TRIBUNNEWS.COM - Isu terkait Pasukan Pengamanan Masyarakat Swakarsa ( Pam Swakarsa) hangat diperbincangkan, setelah Kapolri Komjen Listyo Sigit Prabowo melontarkannya dalam rapat uji kelayakan dan kepatutan di Komisi III DPR RI, Rabu (20/1/2021).
Sebelumnya, Listyo Sigit Prabowo mengatakan akan kembali menghidupkan Pam Swakarsa untuk mewujudkan pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat.
"Ke depan, tentunya Pam Swakarsa harus lebih diperanaktifkan dalam mewujudkan harkamtibmas, jadi kita hidupkan kembali," kata Sigit saat mengikuti uji kepatutan dan kelayakan, di Komisi III DPR, Rabu (20/1/2021).
Ia menyebut Pam Swakarsa akan diintegrasikan dengan perkembangan teknologi informasi dan fasilitas-fasilitas yang ada di Polri.
Namun seiring Pam Swakarsa yang digaungkan tersebut, muncul pihak-pihak yang menyampaikan kritiknya bahkan tegas menolak.
Baca juga: Polri Bakal Buat Teknologi Panic Button Terkait Program PAM Swakarsa Gagasan Listyo Sigit
Hal tersebut terjadi dengan merunut sejarah ke belakang, di mana Pam Swakarsa lekat dengan peristiwa kekerasan pada era Reformasi di masa lalu.
Lantas siapa saja yang mengkritik dan menolak Pam Swakarsa rencana Kapolri Listyo Sigit?
1. Anggota DPR Masinton Pasaribu
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Masinton Pasaribu tampak melontarkan kritiknya terhadap Pam Swakarsa.
"Kalau konsep Pam Swakarsa sama seperti tahun 1998, ada baiknya ide dan rencana tersebut dihentikan," ujarnya dikutip dari Kompas.com.
Adanya hal tersebut, Masinton mengatakan Kapolri harus mampu menjelaskan secara detail soal rencana pengaktifan Pam Swakarsa.
"Masyarakat berhak tahu," kata Masinton.
Baca juga: Kapolri Listyo Sigit Diminta Jelaskan Konsep PAM Swakarsa kepada Masyarakat
Penjelasan detail terkait sumber rekrutmen, pengelolaan, dan penggunaan Pam Swakarsa.
Menurutnya Pam Swakarsa yang dibentuk tahun 1998 tak ubahnya konsep divide et impera, mengadu domba antarmasyarakat.
"Serta pelegalan kekerasan di tengah masyarakat," kata Masinton.
Dirinya yang notabene mantan aktivis 1998, mengatakan sejarah ke belakang terkait Pam Swakarsa.
Masinton menceritakan gerakan Pam Swakarsa saat gerakan mahasiswa yang memperjuangan reformasi dan demokrasi pada 1998.
Ketika itu, kata Masinton, anggota Pam Swakarsa membawa senjata tajam.
"Contoh yang kami alami di tahun 1998, adanya mobilisasi Pam Swakarsa untuk menduduki area di Tugu Proklamasi yang akan kami gunakan untuk mimbar demokrasi. Kelompok Pam Swakarsa datang membawa senjata tajam seperti pedang dan bambu," tuturnya.
2. Wakil Ketua Komisi III DPR RI Pangeran Khairul Saleh
Wakil Ketua Komisi III DPR RI Pangeran Khairul Saleh juga turut serta melontarkan kritiknya terhadap rencana penghidupan kembali Pam Swakarsa.
Dikutip dari Kompas TV, pihaknya menyebut jangan sampai Pam Swakarsa ini menjadi alat kekuasaan.
Merunut sejarah ke belakang, Pam Swakarsa di era tahun 1998-1999 memiliki catatan sejarah yang kurang baik.
Sebab, kerap terjadi benturan antara masyarakat sipil dan Pam Swakarsa.
Berbenturan dengan kepentingan masyarakat umum inilah yang menurut Pangeran harus dihindari.
"Yang justru akan menurunkan nilai demokrasi dan trust masyarakat terhadap pemerintah," kata Pangeran melalui keterangan resminya pada Rabu (27/1/2021).
Baca juga: Akhmad Hadian Lukita Harapkan Listyo Sigit Prabowo Bekerja Sesuai Harapan
Pangeran mengatakan, dalam Peraturan Polri tersebut Pam Swakarsa sangat berbeda dengan Pam Swakarsa yang pernah diterapkan pada 1998.
Sebagaimana tertuang dalam Peraturan Polri Nomor 4 Tahun 2020 tentang Pam Swakarsa.
Lebih lanjut, Pangeran mengatakan, apabila program Pam Swakarsa tetap dilaksanakan, sebaiknya pembinaan dan pengawasannya dilakukan dengan baik dan ketat.
Selain itu, kepolisian harus melakukan sosialisasi kepada masyarakat terkait peran aktif Pam Swakarsa ke depan.
3. Kontras
Koordinator Kontras, Fatia Maulidiyanti mengaku khawatir, rencana pengaktifan Pam Swakarsa ini dapat menciptakan konflik horizontal di tengah masyarakat.
Sebab, Fatia menyebut pengaktifan Pam Swakarsa akan memberikan ruang bagi kelompok tertentu melakukan kekerasan atas nama menjaga ketertiban umum.
Diberitakan Tribunnews.com sebelumnya, hal itu, kata Fatia, semakin diperparah dengan tidak adanya sistem pengawasan dan evaluasi Pam Swakarsa itu sendiri.
"Yang ditakutkan ke depan, Pam Swakarsa membuat rasa takut yang lebih luas lagi kepada masyarakat, menimbulkan konflik horizontal," Fatia kepada Kompas.com, Jumat (22/1/2021).
Baca juga: Pimpinan Komisi III DPR Ingatkan Listyo Soal Pam Swakarsa Jangan Jadi Alat Kekuasaan
Selain itu, kata dia, rencana ini juga menandakan negara belum bisa lepas dari bayang-bayang otoritarianisme.
Pasalnya, 'iklim kekerasan' yang masif sempat terjadi di era Orde Baru.
"Budaya kekerasan dan penanganan terhadap ketertiban masyarakat selalu didekatkan dengan semangat menghukum," tegas dia.
Rencana ini juga menjadi pertanda negara tidak mempunyai semangat untuk memajukan nilai-nilai demokrasi dan Hak Asasi Manusia (HAM) yang telah diamanatkan reformasi.
"Ini hanyalah sebuah terobosan yang justru mengembalikkan Indonesia ke semangat otoritarianisme dan mengkhianati nilai reformasi," jelas Fatia.
4. MUI
Penolakan terhadap Pam Swakarsa juga dilontarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Hal ini memperkuat bahwa penolakan ataupun kritikan tak hanya berasal dari kalangan pro demokrasi dan pegiat HAM.
Baca juga: Polri Tegaskan Wacana Pam Swakarsa Bentukan Komjen Listyo Berbeda dengan 1998
Dikutip dari Kompas.com, menurut MUI Pam Swakarsa rentan memicu premanisme.
MUI khawatir, Pam Swakarsa akan menjadi wadah bagi para preman untuk melakukan aksi-aksi kekerasan. Namun rencana Polri ini didukung Kantor Staf Kepresidenan (KSP).
Mereka menyanggah jika Pam Swakarsa yang digagas Polri akan sama seperti era Orde Baru.
Mereka menyatakan, apa yang dilakukan Polri tersebut hanya mengejawantahkan UU Polri.
5. YLBHI
Ketua YLBHI Asfinawati menilai, wacana soal Pam Swakarsa dikhawatirkan bisa "mempersenjatai sipil".
Terlebih, kekhawatiran semakin muncul setelah melihat wacana Pam Swakarsa disebut akan terintegrasi dengan perkembangan teknologi informasi dan berbagai fasilitas Polri.
"Jika kedua ini terjadi, artinya 'mempersenjatai sipil'. Jadi abuse of power ini," kata Asfinawati saat dihubungi Kompas.com, Jumat (22/1/2021).
Menurutnya, dengan adanya aturan tersebut, masyarakat sipil yang tergabung dalam Pam Swakarsa dimungkinkan mendapatkan fasilitas Polri.
Baca juga: Polri Bakal Buat Teknologi Panic Button Terkait Program PAM Swakarsa Gagasan Listyo Sigit
Asfinawati khawatir, salah satu fasilitas teknologi Polri seperti penyadapan dan lain-lain mampu diakses masyarakat sipil yang tergabung dalam Pam Swakarsa.
"Integrasi dengan teknologi dan fasilitas-fasilitas. Pertanyaannya ini apa maksudnya? Apakah mereka dibuat database? Atau bisa mengakses fasilitas teknologi Polri seperti penyadapan dan lainnya," jelas dia.
(Tribunnews.com/Garudea Prabawati/Inza Maliana) (Kompas.com/Tsarina Maharani)