Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Muhammad Rudjito, kuasa hukum mantan Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi dan menantunya Rezky Herbiyono mengakui ada pertemuan antara Nurhadi dengan tiga Hakim Agung.
Namun, kata Rudjito, pertemuan itu tidak berkaitan dengan pengurusan perkara.
"Jadi tadi ditegaskan memang ada pertemuan antara Pak Nurhadi dengan tiga orang Hakim Agung dengan Pak Sunarto, Pak Purwosusilo dan Abdul Manaf. Tetapi pertemuan itu ditegaskan untuk menghindari fitnah bukan terkait dengan pengurusan perkara," ucap Rudjito di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jakarta Pusat, Rabu (16/12/2020).
Baca juga: Tiga Nama Hakim Agung Disebut dalam Sidang Kasus Suap dan Gratifikasi Nurhadi
Rudjito menyatakan, tidak pernah ada pembicaraan pengurusan perkara antara Nurhadi dengan tiga Hakim Agung.
Pertemuan itu diungkap pegawai MA, Jumadi, saat bersaksi untuk Nurhadi dan Rezky.
"Pengurusan perkara apapun tidak pernah dibicarakan, tidak pernah ada pembicaraan dalam pertemuan tersebut," kata Rudjito.
Baca juga: Kuasa Hukum Nurhadi Sebut Saksi KPK Tak Relevan dengan Dakwaan
Rudjito membeberkan, pertemuan Nurhadi dengan tiga Hakim Agung hanya membicarakan penganganggaran dan pembentukan pengadilan baru.
Tidak ada soal pengurusan perkara.
"Yang jelas pertemuan itu hanya menyangkut tentang bagaimana reformasi birokrasi, termasuk pembentukan pengadilan baru dan soal penganggaran. Yang dibicarakan pada pertemuan itu adalah hal-hal yang berkaitan dengan penganggaran dan pembentukan pengadilan baru," kata dia.
Sekadar informasi, tiga nama Hakim Agung yakni Sunarto, Purwosusilo, dan Abdul Manaf muncul dalam sidang lanjutan kasus dugaan suap pengurusan perkara di MA dengan terdakwa mantan Sekretaris MA Nurhadi dan menantunya Rezky Herbiyono, hari ini.
Baca juga: Kronologi Penjualan Kebun Kelapa Sawit ke Nurhadi
Ketiga nama Hakim Agung tersebut muncul ketika Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengonfirmasi saksi yang merupakan mantan asisten Nurhadi di MA, Jumadi, ihwal Berita Acara Pemeriksaannya (BAP) saat diperiksa di KPK.
Dalam BAP Jumadi, disebutkan Nurhadi dan ketiga hakim agung tersebut pernah bertemu di apartemen daerah Senopati, Jakarta pada 2017.
Pertemuan itu terjadi diluar kedinasan.
Karenanya, Jaksa mengonfirmasi Jumadi ihwal kepentingan pertemuan antara Nurhadi dengan ketiga Hakim Agung tersebut.
Nurhadi bersama menantunya Rezky Herbiyono sebelumnya didakwa menerima suap dan gratifikasi senilai total Rp83 miliar terkait dengan pengaturan sejumlah perkara di lingkungan peradilan.
Untuk suap, Nurhadi dan Rezky menerima uang sebesar Rp45.726.955.000 dari Direktur Utama PT Multicon Indrajaya Terminal (MIT) Hiendra Soenjoto. Hiendra sendiri merupakan tersangka KPK dalam kasus yang sama dengan para terdakwa.
Uang Rp45 miliar lebih itu diberikan agar kedua terdakwa mengupayakan pengurusan perkara antara PT MIT melawan PT Kawasan Berikat Nusantara (KBN) terkait dengan gugatan perjanjian sewa-menyewa depo container milik PT KBN seluas 57.330 meter persegi dan 26.800 meter persegi.
Awal mula gugatan, pada 27 Agustus 2010 Hiendra melalui kuasa hukumnya Mahdi Yasin dan rekan mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum ke Pengadilan Negeri Jakarta Utara yang didasarkan pada pemutusan secara sepihak atas perjanjian sewa-menyewa depo container milik PT KBN.
Hal itu sebagaimana register perkara nomor: 314/Pdt.G/2010/PN Jkt.Ut.
PN Jakarta Utara mengabulkan gugatan tersebut dan menyatakan bahwa perjanjian sewa-menyewa depo container tetap sah dan mengikat. Serta menghukum PT KBN membayar ganti rugi materiel kepada PT MIT sebesar Rp81.778.334.544.
Tak terima, PT KBN mengajukan banding. Namun lagi-lagi upaya hukum mereka kandas di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.
Namun di tingkat kasasi, MA dalam putusannya nomor 2570 K/Pdt/2012 menyatakan bahwa pemutusan perjanjian sewa-menyewa depo container adalah sah dan menghukum PT MIT membayar ganti rugi sebesar Rp6.805.741.317 secara tunai dan seketika kepada PT KBN.
PT KBN lantas bermohon kepada Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Utara agar dilakukan eksekusi atas putusan yang telah berkekuatan hukum tetap dengan aanmaning/teguran.
Mengetahui akan dieksekusi, Hiendra meminta bantuan kakaknya Hengky Soenjoto untuk dikenalkan dengan advokat Rahmat Santoso yang merupakan adik ipar Nurhadi atau paman Rezky.
Dalam pertemuan di cafe Vin+ Jalan Kemang Raya, Jakarta Selatan, Hiendra meminta Rahmat menjadi kuasanya dalam permohonan PK perkara gugatan dengan PT KBN sekaligus mengurus penangguhan eksekusi.
Satu bulan usai pertemuan, tepatnya tanggal 20 Agustus 2014, Hiendra memberi surat kuasa kepada Rahmat sekaligus memberi uang Rp300 juta dan cek OCBC NISP atas nama PT MIT nomor NNP 218650 sejumlah Rp5 miliar yang bisa dicairkan setelah permohonan PK didaftarkan ke MA.
Pada 25 Agustus 2014, Rahmat mendaftarkan permohonan PK dan permohonan penangguhan eksekusi.
Beberapa hari kemudian, tutur Jaksa, Hiendra mencabut kuasa yang telah diberikan dan melarang Rahmat mencairkan cek Rp5 miliar.
"Namun pada kenyataannya Hiendra meminta terdakwa II (Rezky) yang merupakan menantu sekaligus orang kepercayaan terdakwa I (Nurhadi) untuk pengurusan perkara tersebut, padahal diketahui pada saat itu, terdakwa II bukanlah advokat," ucap Jaksa sebagaimana surat dakwaan.
Lebih lanjut, Nurhadi dan Rezky juga didakwa menerima gratifikasi sebesar Rp37.287.000.000. Nurhadi disebut memerintahkan Rezky untuk menerima uang dari para pihak yang memiliki perkara baik di tingkat pertama, banding, kasasi dan peninjauan kembali secara bertahap sejak 2014-2017.
Penerimaan uang di antaranya dari Handoko Sutjitro (Rp2,4 miliar); Renny Susetyo Wardani (Rp2,7 miliar); Donny Gunawan (Rp7 miliar); Freddy Setiawan (Rp23,5 miliar); dan Riadi Waluyo (Rp1.687.000.000).