News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Komnas Perempuan Kritik PP Kebiri Kimia

Penulis: Gita Irawan
Editor: Eko Sutriyanto
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ilustrasi kebiri kimia

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) memberikan catatan kritis terhadap Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 70 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi Dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual Terhadap Anak. 

Di antaranya Komnas Perempuan berpendapat pidana tambahan tersebut bermasalah karena mengurangi daya Negara dalam pemenuhan hak konstitusional meski dorongan untuk memberikan tambahan pidana berupa kebiri kimia didasarkan pada keprihatinan atas terus meningkatnya kekerasan seksual, khususnya perkosaan terhadap anak. 

Di saat bersamaan, Komnas Perempuan menilai pidana kebiri kimia mengalihkan perhatian dari persoalan laten dan kronis yang ada dalam upaya penghapusan kekerasan seksual, termasuk pada anak. 

"Pendapat ini telah disampaikan Komnas Perempuan sejak dikembangkannya ide mengenai tindak pidana tambahan tersebut di tahun 2015," dikutip dari Siaran Pers Komnas Perempuan yang diterima pada Jumat (8/1/2021).

Komnas Perempuan mencatat Kekerasan terhadap Anak Perempuan (KTAP) berbentuk kekerasan seksual terhadap anak perempuan mengalami lonjakan 65% yaitu 2.341 kasus pada 2019, meningkat dari tahun 2018 berjumlah 1.417 kasus. 

Baca juga: Wanita Tuna Wisma Ditemukan Tewas di Kolong Jembatan 2 Penjaringan, Polisi: Tak Ada Tanda Kekerasan

Meningkatnya kekerasan seksual terhadap anak perempuan menunjukkan bahwa perempuan sejak usia anak dalam situasi yang tidak aman dalam kehidupannya, bahkan oleh orang terdekat. 

Anak perempuan juga dinilai memiliki kerentanan berlapis karena ia berusia anak dan juga perempuan. 

Di dalam situasi penanganan kasus yang masih sangat terbatas, penambahan pidana kebiri kimia dinilai tidak akan secara substantif mengatasi persoalan akses keadilan yang dihadapi oleh korban.

Penambahan pidana kebiri kimia juga dinilai tidak didukung dengan data yang cukup komprehensif dalam hal efektivitas mencegah kekerasan seksual, termasuk untuk mengurangi residivisme atau berulang kembali tindak kekerasan seksual oleh pelaku yang sama. 

Menurut Komnas Perempuan setidaknya ada tiga alasan kebiri kimia sebagai hukuman menjadi tidak efektif. 

Pertama, kekerasan seksual terjadi bukan semata karena libido atau demi kepuasan seksual.

Mengontrol hormon seksual, menurut Komnas Perempuan, tidaklah menyelesaikan kekerasan seksual karena tidak akan mengoreksi relasi yang timpang antara laki-laki dan perempuan, termasuk relasi antara orang dewasa dan anak. 

Baca juga: Singgung Soal RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, Advokat Hukum: Sebenarnya Kita Darurat

Kedua, kekerasan seksual memiliki rupa yang tidak terbatas pada persetubuhan dan pencabulan yang melibatkan penggunaan alat genital laki-laki. 

Kebiri kimia, menurut Komnas Perempuan, hanya bersifat anti-libido, sementara penaklukan, kontrol, balas dendam dapat dilakukan dengan penetrasi non penis. 

Ketiga, masalah pencegahan kekerasan seksual terhadap anak memerlukan penanganan yang komprehensif, tidak sebatas aspek penghukuman, melainkan juga melibatkan pendidikan nilai-nilai kesetaraan dan keadilan gender serta kesehatan reproduksi, pelayanan sosial yang inklusif dan efektif termasuk untuk kelompok rentan.

Komnas Perempuan juga mengingatkan upaya penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia, termasuk hak asasi perempuan, tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai HAM dan kemanusiaan. 

Dalam penanganan kasus kekerasan seksual, pemidanaan terhadap pelaku yang memuat pembatasan atau pengurangan hak dinilai dapat dilakukan tetapi perlu dirumuskan dengan uji cermat tuntas terhadap terpenuhinya asas legalitas, kebutuhan, ketercukupan dan proporsionalitas. 

Di dalam Konstitusi, UUD NRI 1945, pembatasan hak tersebut diatur di dalam Pasal 28 J Ayat 2. 

Pembatasan tersebut juga dikenali dalam pelaksanaan Konvensi Hak-Hak Sipil dan Politik, yang telah diadopsi dalam hukum nasional melalui UU 
No. 12 tahun 2005.

Komnas Perempuan mencatat kajian di berbagai negara yang juga menerapkan hukuman maupun program pengobatan kebiri kimia menunjukkan bahwa jenis obat yang digunakan dalam proses kebiri kimia dapat menimbulkan efek samping tertentu.

Efek samping tersebut di antaranya depresi, otot melemah, osteoporosis dan gangguan metabolisme lemak yang merupakan faktor risiko penyakit jantung koroner. 

Dampak kebiri kimia dinili dapat bersifat permanen pada sejumlah orang meskipun sebagian besarnya bersifat temporer selama tindakan itu berlangsung. 

Efek samping tersebut dinilai mengurangi hak atas kesehatan secara langsung dan dapat memicu berkurangnya hak yang lain misalnya hak atas penghidupan akibat kondisi kesehatan yang terganggu. 

Komnas Perempuan juga menilai pidana kebiri kimia menjadi langkah mundur bagi Pemerintah Indonesia dalam menjalankan mandat konstitusional untuk pemenuhan HAM, terutama hak untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan yang merendahkan martabat kemanusiaan. 

Hal tersebut menurut Komnas Perempuan juga diatur dalam UU No. 5 tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia.

Selain itu juga diatur dalam UU No. 12 tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik, dan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. 

Karena dinilai berpotensi mendistraksi upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual, langkah kebijakan tersebut menurut Komnas Perempuan dapat mengurangi pemenuhan hak konstitusional atas perlindungan hukum dan rasa aman pada warga, khususnya perempuan dan anak, serta hak atas kehidupan yang bermartabat pada korban.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini