IDI khawatir keputusan sepihak pemerintah itu dapat membuat kekecewaan dan demotivasi para nakes di seluruh tanah air.
"Kalau perlu duduk bersama dibahas kembali antara Kemenkeu, Kemenkes, dan organisasi profesi. Kalau sampai tenaga kesehatan marah, selesai semua kita," kata Wakil Ketua Umum IDI Slamet Budiarto, Kamis (4/2/2021).
"Bukannya kami mengejar uang, dengan insentif kemarin hanya cukup saja dengan tanda kutip," imbuhnya.
Slamet mengaku sempat mendapat keluhan dari teman sejawat dokter saat surat tertanggal 1 Februari 2021 yang dikirimkan Menteri Keuangan Sri Mulyani kepada Menteri kesehatan Budi Gunadi Sadikin itu beredar.
Tak hanya berbicara soal materi, Slamet merasa kecewa terhadap keputusan sepihak pemerintah tanpa rembukan terlebih dahulu.
Menurutnya, jika alasannya karena negara tak lagi memiliki anggaran, maka ia mempertanyakan mengapa pendapatan pegawai Kementerian Keuangan tak ikut dipangkas.
Padahal, insentif untuk tenaga kesehatan sebelum pemotongan juga masih jauh lebih kecil dibandingkan gaji pegawai Kemenkeu.
"Yang pasti insentif yang diterima tenaga kesehatan masih jauh di bawah take home pay-nya (gaji bersih) pegawai Kementerian Keuangan eselon III, masa diturunkan," kata dia.
Slamet meminta pemerintah berterus terang bilamana negara sedang krisis keuangan. Sebab menurutnya IDI bakal memaklumi.
Baca juga: Sekjen Kemenkes: Semua Tenaga Kesehatan yang Tangani Covid-19 dapat Insentif
Baca juga: Kementerian Keuangan Jamin Tidak Potongan Insentif untuk Nakes 2021
"Kami mau terbuka kok, kalau negara tidak ada uang mau apalagi. Namun pemerintah tidak peka, tidak sense of crisis. Kan kasihan nakes dan dokter sampai mengorbankan keselamatannya. Saya rasa perlu dikaji ulang lah ini," kata dia.
Dengan harapan itu, Slamet meminta agar pemerintah duduk bersama cukup dengan tiga elemen itu sehingga seluruh permasalahan klir dan dapat dicari jalan tengah.
Slamet mengaku belum bisa menjawab pertanyaan para dokter yang berkeluh ke IDI karena ia sendiri tidak mengetahui parameter apa yang digunakan pemerintah dalam memutuskan kebijakan anyar ini.
"Kalau memang begitu, tidak usah bayar saja, jadi terus terang saja, jangan tiba-tiba mengeluarkan SK sepihak," kata Slamet.
Hal serupa disampaikan Ketua Umum Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) Harif Fadilah.