TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Provinsi Kalimantan Tengah Ben Brahim-Ujang Iskandar meminta Mahkamah Konstitusi mengesampingkan penerapan ambang batas sesuai Peraturan MK No. 6 tahun 2020 karena ditemukannya kecurangan bersifat fundamental.
Pernyataan ini disampaikan Ramdansyah selaku kuasa hukum calon gubernur nomor urut 01 ini menanggapi jawaban KPU Provinsi Kalteng dan pihak terkait pada sidang di Mahkamah Konstitusi.
“Kami meminta MK mengesampingkan penerapan ambang batas karena ada dugaan kecurangan yang terjadi dan sifatnya fundamental,” ujar Ramdansyah di sela-sela persidangan sengketa gugatan pilkada di Mahkamah Konstitusi, Rabu, (3/02/2021).
Sebelumnya, KPU Kalteng mengatakan Ben Brahim-Ujang Iskandar tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan gugatan sengketa pilkada.
Baca juga: Sengketa Pilgub Kalteng, BW Duga KPUD Lakukan Pembiaran Pelanggaran Gubernur Petahana
“Selisih perolehan suara pemohon dan pihak terkait tidak memenuhi syarat ambang batas 1, 5 persen sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal 158 ayat 1 UU Pilkada. Karena itu permohonan harus dinyatakan tidak dapat diterima,” ujar Ali Nurdin, kuasa hukum KPU Kalteng pada sidang di Mahkamah Konstitusi.
Ramdansyah menyebutkan tiga contoh putusan MK yang mengabaikan selisih ambang batas.
Pertama, Putusan MK Nomor 42/PHP.BUP-XV/2017 mengenai Perselisihan Hasil Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Puncak Jaya Tahun 2017. MK tidak menggunakan penerapan ambang batas dan memerintahkan dilakukannya pemungutan suara ulang dalam Pilkada Kabupaten Puncak Jaya Tahun 2017.
Kedua, Putusan MK Nomor 52/PHP.BUP-XV/2017 mengenai Perselisihan Hasil Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Kepulauan Yapen Tahun 2017. MK menilai belum terdapat rekapitulasi perolehan suara dari masing-masing pasangan calon, sehingga tidak dapat digunakan ketentuan ambang batas dalam perkara ini.
Ketiga, Putusan MK Nomor 51/PHP.BUP-XV/2018 mengenai Perselisihan Hasil Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Mimika Tahun 2018. Dalam Pilkada serentak 2018 di Kabupaten Mimika.
MK menunda keberlakuan ambang batas untuk memeriksa terlebih dahulu permasalahan krusial yang didalilkan oleh para Pemohon terkait ketiadaan dan keabsahan Surat Keputusan mengenai pengangkatan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) di 8 (delapan) distrik.
Baca juga: Ben Brahim - Ujang Iskandar Gugat Hasil Pilkada Kalteng ke MK
“Dalam gugatan Ben- Ujang, KPU dan Bawaslu diduga tidak netral dalam penyelenggaraan Pilkada Kalimantan Tengah 2020. Kami menyakini MK akan meneruskan sidang gugatan kami,” ujarnya.
Ramdansyah menyebutkan beberapa indikasi ketidaknetralan termohon seperti penggunaan Slogan “Kalteng Batuah” yang sengaja dan sadar digunakan oleh KPU Provinsi Kalimantan Tengah.
Slogan dimaksud ternyata sangat mirip dengan slogan Paslon nomor urut 02. Hal ini tampak di salah satu alat peraga (masker) yang digunakan KPU.
Citra diri antara KPU Provinsi Kalimantan Tengah dan Pasangan Calon Sugianto Sabran-Edi Pratowo menunjukan ketidaknetralannya. Kecurangan yang bersifat fundamental lainnya yakni adanya pembiaran oleh KPU dan Bawaslu Kalteng atas penggantian pejabat enam bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan akhir masa jabatan.
Ramdansyah mencontohkan mutasi tanggal 12 Maret 2020 dimana dipindahkannya Edwin Adipratama dari Dinas Perdagangan dan Perindustrian Provinsi Kalteng dan menjabat JFT Pengelolaan dan Pengadaan Barang dan Jasa Pertama. Kemudian tanggal 11 September 2020 pengangkatan Leonard. S. Ampung sebagai Pj. Sekda Kabupaten Barito Timur.
Berikutnya tanggal 18 September 2020 terjadi mutasi pengukuhan dan pengambilan sumpah janji terhadap pejabat pimpinan tinggi pratama, pejabat administrator dan pejabat pengawas di lingkungan Provinsi Kalteng.
“Ada fakta tidak terbantahkan bahwa penetapan nomor urut pasangan calon peserta Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Kalimantan Tengah tanggal 24 September. Artinya beberapa mutasi yang dilakukan petahana diatas diduga melanggar aturan Pemilu, dan Bawaslu membiarkannya,” ujarnya.
Ramdansyah menjelaskan mutasi dilakukan Petahana dapat dikualifikasi sebagai pelanggaran terhadap Pasal 71 ayat (2) jo Pasal 71 ayat (5) UU No. 10 tahun 2016 tentang Pilkada.
Bahwa pergantian jabatan melanggar Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 820/6923/SJ tertanggal 23 Desember 2020 yang ditujukan kepada Gubernur dan Bupati/ Walikota di Seluruh Indonesia.
Ramdansyah mengaku telah mempelajari hasil putusan Bawaslu Provinsi terkait Kajian Dugaan pelanggaran yang disampaikan pasangan calon Ben-Ujang Nomor 20/LP/PG/RI/00.00/XII/2020 semakin memperkuat dugaan keberpihakan pihak terkait.
Dugaan ketidaknetralan Bawaslu Provinsi Kalimantan Tengah terlihat saat hanya sepihak mengambil keterangan saksi, tanpa mempertimbangkan fakta hukum dari pelapor.
Fakta ini menunjukkan, Bawaslu dalam mengambil keputusan bertentangan dengan asas universal Audi et Alteram Partem.
Dengan demikian putusan Bawaslu hanya didasarkan pada keterangan sepihak dan tentu tidak utuh berdasarkan fakta sesungguhnya.
Hal ini menunjukkan Bawaslu telah melanggar prinsip imparsialitas. Bawaslu tidak professional atau melakukan dan melanggar asas bagi penyelenggara Pemilu yang professional.
“Kami sudah menyampaikan bukti tambahan ke Majelis laporan terkait ketidaknetralan dan tidak profesionalnya termohon dan terkait di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP)," pungkas ramdansyah selaku Kuasa hukum Ben-Ujang.