudian ia bisa ditemukan di Lampung Timur.
“Sejauh mana keterlibatan Zulkarnain dalam peristiwa bom Bali, atau kasus lainnya, biarlah polisi yang mengungkap,” ujar Nasir Abas.
Aksi bom melibatkan jaringan JI sesudah bom Bali I 12 Oktober 2002 antara lain ada bom
JW Marriott 2003 dan peledakan bom di Kedutaan Besar Australia September 2004.(Tribunnews.com/xna)