Laporan Wartawan Tribunnews.com, Fransiskus Adhiyuda
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang No. 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara.
Peraturan Pemerintah ini menjadi bentuk perluasan peran masyarakat dalam upaya pertahanan negara.
Peran masyarakat dalam upaya pertahanan negara pada dasarnya sesuai dengan Pasal 30 ayat (1) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara.
Namun demikian, perlu ditekankan bahwa tafsir atas upaya mempertahankan negara jangan ditafsirkan sempit hanya sebatas pada bentuk-bentuk militeristik.
"Setiap warga negara memiliki cara tersendiri sesuai profesi masing-masing, terlebih ancaman terhadap pertahanan negara tidak lagi sebatas bentuk-bentuk ancaman konvensional," kata Peneliti HAM dan Sektor Keamanan SETARA Institute Ikhsan Yosarie dalam keterangan tertulis, Jumat (22/1/2021).
Baca juga: Kepala BKN Sebut PPPK Setara PNS, Bukan Tenaga Honorer
"Sehingga pengabdian sesuai profesi menjadi bentuk mempertahankan negara yang relevan dalam menghadapi ancaman yang kian berkembang," tambahnya.
Ikhsan menambahkan, jika diingat kembali, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara (UU PSDN) sebagai landasan PP ini tidak lepas dari sorotan publik.
Pengaturan didalamnya kental unsur militeristiknya.
Hal tersebut tentu berimbas kepada PP ini, sehingga tidak heran mendapat sorotan publik.
"Pada dasarnya, pro-kontra mengenai pengaturan dalam UU PSDN belum selesai.
Tetapi ternyata pemerintah bergerak cepat dalam menyusun aturan turunan atas UU tersebut," ucapnya.
Lebih lanjut, ia mengatakan bahkan seiring terbitnya PP ini, diskursus UU PSDN seakan tenggelam.
Baca juga: Pemerintah Diminta Terbuka Laporkan Perkembangan Vaksinasi Covid-19
Dalam hal ini, SETARA Institute perlu untuk mengembalikan ingatan publik terkait sorotan atas UU PSDN sebagai kompleksitas sorotan atas PP ini, diantaranya:
1. Kecenderungan pengaturan dalam UU PSDN yang mengarah kepada pelatihan dan segi ancaman yang konvensional. Padahal dalam UU tersebut disebutkan bentuk ancaman-ancaman yang kian modern, seperti ancaman biologi, virus, dan bentuk hibrida lainnya (Pasal 4 ayat (3)). Melalui bentuk ancaman demikian, seharusnya pengabdian sesuai dengan profesi menjadi keutamaan;
2. Dalam UU tersebut tidak terdapat pengaturan atas hak warga negara untuk menolak mengikuti Komcad, diantaranya berdasarkan keyakinan (conscientious objection), karena potensi terdapatnya warga negara yang menolak mengikuti wajib militer karena hati nurani dan keyakinannya melarang untuk terlibat dalam setiap setiap bentuk kekerasan dan penggunaan senjata serta pembunuhan; dan
3. Pasal 46 mengatur bahwa bagi Komponen Cadangan selama masa aktif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) diberlakukan hukum militer. Pasal ini secara eksplisit mengamanatkan agar sipil tunduk kepada hukum militer. Padahal Pasal 9 UU No. 31 Tahun 1997 Tentang Peradilan Militer mengatur lingkup wewenang Peradilan Militer dimana Komcad tidak termasuk. Pasal 65 ayat (2) UU No. 34 Tahun 2004 Tentang TNI pun secara eksplisit juga telah menyebutkan bahwa yang tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer adalah prajurit. Disisi lain, revisi UU Peradilan Militer agar militer tunduk kepada hukum sipil ketika melakukan tindak pidana diranah sipil masih menemui jalan buntu.
Sorotan atas UU PSDN ini tentu menjadi landasan fundamen untuk menyoroti PP turunannya tersebut. Kemudian secara spesifik, SETARA memiliki beberapa catatan atas PP Pelaksanaan UU PSDN ini, yakni:
1. Disebutkan pada Pasal 8 ayat (1) sampai (3), Pendidikan Dasar Bela Negara yang berbasis pendidikan massif dilaksanakan, baik secara langsung (seminar, lokakarya, penyuluhan dll) maupun tidak langsung (media cetak, media sosial, dll). Dalam hal ini, memang terdapat aroma positif lantaran unsur militeristiknya tidak ada. Tapi perlu diperhatikan juga, apakah bela negara yang dimaksud berbasis doktrin militeristik? Ini perlu dilihat lebih jauh. Dan yang tidak kalah penting, jangan sampai tafsir atas bela negara atau bahkan implementasi Pancasila dimonopoli oleh negara atau kelompok tertentu. Jangan sampai terjadi dikotomi horizontal siapa yang lebih Pancasilais yang akan membuat terjadinya disintegrasi bangsa. Setiap warga negara punya cara yang berbeda dalam hal implementasi nilai-nilai Pancasila dan Bela Negara tersebut;
2. Penetapan Sumber Daya Alam, Sumber Daya Buatan, serta Sarana dan Prasarana Nasional menjadi Komponen Pendukung (Pasal 40), memang disebutkan tidak menghilangkan hak kepemilikan, hak pengelola, dan hak kebendaan atas Sumber Daya tersebut. Pada bagian ini tentu perlu diapresiasi. Akan tetapi, bagaimana konpensasi ganti rugi atau pemulihan atas penggunaan sumber-sumber tersebut? Bagian ini justru luput dari pengaturan;
3. Pada pengaturan terkait Komcad, sama seperti di UU PSDN, lagi-lagi tidak terdapat pengaturan hak warga negara untuk untuk menolak mengikuti Komcad, diantaranya berdasarkan keyakinan (conscientious objection). Penegasan keikutsertaan sebagai Komcad merupakan hak (yang artinya bisa iya atau tidak) juga tidak disebutkan. Bahkan alasan pemberhentian pun sangat berat, seperti kehilangan kewarganegaraan (Pasal 71). Meskipun tidak disebutkan dalam PP, sebagai turunan UU PSDN tentu ketentuan Komcad tunduk pada hukum militer selama masa aktif juga berlaku disini.
4. Pemberian kepangkatan kepada Komcad jelas memperlihatkan militerisasi sipil lantaran mengadaptasikan garis komando militer kedalamnya. Ini bukan lagi sekedar infiltrasi kultur, tetapi sudah adaptasi. Terlebih keperluan atas pemberian pangkat ini juga tidak dijelaskan secara mendalam terkait fungsi dan urgensinya. Pemberian kepangkatan ini justru semakin melegitimasi militerisasi sipil. Meskipun memang sedari awal keberadaan pelatihan dasar kemiliteran terhadap Komcad yang notabene berasal dari sipil sudah memperlihatkan arah militerisasi sipil.