TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah diminta lebih banyak lagi berdiskusi dengan pakar hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) untuk menentukan hukuman yang tepat bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak.
Hal tersebut disampaikan Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Fatia Maulidiyanti, menyikapi hukuman kebiri kimia bagi predator seksual anak.
"Sudah seharusnya ada diskusi lebih luas dari pakar dan praktisi HAM, serta hukum agar bisa menilai hukuman yang tepat dan prinsip kehati-hatian dalam menjerat ke pelaku," ujar Fatia saat dihubungi, Senin (4/1/2021).
Baca juga: KPAI: PP Kebiri Kimia Alat untuk Tegakkan Hukum Bagi Pelanggar Hak Anak
Menurut Fatia, hukuman kebiri kimia sebenarnya sama kaidahnya dengan hukuman mati, yang sampai saat ini belum ada pembuktiannya dapat menimbulkan efek jera bagi pelanggar hukum.
"Memang banyak kejahatan pedofil, tapi jadi pertanyaan, apakah hukuman kebiri dapat reduksi prilaku itu. Dari catatan yang ada, sebenarnya tidak terbukti mengurangi kekerasan seksual terhadap anak," paparnya.
Fatia menyebut, pemerintah seharusnya lebih mengedepankan upaya preventif dan melakukan rehabilitasi bagi bagi pelaku yang mengalami penyimpangan seksual.
"Jadi semangatnya tidak melulu soal menghukum, tapi bagaimana negara bisa memberikan rehabilitasi, mencegah prilaku penyimpangan seperti ini," tuturnya.
Seperti diketahui, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 70 tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak.
Dikutip Tribunnews dari PP 70/2020 yang diunggah JDIH Sekretariat Negara, disebutkan bahwa pelaku tindak pidana persetubuhan terhadap anak dapat dihukum kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik, serta rehabilitasi.
"Tindakan Kebiri Kimia, tindakan pemasangan alat pendeteksi elektronik, dan rehabilitasi dikenakan terhadap Pelaku Persetubuhan berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap," bunyi pasal 2 ayat 1 PP tersebut dikutip Minggu, (3/1/2021).