TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Lembaga Dakwah Islam Indonesia (Ketum DPP LDII), Chriswanto Santoso mengatakan toleransi dapat menghindarkan diktator mayoritas atau tirani minoritas.
Ia berujar bangsa Indonesia memiliki tantangan berat dalam menjaga keutuhan wilayahnya, bukan terbatas pada persoalan pertahanan dan keamanan.
Tapi juga menjaga persatuan dan kesatuan bangsa, di tengah keberagaman agama, budaya, dan ras, adalah tantangan bangsa Indonesia.
“Pada era modern terdapat beberapa contoh negara yang bubar karena tak bisa mempertahankan persatuan, kesatuan, dan keberagamannya, seperti Yugoslavia dan Uni Sovyet. Alhamdulillah, bangsa Indonesia memiliki Pancasila yang mampu menyatukan kebhinekaan bangsa Indonesia,” ujar Ketua Umum DPP LDII KH Chriswanto Santoso dalam keterangannya, Rabu (6/1/2021).
Baca juga: Romo Benny : Hadang Radikalisme dengan Aktualisasi Pancasila
Chriswanto berpendapat sejak berdirinya negara Indonesia, para proklamator menyadari potensi tersebut.
Hal itu terbukti, sejak zaman penjajahan Belanda, perbedaan tersebut dieksploitasi untuk menaklukkan nusantara.
"Sementara pada era Indonesia modern, tak bisa dipungkiri masih terdapat prilaku intoleransi antarpenganut agama,” lanjut Chriswanto.
Chriswanto mendukung moderasi beragama yang dikampanyekan Kementerian Agama sejak 2019.
“Bahkan jauh sebelumnya, sejak berdirinya Kementerian Agama pada 3 Januari 1946, toleransi menjadi perhatian Menteri Agama yang pertama H. Mohammad Rasjidi,” papar Chriswanto.
Baca juga: Komitmen Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas Melawan Segala Bentuk Intoleransi di Tanah Air
Toleransi penting dikembangkan agar tak ada mayoritas yang menjadi diktator dan minoritas yang menjadi tiran, pungkasnya.
Demokrasi sebagai pilihan bangsa Indonesia, saat mendirikan negara ini, menurut Chriswanto, agar semua pihak bisa terakomodir.
“Demokrasi yang disepakati para pendiri bangsa, agar rakyat dapat merasakan keadilan dan tak ada penindasan satu sama lain,” ujarnya.
Chriswanto mencatat, sejak Pemilu 2014 hingga 2019, bangsa Indonesia terpolarisasi.
Bahkan, residu dari pesta demokrasi masih terasa hingga kini.
Untuk itu, memasuki 2021, ia mengajak seluruh elemen masyarakat dan penyelenggara negara untuk meningkatkan moderasi beragama.
“Sikap moderat bukan berarti orang tersebut tidak kaffah dalam beragama, prilaku toleran adalah prilaku orang-orang saleh yang terdahulu. Justru karena ketakwaannya bisa memelihara kerukunan dalam bangsa yang majemuk,” paparnya.
Baca juga: Catatan untuk Gus Yaqut, Pembangunan Tempat Ibadah, Intoleransi, dan Lembaga Pendidikan di Kemenag
Chriswanto mengisahkan Sayidina Umar bin Khattab saat menaklukkan Yerusalem.
Saat itu Sang khalifah membiarkan para pemeluk Nasrani dan Yahudi tetap beribadah dan hak-haknya dijamin selama membayar pajak.
Namun, menurutnya sikap luar biasa Umar bin Khattab adalah saat Uskup Yerusalem Sophorinus, mempersilakannya salat di dalam Gereja Makam Kudus.
“Khalifah Umar menolak, dengan alasan bila ia salat di dalam gereja, dalam 100 tahun umat muslim bisa saja merobohkan gereja tersebut dan mengubahnya menjadi masjid,” imbuhnya.
Baca juga: Remaja Perempuan Penghina Pancasila di Karawang Ditangkap
Khalifah Umar kemudian salat Dzuhur beberapa ratus meter dari gereja itu, dan benar saja di atas lokasi itu, kini berdiri Masjid Umar bin Khattab.
Menurut Chriswanto, apa yang dilakukan Khalifah Umar bin Khattab adalah bentuk toleransi.
Sahabat Rasulullah itu tak ingin menzalimi umat Kristiani.
Baginya, Gereja Makam Kudus juga harus dilestarikan agar umat Kristiani bisa tetap beribadah.
Kisah keteladanan Khalifah Umar itu juga dikenang di dunia Barat, melalui buku Perang Suci: Dari Perang Salib hingga Perang Teluk (2003) karya Karen Armstrong.