TRIBUNNEWS.COM - Wakil Presiden (Wapres) Ma'ruf Amin disebut tidak akan disuntik vaksin Covid-19 Sinovac.
Juru Bicara Wapres, Masduki menjelaskan, Ma'ruf Amin tak masuk golongan penerima vaksin Covid-19 Sinovac karena usianya yang sudah lanjut.
”Enggak (divaksin bersama Presiden). Vaksin itu kan khusus umur 58 tahun ke bawah, khusus Sinovac."
"Abah (Ma'ruf) nunggu dulu vaksin berikutnya yang bisa dimungkinkan secara umur di atas 58 tahun. Jadi itu kan pemerintah sedang mengikhtiarkan yang insyaallah pada bulan April itu akan datang," kata Masduki, Selasa (5/1/2020).
Masduki menyebut Wapres Ma'ruf akan menerima vaksin yang sesuai dengan kriteria usia dan kondisi kesehatannya.
"Mungkin nanti di tahap berikutnya, kalau ada vaksin yang sesuai dengan kriteria kondisi Pak Wapres," sambung Masduki.
Baca juga: WHO Rekomendasikan Jeda Waktu Pemberian 2 Dosis Vaksin Pfizer-BioNTech Antara 21-28 Hari
Baidlowi membenarkan ketika ditanya vaksin yang akan diberikan ke Ma'ruf adalah Pfizer.
"Iya yang itu (Pfizer). Ya kan banyak merek lah yang dikirim, yang diikhtiarkan pemerintah Indonesia yang datang setelah Sinovac itu, dan itu setelah dilakukan uji klinis terhadap orang-orang di atas umurnya 58 ya bisa gitu," ujarnya.
Diketahui, Ma'ruf Amin lahir pada 11 Maret 1943.
Saat ini Ma'ruf Amin berusia 77 tahun.
Baca juga: Presiden Jokowi: Saya yang Pertama Disuntik Vaksin
Jokowi Tegaskan Jadi yang Pertama Disuntik Vaksin
Presiden Joko Widodo (Jokowi) menegaskan dirinya sebagai orang pertama yang akan disuntik vaksin Covid-19 Sinovac.
Hal itu diungkapkan Jokowi dalam sambutan pemberian bantuan modal kerja di halaman tengah Istana Merdeka, Rabu (6/1/2021).
"Insyaallah mulai minggu depan mulai disuntik vaksinnya, yang pertama disuntik nanti saya," ungkap Jokowi dikutip dari YouTube Sekretariat Presiden.
Jokowi menyebut hal ini dimaksudkan untuk menunjukkan keamanan vaksin.
"Sehingga yang lain menjadi yakin vaksinnya ini aman dan halal," kata Jokowi.
Baca juga: Jubir Wapres: Fatwa Halal MUI untuk Vaksin Sinovac Keluar Sebelum Vaksinasi 13 Januari 2021
Baca juga: Januari 2021: 5,8 Juta Vaksin Ditargetkan Masuk ke Daerah
Jokowi menyebut minimal 70 persen masyarakat Indonesia harus divaksin.
"Paling tidak minimal 70 persen harus divaksin, ketemunya 182 juta orang harus divaksin, bayangkan."
"Tapi memang virus ini harus ditangani dengan cara itu, semua negara sama," ungkap Jokowi.
Jokowi menyebut setiap orang akan disuntik vaksin sebanyak dua kali.
"Berarti butuh vaksin dikalikan dua, inilah keadaan yang harus saya sampaikan apa adanya."
"Pekerjaan yang tidak mudah, tapi saya meyakini Insyaallah kita bisa melakukan ini," ungkap Jokowi.
Jokowi juga mengajak agar masyarakat berdoa agar keadaan bisa kembali normal.
"Kita berdoa bersama agar semua segera bisa normal kembali, ekonomi normal, usaha bapak ibu normal, itu kehendak kita semua," ungkap Jokowi.
Baca juga: Presiden Jokowi: Vaksinasi akan Dimulai Minggu Depan
Baca juga: Pakar EpidemiologI Sebut Prinsip Dasar Vaksinasi adalah Sukarela
Dijadwalkan pada 13 Januari 2021
Sementara itu, Jokowi dijadwalkan akan disuntik vaksin Covid-19 pada 13 Januari 2021 mendatang.
Vaksin yang digunakan Jokowi merupakan vaksin Sinovac yang telah tiba di Indonesia pada 6 dan 31 Desember 2020 lalu.
"Iya, Sinovac," kata Kepala Sekretariat Presiden Heru Budi Hartono saat dihubungi Tribunnews.com, Selasa, (5/1/2021).
Hal yang sama diungkapkan Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian.
Menurutnya, penyuntikan perdana vaksin Covid-19 akan dilakukan kepada Jokowi bersama sejumlah pejabat kementerian atau lembaga yang berusia di bawah 60 tahun.
Hal itu lantaran vaksin yang digunakan adalah Sinovac yang diperuntukan bagi warga 18-59 tahun.
Baca juga: Ratusan Personel Polda Kalsel Termasuk Brimob Amankan Kedatangan Vaksin Covid-19 Tahap I
"Penyuntikan perdana tanggal 13 (Januari), hari Rabu depan, itu nanti di tingkat pusat oleh Bapak Presiden langsung yang pertama, beberapa menteri lain, pejabat tingkat pusat yang pimpinan Kementerian/Lembaga, usia di bawah 60 tahun, karena ini yang dari Sinovac, 18-59 tahun," kata Tito dalam rapat koordinasi persiapan vaksinasi Covid-19 dan Kesiapan Penegakan Protokol Kesehatan Tahun 2021 di Kantor Kemendagri.
Pemerintah memastikan, vaksinasi akan dilakukan setelah keluar izin penggunaan darurat atau Emergency use Authorization (EuA) dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Baca juga: Israel Izinkan Penggunaan Vaksin Covid Moderna, Pengiriman Pertama Diharapkan Bulan Ini
Seluruh vaksin yang beredar di Indonesia harus mengantongi izin tersebut dari BPOM, meskipun telah keluar izin yang sama dari negara produsen.
Untuk vaksin Sinovac, BPOM telah menerbitkan sertifikat Lot Release untuk 1,2 juta vaksin dari kedatangan pertama pada 6 Desember 2020, dan akan segera menerbitkan sertifikat lot release untuk 1,8 juta vaksin yang datang pada 31 Desember 2020.
"Pada proses penerimaan di bandara, Badan POM melakukan pengecekan kesesuaian dokumen, serta kesesuaian suhu tempat penyimpanan vaksin coronavac," ujar Juru Bicara Vaksinasi Covid-19, Lucia Rizka Andalusia, dalam konferensi virtual di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (3/1/2021).
Baca juga: Vaksin Mungkin Tidak Terlalu Efektif Lawan Varian Covid-19 dari Afrika Selatan
Sertifikat Lot Release ialah persyaratan penting yang harus dipenuhi dalam memastikan kualitas vaksin.
Persyaratan ini merupakan standar yang ditetapkan World Health Organization (WHO), yaitu berupa proses evaluasi yang dilakukan otoritas obat di setiap negara untuk menjamin mutu setiap lot atau setiap batch vaksin tersebut.
"Untuk penerbitan sertifikat ini, Badan POM melakukan pengujian di laboratorium Pusat Pengembangan Pengujian Obat dan Makanan Nasional," ujarnya.
Sementara untuk proses percepatan penerbitan EuA vaksin Covid-19, BPOM melakukan rolling submission dimana data yang dimiliki oleh industri farmasi dapat disampaikan secara bertahap.
Pihaknya juga telah melakukan evaluasi terhadap data uji praklinik, uji klinik fase 1 dan fase 2 untuk menilai keamanan dan respon imun dari penggunaan vaksin.
Serta hasil uji klinik fase 3 yang dipantau dalam periode 1 bulan setelah suntikan yang kedua.
"Tentunya, sesuai persyaratan dari WHO, minimal pengamatan harus dilakukan sampai 3 bulan untuk interim analisis. Yang akan digunakan untuk mendapatkan data keamanan dan khasiat vaksin sebagai data dukung pemberian EUA," katanya.
(Tribunnews.com/Gilang Putranto/Anita K Wardani/Taufik Ismail)