Laporan Wartawan Tribunnews.com, Chaerul Umam
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pandemi Covid-19 yang terjadi tidak menyurutkan semangat Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) untuk melakukan tugas dan fungsi kelembagaan.
Tercatat, sepanjang tahun 2020 DPR RI berhasil mengesahkan 13 Rancangan Undang-Undang (RUU) menjadi Undang-Undang.
Pada tahun 2020, diketahui DPR RI menetapkan 37 RUU Prioritas Tahun 2020 sebagai Prioritas RUU hasil penyesuaian dengan situasi pendemi Covid-19.
Dari semua RUU yang berhasil dibahas hingga Tingkat II (Paripurna DPR), terdapat sejumlah UU yang menjadi kontroversi di tengah masyarakat.
Alhasil, berbagai respons masyarakat bermunculan hingga tak sedikit yang berakhir dengan aksi demonstrasi.
Berikut daftar RUU kontroversi yang disahkan DPR menjadi Undang-undang.
1. RUU tentang Perubahan atas UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
UU ini disahkan DPR dan pemerintah dan dalam rapat paripurna Selasa (12 Mei 2020).
Banyak pihak menilai pengesahan UU Minerba ini terburu-buru, apalagi pengesahannya dilakukan saat pandemi Covid-19.
Ada sejumlah kontroversi dalam UU Minerba yang mengiringi pengesahannya.
Terutama pasal terkait perpanjangan kontrak karya pertambangan.
Misalnya pada Pasal 169A mengatur tentang perpanjangan kontrak karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B) tanpa melalui lelang.
Baca juga: Pemerintah Larang Aktivitas FPI, Wakil Ketua Komisi III DPR: Organisasi Ini Dukung Kelompok Teroris
KK dan PKP2B diberi jaminan perpanjangan otomatis 2x10 tahun tanpa harus mengurangi perluasan wilayahnya.
Padahal, UU yang lama mengatur kawasan harus dikembalikan kepada negara setiap habis kontrak dan dilelang ulang.
Pasal dalam UU anyar ini dinilai membuka celah perpanjangan sejumlah perusahaan raksasa minerba yang akan selesai masa kontraknya.
"Undang-undang ini kontroversial terutama pasal terkait perpanjangan kontrak karya pertambangan. Kita menolak pasal tersebut," kata Wakil Ketua Fraksi PKS DPR RI Mulyanto, saat dihubungi Tribunnews, Senin (1/6/2020).
Sorotan lain ada pada pasal 162 dan 164. Dua pasal ini dinilai membuka peluang kriminalisasi terhadap warga penolak tambang.
Baca juga: DPR Desak Malaysia Tangkap dan Umumkan Penghina Lagu Indonesia Raya
Pasal 162 yang berbunyi "Setiap orang yang merintangi atau mengganggu kegiatan Usaha Pertambangan dari pemegang IUP, IUPK, IPR atau SIPB yang telah memenuhi syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Sementara Pasal 164 mengatur soal sanksi tambahan bagi orang yang dimaksud dalam Pasal 162.
Selain itu, kontroversi UU ini muncul lantaran tidak melibatkan masyarakat yang tinggal di sekitar area tambang.
Padahal, kegiatan pertambangan berdampak langsung pada masyarakat sekitar.
"Kami belum mencatat ada satupun kelompok masyarakat yang harusnya digolongkan sebagai yang berkepentingan seperti masyarakat adat, warga lingkar tambang, perempuan misalnya, yang diajak bicara dalam proses undang-undang ini," kata Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Merah Johansyah.
2. RUU tentang Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Sistem Keuangan
DPR RI mengesahkan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 atau Perppu Corona menjadi Undang-Undang melalui rapat paripurna pada 12 Mei 2020.
Aturan itu merupakan fondasi bagi pemerintah untuk melakukan langkah luar biasa dalam menjamin kesehatan masyarakat di tengah pandemi Covid-19.
Namun, sejumlah pasal dalam aturan itu menuai kritik tajam dari masyarakat.
Pasal 27 dalam Perppu yang kerap disebut Perppu Corona atau Perppu Covid ini, dianggap memberikan kekebalan hukum pada pemerintah.
Bunyi pasal 27 ayat (2) yaitu: "Anggota KSSK, Sekretaris KSSK, anggota sekretariat KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat lainnya, yang berkaitan dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini, tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan".
Baca juga: Kaleidoskop 2020 : DPR Sahkan 13 RUU Jadi Undang-Undang, Diwarnai Mikrofon Mati Hingga Unjuk Rasa
Sejumlah pihak pun mengajukan gugatan uji materi atas UU Nomor 2 Tahun 2020 ini ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Selain materi pasal, UU ini juga dikritik karena hanya dibahas tiga hari selama 25-28 Agustus 2020 sebelum akhirnya disahkan oleh DPR dan pemerintah.
3. RUU tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
DPR RI mengesahkan RUU tentang Perubahan Ketiga atas UU nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi Undang-Undang, Selasa (1/9/2020).
Revisi UU MK itu menuai penolakan dari berbagai kelompok dan koalisi masyarakat sipil.
Mereka menganggap sejumlah pasal dalam aturan ini sarat barter kepentingan antara DPR dan MK.
Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari mengatakan pengesahan UU MK tersebut sangatlah sarat dengan benturan kepentingan.
"Bagi saya dalam batas penalaran yang wajar pengesahan UU MK sangat sarat dengan benturan kepentingan," ujar Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari, ketika dihubungi Tribunnews.com, Kamis (3/9/2020).
Ada sejumlah perubahan dalam aturan ini antara lain, kenaikan masa jabatan Ketua dan Wakil Ketua MK yang semula 2,5 tahun menjadi 5 tahun, syarat usia jabatan hakim konstitusi, masa jabatan hakim konstitusi yang dapat mengakhiri masa tugas sampai usia 70 tahun, hingga pengurangan susunan Majelis Kehormatan.
Selain itu, yang disorot dari revisi UU MK ini adalah waktu pembahasan yang dilakukan oleh DPR dan pemerintah hanya dalam 7 hari.
Sehingga mengandung sejumlah permasalahan konstitusional.
"Pemilihan pengujian undang-undang di MK menjadi opsi yang paling tepat mengingat tidak ada forum konstitusional lain yang diberikan oleh UUD 1945 untuk mengoreksi ketentuan UU tentang Mahkamah Konstitusi yang bermasalah," kata Koordinator Bidang Konstitusi dan Ketatanegaraan KoDe Inisiatif, Violla Reininda dalam keterangannya, Selasa (8/9/2020).
Baca juga: Wakil Ketua Komisi VIII DPR: Mahasiswa Tetap Harus Kritis Terhadap Kebijakan Pemerintah
Revisi UU MK dinilai tak hanya bermasalah dari sisi prosedural, tapi juga secara materi yang dinilai tidak substantif, tidak mendesak, dan sarat akan kepentingan politik.
Violla menilai pembentuk UU memiliki itikad buruk untuk membajak dan menjadikan MK sebagai kaki tangan penguasa di cabang kekuasaan kehakiman.
"Disahkannya UU Mahkamah Konstitusi memberikan implikasi deteriorasi moralitas berkonstitusi yang serius. Terlebih, revisi UU ini membahayakan bagi kemerdekaan MK ke depan, berpotensi menurunkan kredibilitas MK di mata publik, dan mereduksi fungsi checks and balances MK terhadap kekuasaan legislatif dan eksekutif," ujarnya.
Atas dasar itu, sejumlah lembaga masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Save Mahkamah Konstitusi akan mengajukan gugatan revisi Undang-Undang (UU) Mahkamah Konstitusi (MK) ke MK.
4. Rancangan Undang-Undang tentang Cipta Kerja (Omnibus Law)
RUU Omnibus Law Cipta Kerja ini merupakan yang paling fenomenal sepanjang 2020 lantaran mendapat penolakan keras mayoritas kalangan, terutama dari para buruh dan pekerja.
Di tengah pandemi yang sedang melanda Indonesia, DPR RI mengesahkan UU Cipta Kerja pada 5 Oktober 2020.
Kemudian Presiden Joko Widodo menandatanginya pada Senin (2/11/2020).
Kini, undang-undang tersebut tercatat sebagai UU Nomor 11 Tahun 2020.
UU Cipta Kerja terdiri atas 15 bab dan 186 pasal.
Di dalamnya mengatur mengenai ketenagakerjaan hingga lingkungan hidup.
Regulasi tersebut menuai kritik karena proses pembahasannya dinilai minim partisipasi publik dan terburu-buru.
Selain itu, secara materiil, UU ini dinilai hanya memihak para kapitalis dan dianggap tidak berpihak kepada pekerja dan lingkungan.
Misalnya, dalam Bab IV tentang Ketenagakerjaan dalam UU Cipta Kerja.
Dalam Pasal 59 UU Cipta Kerja menghapus aturan mengenai jangka waktu perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) atau pekerja kontrak.
Pasal 81 angka 15 UU Cipta Kerja mengubah ketentuan Pasal 59 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 59 ayat (4) UU Ketenagakerjaan mengatur, ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaan, jangka waktu, dan batas waktu perpanjangan perjanjian kerja waktu tertentu diatur dengan peraturan pemerintah.
Sementara UU Ketenagakerjaan mengatur PKWT dapat diadakan paling lama dua tahun dan hanya boleh diperpanjang satu kali untuk jangka waktu paling lama satu tahun.
Baca juga: Risma Kaget Dana Perbaikan DTKS Capai Rp 1,3 Triliun, Begini Kata Anggota DPR
Ketentuan baru ini berpotensi memberikan kekuasaan dan keleluasaan bagi pengusaha untuk mempertahankan status pekerja kontrak tanpa batas
Dalam Pasal 88 UU Cipta Kerja mengubah kebijakan terkait pengupahan pekerja.
Ketentuan ini diatur dalam Pasal 81 angka 24 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 88 UU Ketenagakerjaan.
Tujuh kebijakan itu, yakni upah minimum; struktur dan skala upah; upah kerja lembur; upah tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena alasan tertentu; bentuk dan cara pembayaran upah; hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah; dan upah sebagai dasar perhitungan atau pembayaran hak dan kewajiban lainnya.
Beberapa kebijakan terkait pengupahan yang dihilangkan melalui UU Cipta Kerja tersebut, antara lain upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya, upah untuk pembayaran pesangon, serta upah untuk perhitungan pajak penghasilan.
Selain itu, UU Cipta Kerja menghapus hak pekerja/buruh mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja ( PHK) jika merasa dirugikan oleh perusahaan.
Ketentuan ini diatur dalam Pasal 81 angka 58 UU Cipta Kerja yang menghapus Pasal 169 UU Ketenagakerjaan.
Banyaknya pasal kontroversi membuat Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dan buruh indonesia beserta 32 Federasi serikat buruh lainnya menyatakan Menolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja.
Mereka beberapa kali menggelar aksi Mogok Nasional menolak Omnibus Law Cipta Kerja.
Bahkan, KSPI menggugat UU itu ke Mahkamah Konstitusi (MK).