Laporan Wartawan Tribunnews.com, Reza Deni
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta berharap kepada Komjen Listyo Sigit Prabowo sebagai Kapolri yang baru untuk melaksanakan reformasi kepolisian secara maksimal.
LBH menitikberatkan catatannya soal isu pelanggaran HAM dan keterlibatan Polri dalam politik kekuasaan.
"Hal tersebut terkait erat dengan kegagalan reformasi di tubuh kepolisian," kata Direktur LBH Jakarta Arif Maulana dalam siaran persnya, Rabu (20/1/2021).
Baca juga: Selangkah Lagi Listyo Sigit Prabowo Resmi Jadi Kapolri, Gerindra Sebut Tak Ada Alasan Menolak
Baca juga: Bagaimana Nasib Listyo Sigit Prabowo Usai Fit and Proper Test di DPR? Gerindra Beri Isyarat
Terhitung ada 12 catatan kritis LBH yang disampaikan menyambut Kapolri baru. Berikut daftarnya:
1. Praktik Penyiksaan (Torture)
Sepanjang 2013-2016, LBH Jakarta menerima pengaduan terkait dengan praktik penyiksaan yang dilakukan oleh kepolisian dengan jumlah korban sebanyak 37 orang.
Kemudian pada saat melakukan Survei Anak Berhadapan dengan Hukum (“ABH”) di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) di Wilayah Jakarta 2018-2019, LBH Jakarta menemukan 20 orang anak yang menjadi korban penyiksaan pada saat proses penyidikan di tingkat kepolisian.
2. Pembunuhan di Luar Proses Hukum (Extra Judicial Killing)
Pada 2011, kepolisan menembak mati 1 orang (YBD) dengan dalih melawan petugas.
Pada 2018 LBH Jakarta menerima pengaduan dan melakukan investigasi dan mendapati 15 orang yang diduga sebagai penjahat jalan ditembak mati oleh Anggota Polisi dengan dalih pengamanan Asian Games 2018 Jakarta-Palembang.
Menutup Tahun 2020, polisi diduga telah melakukan pembunuhan di luar hukum terhadap 6 anggota laskar FPI yang terjadi di Kilometer 50 Tol Jakarta-Cikampek.
3. Kekerasan dan Brutalitas dalam Pengamanan Aksi Demonstrasi Penyampaian Pendapat di Muka Umum
Sepanjang 2019, terdapat beberapa aksi demonstrasi yang dilakukan oleh warga dan mahasiswa. Semuanya berujung pada pembubaran dan yang dilakukan dengan cara kekerasan dan brutal oleh kepolisian, di antaranya kerusuhan 21-22 Mei yang mengakibatkan 4 orang tewas karena peluru tajam dan 1 orang tewas karena hantaman benda tumpul.
Kemudian, tercatat juga demonstrasi menolak Revisi KUHP dan Revisi UU KPK di Jakarta (#ReformasiDikorupsi), polisi melakukan kekerasan setidaknya kepada 88 orang dan dilarikan ke Rumah Sakit Pusat Pertamina dan 2 orang menderita luka pada bagian kepala.
4. Kriminalisasi Aktivis
Kepolisian tampak terseret arus politik kekuasaan. Ketika Polri menunjukkan praktik penegakan hukum yang sulit dibedakan dari bentuk praktik aparat represif kekuasaan terhadap masyarakat atau oposisi yang mengkritik dan memiliki pandangan yang berbeda dengan pemerintah.
Hal ini menjadikan polisi sebagai alat kekuasaan bukan alat negara untuk penegakan hukum yang adil dan imparsial. Polri diduga terlibat dalam banyak upaya pembungkaman dan kriminalisasi aktivis melalui berbagai penerapan pasal karet seperti Pasal Makar, UU ITE , dan lain sebagainya.\
5. Menerbitkan Maklumat dan Instruksi yang Membatasi dan Mengurangi HAM
Sepanjang 2020, Polri telah menerbitkan beberapa Maklumat yang melanggar karena membatasi Hak Asasi Manusia, di antaranya yakni Maklumat Kapolri Nomor : 2/III/2020 tentang Kepatuhan terhadap Kebijakan Pemerintah dalam Penanganan Penyebaran virus Corona (Covid-19).
Kemudian, Kapolri juga menerbitkan Maklumat Nomor Mak/1/I/2020 itu terbit pada 1 Januari 2021 Tentang Kepatuhan terhadap Larangan Kegiatan, Penggunaan Simbol dan Atribut Serta Penghentian Kegiatan FPI yang pada intinya berisi tentang larangan bagi setiap warga negara untuk “tidak mengakses, mengunggah dan menyebarluaskan konten terkait FPI baik melalui website maupun melalui media sosial.
6. Korupsi
Pada November 2020, LBH mengatakan publik kembali dikejutkan oleh keterlibatan 2 Perwira Tinggi Polisi yang terlibat kasus suap penghapusan red notice Joko Tjandra, yakni Brigadir Jenderal Prasetijo Utomo dan Inspektur Jenderal Napoleon Bonaparte.
7. Dwifungsi Polisi
Praktik dwifungsi ABRI yang terjadi di masa orde baru dituntut dihapuskan di era reformasi untuk mewujudkan aparat keamanan yang professional dan demokratis.
Namun saat ini, praktik tersebut kembali muncul, seperti menjadi Ketua KPK, Kepala BIN, Direktur Utama BULOG, Kepala BNN, Kepala BNPT, LPSK, Kepala-kepala inspektorat dan direktorat di berbagai kementerian, Lemhanas, menjadi Ketua Umum PSSI hingga menjadi Menteri Dalam Negeri (Mendagri) dan masih banyak lainnya.
Ombusdman juga menemukan 13 orang polisi menjadi komisaris BUMN dan 7% dari 167 Komisaris di anak perusahaan BUMN. Kondisi ini tentu saja tidak tepat mengingat salah satu tujuan penghapusan dwifungsi adalah untuk memperkuat pemerintahan yang bersih (good governance) yang bebas dari conflict kepentingan (conflict of interest).
8. Lemahnya Kontrol Terhadap Pertanggungjawaban Etik dan Hukum Aparat Kepolisian
Pasca reformasi, kepolisian menjadi lembaga yang superpower. Sampai saat ini tidak ada lembaga yang dapat secara efektif mengawasi dan menuntut pertanggungjawaban kepolisan dalam menjalankan tugasnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Propam sebagai pengawas internal di kepolisian sendiri tampak tidak berfungsi efektif.
Sebagai contoh, dalam hasil penyelidikan Komnas HAM, ditemukan adanya abuse of proses yang dilakukan oleh penyidik dalam menangani kasus Novel Baswedan.
9. Penundaan Proses (Undue Delay)
Kasus penundaan proses hukum terjadi dalam berbagai kasus yang ditangani oleh LBH Jakarta, diantaranya adalah terkait kasus pinjaman online.
Pada 2018, LBH Jakarta menerima pengaduan dari korban pinjaman online sebanyak 3 ribu orang. Hampir semua korban mengalami pelanggaran hak karena laporan korban ke pihak kepolisian terkait dengan dugaan tindak pidana yang dilakukan oleh pinjaman online tidak ditindak lanjuti oleh kepolisian.
10. Polisi Menjadi Aktor Lapangan Pelanggaran Hak Kemerdekaan Berpendapat, Berserikat, Berkumpul, dan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum
Sepanjang 2019-2020, berdasarkan pemantauan dan pengaduan yang masuk ke LBH Jakarta, polisi menjadi aktor lapangan yang melakukan Pelanggaran Hak Kemerdekaan Berpendapat, Berserikat, Berkumpul dan Menyampaikan Pendapat dimuka umum, dalam beberapa aksi demonstrasi besar di Jakarta.
Setidaknya pada aksi #ReformasiDikorupsi dan Menolak Omnibus Law, LBH Jakarta menemukan beberapa tindakan polisi yang melanggar dengan korban antara lain pelajar, mahasiswa, anak, perempuan, buruh, petani, jurnalis.
11. Upaya Paksa Penangkapan Sewenang-wenang dan Penghalangan Akses Bantuan Hukum
Sepanjang 2019-2020 untuk wilayah Jabodetabek, Polri sudah menangkap ribuan orang yang terlibat dalam aksi demonstrasi.
Pada aksi #ReformasiDikorupsi dan Menolak Omnibus Law, hampir semua korban penangkapan ditangkap sebelum mengikuti aksi, polisi menangkap secara sporadis terhadap orang yang dicurigai, bahkan banyak warga yang tidak tahu mengenai aksi juga tidak luput dari tindakan penangkapan sewenang-wenang polisi.
Berdasarkan temuan LBH Jakarta yang mendampingi korban penangkapan pada saat demonstrasi, hampir kesemuanya mengalami pelanggaran hak-haknya sebagai orang yang berhadapan dengan proses hukum.
Acapkali, kepolisian menggunakan dalih pengamanan yang tidak berdasar untuk menghindarkan diri dari tanggungjawab pelaksanaan upaya paksa yang sah sebagaimana ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
12. Pembentukan Sub Direktorat Tindak Pidana Khusus Ketenagakerjaan Kepolisian RI Tanpa Dasar Hukum yang Memadai
Berdasarkan temuan tim peneliti LBH Jakarta, pada tahun 2017-2018, terdapat 1.704 korban pelanggaran pidana perburuhan di wilayah Jabotabek dan Karawang.
Kasus pidana ketenagakerjaan tersebut hanya segelintir saja pengusaha pelaku pelanggaran yang berhasil dimajukan ke meja hijau.
Pada tahun 2019, Polda Metro Jaya meresmikan “desk tenaga kerja”, untuk menampung pengaduan kasus pidana ketenagakerjaan.
Namun, desk itu menurut LBH hanya berfungsi sebagai meja konseling untuk itu perlu dibentuk subdit khusus yang memiliki aparat penyidik khusus pidana ketenagakerjaan tersendiri untuk menindak kasus pidana ketenagakerjaan.
Kapolri ke depan harus mengevaluasi Sub Direktorat Tindak Pidana Ketenagakerjaan yang ada. Caranya antara lain dengan membentuk dasar hukum yang memadai setingkat Peraturan Kapolri untuk memperkuat penegakan hukum tindak pidana ketenagakerjaan yang marak terjadi diberbagai wilayah di Indonesia.