Laporan Wartawan Tribunnews.com, Nicolas Manafe
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Proklamasi Democracy Forum ke-8 yang bertajuk Demokrasi Indonesia Di tengah Pandemi & Resesi Ekonomi: Harapan Untuk 2021, membahas mengenai perjalanan demokrasi di Indonesia sepanjang tahun 2020.
Ketua Badan Penelitian dan Pengembangan DPP Partai Demokrat, Herzaky Mahendra Putra mengatakan, meskipun saat ini belum mengarah ke otoritarian, demokrasi Indonesia menuju apa yang disebut profesor politik dari Universitas Warwick, Inggris, Colin Crouch, sebagai masyarakat post democracy.
Masyarakat yang memiliki dan menggunakan seluruh institusi demokrasi, tetapi demokrasi hanya berkembang di permukaan sebagai formalitas saja.
Baca juga: Hendropriyono: Aliran Politik Indonesia Berubah dari Demokrasi Pancasila ke Demokrasi Liberal
"Apalagi dengan adanya pandemi dan resesi ekonomi saat ini, kecenderungan dan dorongan yang seakan-akan melegalkan pemerintah bertindak secara berlebihan dan menafikan demokrasi, dalam penanganan pandemi," kata Herzaky dalam acara yang digelar secara daring ini, Rabu (30/12/2020).
Untuk menghindarinya, lanjut Herzaky, pemerintah harus lebih terbuka dalam menerima kritikan serta saran dari berbagai pihak.
Baca juga: Menlu Retno: Pandemi Ciptakan Tantangan Tambahan bagi Demokrasi
Transparansi, kredibilitas, dan kebebasan arus informasi, partisipasi dan kolaborasi kelompok masyarakat sipil secara sukarela, merupakan beberapa unsur penting dalam menangani pandemi yang sesuai dengan nilai-nilai demokrasi.
Koalisi masyarakat sipil pun harus melakukan konsolidasi yang lebih optimal, sambil terus mengharapkan parlemen benar-benar menjalankan check and balances, bukan berhenti sebagai pendukung pemerintah saja.
Terkait pelaksanaan Pilkada 2020, Komisioner KPU RI Viryan Azis mengungkapkan kelegaannya karena partisipasi masyarakat meningkat meskipun di era pandemi.
Hanya Indonesia yang bisa menyelenggarakan Pemilu dengan Partisipan terbanyak saat pandemi yaitu 75%.
Ini pertanda positif di satu sisi untuk demokrasi Indonesia.
Baca juga: Amnesty International Indonesia : 2020 Terjadi Kemunduran Demokrasi di Indonesia
Ke depan, harap Viryan, KPU dan partai politik bisa lebih sinergis dalam meningkatkan kualitas pemilu dan demokrasi di Indonesia.
"Kita harus memikirkan secara seksama, seperti apa persiapan ke depannya, baik masih ada pandemi maupun tidak, untuk menggelar pemilu selanjutnya," ucapnya.
Dalam acara yang sama, Direktur Eksekutif Pusat Kajian Ilmu Politik Universitas Indonesia Aditya Perdana mengingatkan beberapa ancaman terhadap demokrasi Indonesia di tahun 2021.
Pertama, ancaman demokrasi berupa kebebasan sipil dan politik (offline dan online), ruang partisipasi publik yang terbatas karena pandemi, dan konsolidasi aparat keamanan dalam ruang publik semakin meluas.
Kedua, ancaman politik elektoral, berupa kekuatan oligarki dan dinasti politik yang juga terkonsolidasi secara regulasi maupun kompetisi, serta dilemahkannya peluang calon perseorangan.
Ketiga, keterbatasan dalam pengawasan terhadap pemerintah, seperti yang tercermin dalam korupsi bansos oleh Menteri Sosial, Juliari Batubara.
Adit pun mengingatkan, salah satu tantangan terbesar tahun 2021 adalah pembahasan revisi UU Pemilu dan Pilkada.
Sedangkan pegiat HAM & Demokrasi dari Kurawal Foundation, Donny Ardianto menegaskan salah satu penanda regresi demokrasi di Indonesia di samping pemusatan kekuasaan dan pemberangusan oposisi adalah politisasi penegak hukum.
Dia menilai polisi menjadi alat bagi kekuasaan untuk menekan kritik dan lawan politik dengan menggunakan perangkat hukum.
Robertus Robert, pegiat Demokrasi yang juga dosen UNJ, menegaskan kalau demokrasi baru tumbuh apabila ada partisipasi dari warga negara. Memperkuat dan menyeharkan partai politik merupakan bagian penting dalam Demokrasi.
Dalam dua tahun terakhir, civil society sudah mulai siuman sejak adanya polarisasi akibat pilpres 2014.
Arif Zulkifi, Kepala Pemberitaan Korporat Tempo Media, memaparkan tantangan yang dihadapi dunia pers di tahun 2021 berdasarkan apa yang dijalani di tahun 2020.
Pandemi bagaimanapun membatasi mobilitas dan mempengaruhi cara kerja dunia pers.
Pertama, Pers bekerja di bawah ancaman UU ITE yang membuat pers bisa dikriminalisasi, dan serangan dari pihak-pihak anti demokrasi berupa doxing dan hacking.
Hacking kekinian bukan sekedar situs tidak bisa diakses, melainkan usaha menghapuskan dan menambahkan berita. Belum lagi situasi pandemi memunculkan permasalahan ekonomi di industri media.
Lalu, masih adanya pemahaman yang belum seragam di kalangan pers, bagaimana media bisa memiliki perhatian, konsistensi dengan sikapnya, menjalankan tugas di tengah masyarakat yang terbelah.
"Ada enam nyawa yang melayang, bagaimana kita bisa melihatnya sebagai isu kemanusiaan, terlepas mereka berbalut baju apa, punya ideologi dan pandangan politik seperti apa. Koridor nilai-nilai kemanusiaan ini yang mesti menjadi pegangan bersama," katanya.