TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyita tas dan baju bermerek yang dibeli eks Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo saat berada di Hawaii, Amerika Serikat.
"Dilakukan penyitaan kepada yang bersangkutan terkait barang bukti, di antaranya berbagai tas dan baju dengan merek ternama yang pembeliannya dilakukan saat berada di Amerika," ujar Plt Juru Bicara Penindakan KPK Ali Fikri melalui keterangannya, Jumat (15/1/2021).
Ali mengujarkan bahwa barang-barang itu diduga dibeli Edhy menggunakan uang jatah pengumpulan fee dari eksportir benih lobster.
Edhy ditangkap KPK pada November 2020 lalu saat baru tiba dari perjalanan dinas di Hawaii, Amerika Serikat.
Baca juga: Kasus Suap Ekspor Benur Edhy Prabowo, KPK Panggil Dirjen Perikanan Budidaya KKP
Saat itu, KPK mengamankan sejumlah barang mewah antara lain tas Louis Vuitton, tas Hermes, jam Rolex, serta jam Jacob n Co.
Edhy dan istrinya, Iis Rosyita Dewi, diduga menghabiskan uang Rp750 juta untuk berbelanja di sela-sela perjalanan dinas tersebut.
Di samping itu, pada Kamis (14/1/2021), penyidik memeriksa seorang PNS bernama Edwar Heppy sebagai saksi kasus dugaan suap terkait izin ekspor benih lobster yang menjerat Edhy.
"Dikonfirmasi mengenai pengetahuannya terkait proses perizinan usaha tambak di wilayah Kabupaten Kaur, Bengkulu," kata Ali.
Dalam perkara ini KPK menetapkan total tujuh orang sebagai tersangka.
Enam orang sebagai penerima suap yakni eks Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo; stafsus Menteri KP, Safri dan Andreau Pribadi Misanta; sekretaris pribadi Edhy Prabowo, Amiril Mukminin; Pengurus PT Aero Citra Kargo (ACK), Siswadi; dan staf istri Menteri KP, Ainul Faqih.
Mereka disangkakan melanggar Pasal 12 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Sedangkan pihak pemberi suap adalah Direktur PT Dua Putra Perkasa (DPP) Suharjito.
Ia disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Dalam kasusnya, Edhy Prabowo diduga melalui staf khususnya mengarahkan para calon eksportir untuk menggunakan PT ACK bila ingin melakukan ekspor. Salah satunya adalah perusahaan yang dipimpin Suharjito.
Perusahaan PT ACK itu diduga merupakan satu-satunya forwarder ekspor benih lobster yang sudah disepakati dan dapat restu dari Edhy.
PT ACK diduga memonopoli bisnis kargo ekspor benur atas restu Edhy Prabowo dengan tarif Rp1.800 per ekor.
Dalam menjalankan monopoli bisnis kargo tersebut, PT ACK menggunakan PT Perishable Logistics Indonesia (PLI) sebagai operator lapangan pengiriman benur ke luar negeri.
Para calon eksportir kemudian diduga menyetor sejumlah uang ke rekening perusahaan itu agar bisa ekspor.
Uang yang terkumpul diduga digunakan untuk kepentingan Edhy Prabowo dan istrinya, Iis Rosyati Dewi untuk belanja barang mewah di Honolulu, Hawaii, Amerika Serikat pada 21-23 November 2020.
Sekitar Rp750 juta digunakan untuk membeli jam tangan Rolex, tas Tumi dan Louis Vuitton, serta baju Old Navy.
Edhy diduga menerima uang Rp3,4 miliar melalui kartu ATM yang dipegang staf istrinya.
Selain itu, ia juga diduga pernah menerima 100 ribu dolar AS yang diduga terkait suap.
Adapun total uang dalam rekening penampung suap Edhy Prabowo mencapai Rp9,8 miliar.